“Caranya yaa, mulailah saja menulis.” Jawab para penulis mematahkan pertanyaan
mereka (termasuk saya), para pemimpi menjadi penulis yang belum juga
kesampaian.
Menulis, kata mereka gampang. Bisa iya. Bisa juga tidak.
Bisa dikata gampang. Karena, kalau sulit, mengapa banyak sekali buku yang
sudah terbit di mana-mana? Seorang penulis saja bisa menghasilkan puluhan buku,
bahkan ribuan. Tidak hanya di era sekarang ini, namun sejak dahulu, para ulama
Islam membukukan pemikiran mereka dalam karya tulis dengan jumlah yang tidak
bisa dibilang sedikit. Sebut saja Imam an-Nawawy, kitab “Majmu’” yang
ditulisnya dalam belasan jilid, padahal hanya menjelaskan satu kitab
al-Muhadzdzab” karya Asy-Syairozi. Begitu juga dengan Ibnu Qudamah dengan magnum
opus “al-Mughni”nya. Dan, entah apa yang terjadi andai saja al-Risalah
sebagai pionir Ushul fikih tidak dibukukan? Barangkali pondasi ushul fikih sama
sekali tidak akan kuat terbangun. Bahkan, tradisi tulis-menulis ini telah ada
sejak ribuan tahun yang lalu, sejak dunia dimulai dengan zaman sejarah.
Pada era Arab jahiliyah, tradisi
tulis menulis pun sudah demikian gencarnya, meskipun masih sekedar pada lembaran-lembaran
daun kurma, tulang belulang, bebatuan, kayu dan lain sebagainya. Dan, tradisi ini mengalami
letupan yang begitu dahsyatnya
pada era kekhilafahan bani Abbasiyah di jazirah Arab. Dimana, perpustakaan-perpustakaan
didirikan oleh para penguasa untuk menghimpun jutaan karya-karya ulama dan
ilmuan yang kian hari kian melimpah. Sebut saja “al-hikmah” di kota Baghdad,
Irak.
Menulis dikatakan sulit. Karena pada kenyataannya, banyak orang yang belum
punya karya tulis satu pun yang diterbitkan. STOP!!
Okelah, sekarang
kita sepakat untuk sementara bahwa Menulis itu mudah tapi sulit. Mudah, bagi
siapa yang mau memulainya, berusaha dengan latihan yang rajin dan istiqamah.
Nah, poin yang terakhir ini kuncinya. Dalam hal apapun, yang paling penting
adalah istiqamah (ajeg), tepati jadwalmu dan disiplinlah pada komitmen diri
sendiri. Tentukan waktu yang pas, nyaman dan tenang buatmu sendiri tanpa ada
gangguan dari siapapun atau kesibukan apapun. Walau hanya sekedar satu
atau dua jam saja.
Sulit, bagi siapa yang cuma bermimpi
dan belum memulainya. Menulis hanya akan mudah bagi mereka yang mau memulainya,
yang yakin akan kemampuan dan kekuatan dirinya, yang yakin bahwa segala sesuatu
itu tidak ada yang sulit dan mustahil di dalam dunia ini selama ada keyakinan.
Keyakinan bahwa kita-lah yang akan mengubah nasib kita sendiri. Dan kita tiada
pernah tahu garis takdir yang dilukis oleh-Nya. Masa depan yang cemerlang hanya
akan diraih oleh mereka yang yakin akan kecemerlangan takdirnya, sehingga dia
selalu berusaha untuk mencapainya. Dia tidak pernah putus harapan dan cita.
Tapi, aku tidak berbakat menulis!!
Tidak ada tapi. Semua manusia punya
potensi yang sama. Dia makan nasi, saya juga makan nasi. Dia bisa baca buku,
saya juga bisa. Dia bisa menulis, tentu saya juga punya potensi untuk bisa
menulis dan menjadi penulis hebat.
Menulis itu proses belajar. Bukan
bawaan lahir ataupun keturunan. Bukan pula warisan nenek moyang. Tidak ada bayi
langsung bisa menulis, meski lahir dari ibu penulis buku best seller. Yang ada,
mereka melatih anak-anak mereka itu untuk menulis melalui proses panjang dan
penuh kedisiplinan. Mulai dari pembacaan cerita pada mereka (story telling)
menjelang tidur mereka dan juga di waktu santai mereka. Para orang tua yang
penulis itu senantiasa memberikan keteladanan dalam hal membaca dan menulis. Buku-buku
tak pernah absen dari tangan dan mata mereka. Menulis sudah menjadi hobi bahkan
kebutuhan mereka. Ibarat makanan bagi tubuh, sehari saja tidak disantap perut
akan segera protes. Buku dan menulis harusnya bisa menjadi kebutuhan bagi saya,
anda dan kita semua.
Bagi saya, seharusnya, menulis
menjadi kebutuhan saya. Sebab waktu akan terus berlalu, sedangkan batas usia
tiada pernah ditahu. Ilmu yang didapat selama bertahun-tahun harusnya bisa
lebih bermanfaat jika dituliskan. Karena murid yang diajar secara langsung
bertatap muka sangatlah terbatas. Dan jatah usia hidup kita sungguh terbatas.
Berbeda halnya jika kita goreskan dan torehkan sedikit ilmu kita pada buku.
Karya kita akan bisa dibaca dan dipelajari banyak orang, meski belum kenal
kita, apalagi bertatap muka secara langsung. Buku, karya kita akan menjadi
sedekah amal jariyah yang akan terus mengalir, selama buku kita dibaca dan
diamalkan oleh orang, meskipun kita sudah tiada.
“isy katiban, au mut maktuban.”
(Hiduplah sebagai penulis, atau mati dikenang dalam tulisan.”)
Untuk menjadi seorang yang dikenang
dan dibukukan dalam sejarah oleh seseorang sunggguh sulit bagi saya, kita harus
menjadi tokoh besar atau orang besar, ulama, pejabat publik, serta punya andil dan sumbangsih
besar bagi jutaan umat manusia. Apalagi, syarat utamanya harus mati dulu. Dn
kita tak pernah tahu kapan kita mati, meskipun itu suatu kepastian.
Yang paling pasti, agar kita
dikenang dalam sejarah, kita sendiri yang harus menuliskan karya kita sendiri
tentang hidup, dan berkehidupan dalam tinta sejarah hidup kita. Agar kita
menjadi manusia yang membuat orang tersenyum di saat kita hidup dan menjadi
manusia yang dirindu bila tiada.
Dan, Jangan biarkan mereka menangis
dalam rindu pada kita, karena kita bisa menghapus air mata rindu mereka tuk
berjumpa dengan kita, melaui tulisan-tulisan yang pernah kita goreskan.
Ya, aku memang bukan penulis. Buktinya belum ada buku yang terbit dari
tanganku. Namun paling tidak, aku telah menjadi penulis makalah diskusi kelas,
dan minimal telah menjadi penulis catatan ini.
Selamat menulis! Sebab tak akan ada
membaca, kalau tidak ada menulis.
Menulislah sekarang, karena kita tidak tahu kapan ajal datang!!
Jakarta, 06/10/ 2012 & Cirebon, 21/05/2013
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar