Tuesday, October 29, 2013

Cirebon di Malam Minggu

Cirebon semakin semrawut. terang supir angkot yang mengantarku ke stasiun Parujakan  tengah malam minggu itu.
"Tiap malam minggu, geng motor berkeliaran bawa senjata. lanjut sopir GP (Kedaung-Parujakan) yang belum saya tanya identitasnya.
"Ada yang bawa samurai, pistol, dsb." terangnya.
Angkot yang saya tumpangi terhenti oleh palang rel kereta api. Tampak sedang menunggu ada kereta yang mau lewat.
ngreng.. ngreng..ngreng.” bising suara motor-motor modiv itu begitu keras...
ngreng.. ngreng..ngreng.” tangan salah seorang pemotor memblayer motornya yang tepat di samping mobil angkot yang kutumpangi..
Sempat aku takjub dengan suara motor itu, pun jg gaya modivnya, lebih ngebas dan lebih keras daripada motor harley..
Tampak pengemudianya berjaket kulit, bersepatu boot tinggi, lengkap dengan  helm hitam jadulnya.
Tak lama, palang sudah terbuka. Mobil biru telor asin itu melaju pelan melewati polsek tuparev... Tampak banyak polisi berjajaran di jalan raya. Lebih dari 20an orang. Tampaknya sedang ada operasi kendaraan bermotor di tengah malam itu.
Alhamdulillah, untung tadi gak jadi pakai motor.” Syukurku dalam hati, mengingat motorku berplat nomor B. Apalagi aku blm pegang SIM C...heheheh e 
Malam itu tampak tidak terlalu sepi. Maklum, meskipun udah larut malam, malam minggu.
Beberapa tempat nongkrong di sekitar Tuparev cukup ramai dengan penikmat hidangan malam. 
Angkot melaju pelan saja, lurus saja ke arah Masjid At Taqwa Islamic Center.
Malam itu, jam digital di hpku menunjukkan pukul 22.30...
Di depan sana lampu merah perempatan Siliwangi yang tepat di depan kantor Wali Kota Cirebon.
Tiba-tiba, "Turun-turun... ayo cepat turun"... Salah seorang anggota geng motor yang didominasi oleh pemuda usia antara 17-30an itu dipaksa turun oleh beberapa orang berjaket hitam.
Sambil menodongkan pistol yang baru saja diambilnya dari gesper celananya.
turun-turun”.. kata itu dicapkannya berulang-ulang, membentak, mengancam pemotor bising itu sambil menarik bajunya paksa..
Kayaknya mereka dari geng moge.” Ujar sopir angkot itu, yang kudengar cukup jelas. Kebetulan saat itu aku duduk di depan, di samping Mr. Supir.
Ngeri melihatnya, sekaligus agak takut, melihat posisinya tepat di depan samping angkot yang kutumpangi. Khawatir terjadi sesuatu yang tidak diharapkan terjadi...
“Tampaknya tadi motor-motor mereka tidak semua berplat E. Mereka bukan hanya anak sini ya kang?”
Anak-anak itu semuanya anak sini. Cuma, motor yang mereka pakai tidak hanya dari sini. ada yang berplat Z, B, dsb. Bahkan banyak motor bodong yang mereka pakai.” Terangnya.
“Biasanya mereka 20an pemotor.”
“Itu tiap malam kang?” tanyaku.
“Tidak. Cuma malam minggu.” Jawabnya.
“Padahal tadi di depan posek Tuparev ada ramai-ramai operasi ketertiban kang. Masak dibiarin?!” tanyaku penasaran.
“Peserta geng motor itu biasanya tidak kena tangkep. Itu hanya operasi lalu lintas formalitas rutin biasa, yang menjaring para pengendara kendaraan bermotor yang lewat. Mereka kan biasanya mengantongi surat izin.”
Haa..........,,mah?!!” ucapku heran dalam hati.
Benarkah begitu?
Entahlah?
Cirebon, 19/ 05/ 2013

Belajar Nulis

Caranya yaa, mulailah saja menulis.” Jawab para penulis mematahkan pertanyaan mereka (termasuk saya), para pemimpi menjadi penulis yang belum juga kesampaian.
Menulis, kata mereka gampang. Bisa iya. Bisa juga tidak.
Bisa dikata gampang. Karena, kalau sulit, mengapa banyak sekali buku yang sudah terbit di mana-mana? Seorang penulis saja bisa menghasilkan puluhan buku, bahkan ribuan. Tidak hanya di era sekarang ini, namun sejak dahulu, para ulama Islam membukukan pemikiran mereka dalam karya tulis dengan jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit. Sebut saja Imam an-Nawawy, kitab “Majmu’” yang ditulisnya dalam belasan jilid, padahal hanya menjelaskan satu kitab al-Muhadzdzab” karya Asy-Syairozi. Begitu juga dengan Ibnu Qudamah dengan magnum opus “al-Mughni”nya. Dan, entah apa yang terjadi andai saja al-Risalah sebagai pionir Ushul fikih tidak dibukukan? Barangkali pondasi ushul fikih sama sekali tidak akan kuat terbangun. Bahkan, tradisi tulis-menulis ini telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, sejak dunia dimulai dengan zaman sejarah.
Pada era Arab jahiliyah, tradisi tulis menulis pun sudah demikian gencarnya, meskipun masih sekedar pada lembaran-lembaran daun kurma, tulang belulang, bebatuan, kayu dan lain sebagainya. Dan, tradisi ini mengalami letupan yang begitu dahsyatnya pada era kekhilafahan bani Abbasiyah di jazirah Arab. Dimana, perpustakaan-perpustakaan didirikan oleh para penguasa untuk menghimpun jutaan karya-karya ulama dan ilmuan yang kian hari kian melimpah. Sebut saja “al-hikmah” di kota Baghdad, Irak.
Menulis dikatakan sulit. Karena pada kenyataannya, banyak orang yang belum punya karya tulis satu pun yang diterbitkan. STOP!!
Okelah, sekarang kita sepakat untuk sementara bahwa Menulis itu mudah tapi sulit. Mudah, bagi siapa yang mau memulainya, berusaha dengan latihan yang rajin dan istiqamah. Nah, poin yang terakhir ini kuncinya. Dalam hal apapun, yang paling penting adalah istiqamah (ajeg), tepati jadwalmu dan disiplinlah pada komitmen diri sendiri. Tentukan waktu yang pas, nyaman dan tenang buatmu sendiri tanpa ada gangguan dari siapapun atau kesibukan apapun. Walau hanya sekedar satu atau dua jam saja.
Sulit, bagi siapa yang cuma bermimpi dan belum memulainya. Menulis hanya akan mudah bagi mereka yang mau memulainya, yang yakin akan kemampuan dan kekuatan dirinya, yang yakin bahwa segala sesuatu itu tidak ada yang sulit dan mustahil di dalam dunia ini selama ada keyakinan. Keyakinan bahwa kita-lah yang akan mengubah nasib kita sendiri. Dan kita tiada pernah tahu garis takdir yang dilukis oleh-Nya. Masa depan yang cemerlang hanya akan diraih oleh mereka yang yakin akan kecemerlangan takdirnya, sehingga dia selalu berusaha untuk mencapainya. Dia tidak pernah putus harapan dan cita.
Tapi, aku tidak berbakat menulis!!
Tidak ada tapi. Semua manusia punya potensi yang sama. Dia makan nasi, saya juga makan nasi. Dia bisa baca buku, saya juga bisa. Dia bisa menulis, tentu saya juga punya potensi untuk bisa menulis dan menjadi penulis hebat.
Menulis itu proses belajar. Bukan bawaan lahir ataupun keturunan. Bukan pula warisan nenek moyang. Tidak ada bayi langsung bisa menulis, meski lahir dari ibu penulis buku best seller. Yang ada, mereka melatih anak-anak mereka itu untuk menulis melalui proses panjang dan penuh kedisiplinan. Mulai dari pembacaan cerita pada mereka (story telling) menjelang tidur mereka dan juga di waktu santai mereka. Para orang tua yang penulis itu senantiasa memberikan keteladanan dalam hal membaca dan menulis. Buku-buku tak pernah absen dari tangan dan mata mereka. Menulis sudah menjadi hobi bahkan kebutuhan mereka. Ibarat makanan bagi tubuh, sehari saja tidak disantap perut akan segera protes. Buku dan menulis harusnya bisa menjadi kebutuhan bagi saya, anda dan kita semua.
Bagi saya, seharusnya, menulis menjadi kebutuhan saya. Sebab waktu akan terus berlalu, sedangkan batas usia tiada pernah ditahu. Ilmu yang didapat selama bertahun-tahun harusnya bisa lebih bermanfaat jika dituliskan. Karena murid yang diajar secara langsung bertatap muka sangatlah terbatas. Dan jatah usia hidup kita sungguh terbatas. Berbeda halnya jika kita goreskan dan torehkan sedikit ilmu kita pada buku. Karya kita akan bisa dibaca dan dipelajari banyak orang, meski belum kenal kita, apalagi bertatap muka secara langsung. Buku, karya kita akan menjadi sedekah amal jariyah yang akan terus mengalir, selama buku kita dibaca dan diamalkan oleh orang, meskipun kita sudah tiada.
isy katiban, au mut maktuban.” (Hiduplah sebagai penulis, atau mati dikenang dalam tulisan.”)
Untuk menjadi seorang yang dikenang dan dibukukan dalam sejarah oleh seseorang sunggguh sulit bagi saya, kita harus menjadi tokoh besar atau orang besar, ulama, pejabat publik, serta punya andil dan sumbangsih besar bagi jutaan umat manusia. Apalagi, syarat utamanya harus mati dulu. Dn kita tak pernah tahu kapan kita mati, meskipun itu suatu kepastian.
Yang paling pasti, agar kita dikenang dalam sejarah, kita sendiri yang harus menuliskan karya kita sendiri tentang hidup, dan berkehidupan dalam tinta sejarah hidup kita. Agar kita menjadi manusia yang membuat orang tersenyum di saat kita hidup dan menjadi manusia yang dirindu bila tiada.
Dan, Jangan biarkan mereka menangis dalam rindu pada kita, karena kita bisa menghapus air mata rindu mereka tuk berjumpa dengan kita, melaui tulisan-tulisan yang pernah kita goreskan.
Ya, aku memang bukan penulis. Buktinya belum ada buku yang terbit dari tanganku. Namun paling tidak, aku telah menjadi penulis makalah diskusi kelas, dan minimal telah menjadi penulis catatan ini.
Selamat menulis! Sebab tak akan ada  membaca, kalau tidak ada menulis.
Menulislah sekarang, karena kita tidak tahu kapan ajal datang!!

Jakarta, 06/10/ 2012 & Cirebon, 21/05/2013 

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...