Oleh: Masyhari, Lc
Jawaban:
Bagi seorang muslim yang berbuka karena udzur
(berhalangan), seperti haidh, nifas, sakit ataupun dalam perjalanan, ia
berkewajiban untuk mengganti (qadha’) nya, hingga sebelum datang bulan
Ramadhan berikutnya. Terlebih, bila ia berbuka dengan sengaja, tanpa udzur. Dimana
selain berdosa, sehingga ia harus bertaubat, ia tetap berkewajiban menggantinya.
Hal ini berdasarkan keterangan ayat al-Qur’an:
( وَمَــنْ كَــانَ
مَرِيضًــا أَوْ عَلَى سَفَــرٍ فَعِــدَّةٌ مِــنْ أَيَّــامٍ أُخَــرَ )
البقرة/185.
Artinya: “...Barangsiapa yang sakit atau dalam
perjalanan, (kemudian ia berbuka), maka ia harus menggantinya pada hari-hari
lain (di luar Ramadhan).” (QS al-Baqarah [2]: 185)
Dan sebaiknya ia menyegerakan qadha’nya, apalagi bila
kita melihat ternyata waktu antara dua Ramadhan sangat panjang, masih ada kesempatan
11 bulan. Ini merupakan keleluasaan dari Allah, dan sebaiknya ia tidak
menyia-nyiakannya. Dalam hal ini,
terdapat satu riwayat dari sayyidah Aisyah ra, bahwa ia berkata, “Dahulu,
aku punya hutang puasa ramadhan. Namun, aku tidak bisa menggantinya kecuali
bulan Sya’ban. Hal itu karena menghargai kedudukan dan hak Rasulullah SAW.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Terkait riwayat tersebut, al-Hafizh Ibnu Hajar
al-Asqalani berkata, “Kesungguhan sayyidah Aisyah untuk menggantinya pada bulan
Sya’ban, karena berhalangan, menunjukkan bahwa tidak boleh menunda qadha’ sehingga
datang Ramadhan berikutnya.”
Akan tetapi, bila ia belum menggantinya hingga datang
Ramadhan berikutnya, maka terdapat dua kemungkinan.
Pertama, ia menunda karena udzur. Misalnya, selama
beberapa bulan itu ia sakit, dan baru sembuh ketika Ramadhan tiba, atau sebab
lain. Jika, demikian, ia tidaklah berdosa. Ia hanya berkewajiban untuk
menggantinya, setelah Ramadhan usai.
Kedua, ia menundanya, tanpa udzur. Misalnya saja, ia
mampu menggantinya, namun tidak melakukannya. Maka ia berdosa, sehingga ia
harus bertaubat dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya, dan tetap
berkewajiban menggantinya setelah Ramadhan berakhir.
Adapun terkait memberi makan seorang fakir miskin, selain
mengganti puasa, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Pendapat pertama, selain mengganti, ia harus memberi makan
fakir miskin atas setiap hari yang ditinggalkannya. Ini adalah pendapat yang
diikuti oleh Imam Malik, asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad, serta Syekh Bin Baz dari
kalangan kontemporer. Makanan yang dimaksud yaitu sebanyak setengah sha’
(1, 5 kg) makanan pokok, seperti kurma, beras, gandum atau yang lainnya, sesuai
makanan pokok masing-masing daerah setempat. Pendapat ini, berdasarkan fatwa
(ijtihad) sejumlah sahabat Nabi SAW, seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas ra.
Pendapat kedua, ia hanya berkewajiban mengganti
puasanya, tanpa perlu memberi makan fakir miskin. Ini adalah pendapat Imam Abu
Hanifah, Ibrahim an-Nakha’i, Imam al-Bukhari, dan Syekh Ibnu Utsaimin dari
kalangan kontemporer. Pendapat ini berdasarkan dalil, bahwasanya Allah swt
hanya memerintahkan bagi orang yang berbuka di bulan Ramadhan untuk
menggantinya saja, tanpa memerintahakan untuk memberi makan fakir miskin, yaitu
firman Allah swt:
( وَمَــنْ كَــانَ
مَرِيضًــا أَوْ عَلَى سَفَــرٍ فَعِــدَّةٌ مِــنْ أَيَّــامٍ أُخَــرَ )
البقرة/185.
Artinya: “...Barangsiapa yang sakit atau dalam
perjalanan, (kemudian ia berbuka), maka ia harus menggantinya pada hari-hari
lain (di luar Ramadhan).” (QS al-Baqarah [2]: 185)
Menurut pendapat kedua, seseorang yang berhutang
puasa hanya diwajibkan untuk menggantinya. Adapun terkait dengan yang dilakukan
oleh dua orang sahabat Nabi saw, hany sebatas anjuran, bukan kewajiban. Namun, kendatipun
begitu, bila ia ingin memberi makan fakir miskin, selain mengganti puasa, itu
baik saja, sebagai bentuk kehati-hatian. Wallahu a’lam.