Setelah cukup lama tak sowan ke ndalem, kali ini,
mumpung masih di kampung, mudik dari tanah rantauan, aku sempat-sempatkan
mampir sowan.
Sore ini, ndalem Romo Kyai tampak sepi, tidak
seperti hari-hari biasanya, yang dipenuhi dengan para santri putra yang menyimak
dan mencatat uraian makna penjelasan tafsir Jalalain
Romo Kyai. Mungkin ini hari kamis. Biasanya, memang hari libur ngaji, selain
hari jumat, atau barangkali aktivitas pengajian pondok memang belum
dimulai lagi setelah liburan hari Raya.
Di halaman pondok pesantren,
tampak beberapa santri sedang menyapu rontokan dedaunan pohon
mangga, kecacil dan sampah jajanan. Sementara itu, di ruang Ndalem
kulon, karpet hambal yang biasanya dipakai alas pengajian santri putra itu
tampak berdebu. Berbeda dengan hari-hari aktif, lantai ndalem bersih dan rapi. Memang,
biasanya ada santri khadim yang menyapu dan membersihkan
lantai Ndalem.
Proses menjadi khadim (khadimisasi)
memiliki cerita yang bervariasi. Bisa jadi, ada yang melalui sowan, mengajukan
dirinya kepada Romo Kyai. Ada yang sejak pertama kali nyantri, dia dipasrahkan
oleh orang tuanya kepada Romo Kyai dan selanjutnya mengabdi di ndalem. Ada pula
yang melalui proses alamiah, seakan tak terasa, tiba-tiba saja menjadi abdi
ndalem. Ada pula yang memanfaatkan momen-momen lebaran Fitri, dimana para tamu
ramai berdatangan silih berganti. Sementara para santri yang masih bertahan di
pondok hanya satu dua. Lantas, ia datang ke ndalem dan langsung ke dapur,
membantu mengantarkan suguhan minuman, makanan dan jajanan para tetamu. Dan
setiap hari, mereka secara istiqamah datang hanya sekedar
untuk menyapu lantai, halaman rumah kyai, membersihkan jendela, membuang
sampah, sesekali mencuci motor putranya kyai dan menguras bak mandi Ndalem.
Dengan berjalannya waktu, secara alamiah, ia pun seakan telah menjadi khadim tetap ndalem,
sampai ia harus keluar dari ndalem, pamit untuk melanjutkan studi
di perguruan tinggi atau mondok di pesantren lain pada jenjang yang lebih
tinggi, dan lain sebagainya.
Melihat lantai yang cukup
kotor berdebu itu, segera kuraih sapu khusus karpet hambal yang tergeletak di
pojok ruang itu, dan kumulai menyapu, membersihkan debu demi debu. Ingin
mengenang masa-masa indah itu, saat masih mondok dulu, menjadi juru bersih
ndalem, dengan salah seorang kawan santri.
“Nyaman dan Mantab sekali
sapu ini. Debu-debu di karpet pun serasa terangkat semua. Tampaknya sudah
dimodif sedemikian rupa sama oleh santri khadim. Kreatif sekali santri itu.” Gumamku dalam hati. Hanya
beberapa menit saja, lantai sudah tampak bersih.
Kulihat pintu depan bagian
selatan dari bilik yang biasa dipakai untuk menerima kunjungan tamu agung itu
terbuka. Memang, ruangan itu cukup menyejarah bagiku. Bukan karena apa,
aku bisa bertatap muka, melihat secara jelas para kiai-kiai besar dan
tokoh-tokoh nasional dengan jarak dekat. Mulai dari Kang Said Agil yang saat
itu hendak mengisi Tabligh Akbar. Khafifah IP yang hendak menjadi keynote
speaker pada sebuah acara seminar, sekaligus silaturrahim politik
jelang pilgub 2009. Juga Gus Sholah yang sedang silaturrahim politik hendak
maju jadi cawapres Wiranto saat itu. Segera kulangkahkan kaki, untuk menutup
pintu itu.
Sementara itu, di pintu
samping timur, tampak Romo Kyai sedang duduk di kursi, mengajakku ngobrol
santai, bercerita. Lirih kudengar suara beliau berucap. Karena jarak kami cukup
berjauahan. Segera aku melangkahkan kaki lebih dekat.
“Ada seorang pria melakukan
sebuah ritual aneh, memotong sapi persembahan dan bahkan melakukan ritual
nyleneh lainnya. Ritual mistis itu dilakoninya setelah ia datang pada seorang
dukun, paranormal. Ia ingin dagangannya laris dan sukses. Setelah diketahui
para warga desa, para tetangganya, ia pun dilaporkan ke pihak yang berwenang.
Ia diikat dan hendak dieksekusi.”
“Akan tetapi, secara
tiba-tiba, di hari eksekusi itu, ia hilang, lenyap entah kemana!”lanjut beliau.
“Orang sini yai?”
“Bukan. Itu cerita dari
sebuah kitab kuning. Cerita itu juga pernah kudapati di mading sebuah masjid
besar di rest area tol sebelum Jakarta. Kalau tidak salah namanya,
Assalam.”
“Yang di sebelah kiri tol
itu ya, yai? Yang di sampingnya ada sekolah besarnya?” Tanyaku memastikan, rasa-rasanya
aku pernah mampir di sana.
“Iya!” jawab Romo Kyai.
“Itu, kalau tidak salah,
masih di daerah Bekasi, Yai.”
“Cerita itu dan juga cerita-cerita lainnya ada di sini.” Ujar beliau, sambil
memperlihatkan dua buah buku tipis karya terjemahan beliau.
“Masih banyak cerita-cerita
lain berserakan di kitab-kitab besar. Ada rencana untuk memungut cerita-cerita
itu, lalu saya terjemahkan dan diterbitkan dalam buku kompilasi kisah.” Lanjut beliau.
“Wah, menarik itu. Bisa
dicontoh!”
gumamku dalam hati.
“Buu. Mana ayah, udah datang
belum? Katanya mau bawain oleh-oleh Manggis buat Nabil!” Suara Nabil membangunkan
tidur malamku yang begitu lelapnya.
Untuk kesekian kalinya, Romo
Kyai hadir lagi dalam mimpi. Banyak makna yang bisa kuambil.
Pertama, penting dan sesegera mungkin
aku harus menulis dan menerbitkan buku. Bisa mulai dari yang sederhana, sekedar
seperti yang beliau lakukan dalam mimpiku. Memungut cerita-cerita yang
berserakan dalam kitab turats, menerjemahkannya dan menerbitkannya.
Bahkan mungkin bisa lebih dari itu.
Kedua, bisa jadi kehadiran beliau
ini hendak mengingatkanku untuk membaca ijazah beliau, al-Waqi’ah yang tadi
malam belum aku selesaikan, karena buru-buru pulang, sehabis shalat Magrib
Isya’ di Masjid Attaqwa Kota Cirebon.
Ketiga, bahkan bisa jadi beliau
hendak memperingatkanku yang telah beberapa hari tidak berjamaah di masjid.
Namun berjamaah di rumah saja. Barangkali, sesekali di rumah bersama keluarga
dan sesekali berjamaah di masjid, selang-seling.
Keempat, mungkin beliau mengingatkan
atau bahkan memperingatkanku agar segera bangkit, lebih giat dan serius dalam
proses belajar saat ini. Dan, bisa jadi ada makna yang lain. Wallahu
a’lam.
Babakan, 3 Oktober 2013
Setelah cukup lama tak sowan ke ndalem, kali ini, mumpung masih di kampung, mudik dari tanah rantauan, aku sempat-sempatkan mampir sowan.
Sore ini, ndalem Romo Kyai tampak sepi, tidak
seperti hari-hari biasanya, yang dipenuhi dengan para santri putra yang menyimak
dan mencatat uraian makna penjelasan tafsir Jalalain
Romo Kyai. Mungkin ini hari kamis. Biasanya, memang hari libur ngaji, selain
hari jumat, atau barangkali aktivitas pengajian pondok memang belum
dimulai lagi setelah liburan hari Raya.
Di halaman pondok pesantren,
tampak beberapa santri sedang menyapu rontokan dedaunan pohon
mangga, kecacil dan sampah jajanan. Sementara itu, di ruang Ndalem
kulon, karpet hambal yang biasanya dipakai alas pengajian santri putra itu
tampak berdebu. Berbeda dengan hari-hari aktif, lantai ndalem bersih dan rapi. Memang,
biasanya ada santri khadim yang menyapu dan membersihkan
lantai Ndalem.
Proses menjadi khadim (khadimisasi)
memiliki cerita yang bervariasi. Bisa jadi, ada yang melalui sowan, mengajukan
dirinya kepada Romo Kyai. Ada yang sejak pertama kali nyantri, dia dipasrahkan
oleh orang tuanya kepada Romo Kyai dan selanjutnya mengabdi di ndalem. Ada pula
yang melalui proses alamiah, seakan tak terasa, tiba-tiba saja menjadi abdi
ndalem. Ada pula yang memanfaatkan momen-momen lebaran Fitri, dimana para tamu
ramai berdatangan silih berganti. Sementara para santri yang masih bertahan di
pondok hanya satu dua. Lantas, ia datang ke ndalem dan langsung ke dapur,
membantu mengantarkan suguhan minuman, makanan dan jajanan para tetamu. Dan
setiap hari, mereka secara istiqamah datang hanya sekedar
untuk menyapu lantai, halaman rumah kyai, membersihkan jendela, membuang
sampah, sesekali mencuci motor putranya kyai dan menguras bak mandi Ndalem.
Dengan berjalannya waktu, secara alamiah, ia pun seakan telah menjadi khadim tetap ndalem,
sampai ia harus keluar dari ndalem, pamit untuk melanjutkan studi
di perguruan tinggi atau mondok di pesantren lain pada jenjang yang lebih
tinggi, dan lain sebagainya.
Melihat lantai yang cukup
kotor berdebu itu, segera kuraih sapu khusus karpet hambal yang tergeletak di
pojok ruang itu, dan kumulai menyapu, membersihkan debu demi debu. Ingin
mengenang masa-masa indah itu, saat masih mondok dulu, menjadi juru bersih
ndalem, dengan salah seorang kawan santri.
“Nyaman dan Mantab sekali
sapu ini. Debu-debu di karpet pun serasa terangkat semua. Tampaknya sudah
dimodif sedemikian rupa sama oleh santri khadim. Kreatif sekali santri itu.” Gumamku dalam hati. Hanya
beberapa menit saja, lantai sudah tampak bersih.
Kulihat pintu depan bagian
selatan dari bilik yang biasa dipakai untuk menerima kunjungan tamu agung itu
terbuka. Memang, ruangan itu cukup menyejarah bagiku. Bukan karena apa,
aku bisa bertatap muka, melihat secara jelas para kiai-kiai besar dan
tokoh-tokoh nasional dengan jarak dekat. Mulai dari Kang Said Agil yang saat
itu hendak mengisi Tabligh Akbar. Khafifah IP yang hendak menjadi keynote
speaker pada sebuah acara seminar, sekaligus silaturrahim politik
jelang pilgub 2009. Juga Gus Sholah yang sedang silaturrahim politik hendak
maju jadi cawapres Wiranto saat itu. Segera kulangkahkan kaki, untuk menutup
pintu itu.
Sementara itu, di pintu
samping timur, tampak Romo Kyai sedang duduk di kursi, mengajakku ngobrol
santai, bercerita. Lirih kudengar suara beliau berucap. Karena jarak kami cukup
berjauahan. Segera aku melangkahkan kaki lebih dekat.
“Ada seorang pria melakukan
sebuah ritual aneh, memotong sapi persembahan dan bahkan melakukan ritual
nyleneh lainnya. Ritual mistis itu dilakoninya setelah ia datang pada seorang
dukun, paranormal. Ia ingin dagangannya laris dan sukses. Setelah diketahui
para warga desa, para tetangganya, ia pun dilaporkan ke pihak yang berwenang.
Ia diikat dan hendak dieksekusi.”
“Akan tetapi, secara
tiba-tiba, di hari eksekusi itu, ia hilang, lenyap entah kemana!”lanjut beliau.
“Orang sini yai?”
“Bukan. Itu cerita dari
sebuah kitab kuning. Cerita itu juga pernah kudapati di mading sebuah masjid
besar di rest area tol sebelum Jakarta. Kalau tidak salah namanya,
Assalam.”
“Yang di sebelah kiri tol
itu ya, yai? Yang di sampingnya ada sekolah besarnya?” Tanyaku memastikan, rasa-rasanya
aku pernah mampir di sana.
“Iya!” jawab Romo Kyai.
“Iya!” jawab Romo Kyai.
“Itu, kalau tidak salah,
masih di daerah Bekasi, Yai.”
“Cerita itu dan juga cerita-cerita lainnya ada di sini.” Ujar beliau, sambil memperlihatkan dua buah buku tipis karya terjemahan beliau.
“Cerita itu dan juga cerita-cerita lainnya ada di sini.” Ujar beliau, sambil memperlihatkan dua buah buku tipis karya terjemahan beliau.
“Masih banyak cerita-cerita
lain berserakan di kitab-kitab besar. Ada rencana untuk memungut cerita-cerita
itu, lalu saya terjemahkan dan diterbitkan dalam buku kompilasi kisah.” Lanjut beliau.
“Wah, menarik itu. Bisa
dicontoh!”
gumamku dalam hati.
“Buu. Mana ayah, udah datang
belum? Katanya mau bawain oleh-oleh Manggis buat Nabil!” Suara Nabil membangunkan
tidur malamku yang begitu lelapnya.
Untuk kesekian kalinya, Romo
Kyai hadir lagi dalam mimpi. Banyak makna yang bisa kuambil.
Pertama, penting dan sesegera mungkin
aku harus menulis dan menerbitkan buku. Bisa mulai dari yang sederhana, sekedar
seperti yang beliau lakukan dalam mimpiku. Memungut cerita-cerita yang
berserakan dalam kitab turats, menerjemahkannya dan menerbitkannya.
Bahkan mungkin bisa lebih dari itu.
Kedua, bisa jadi kehadiran beliau
ini hendak mengingatkanku untuk membaca ijazah beliau, al-Waqi’ah yang tadi
malam belum aku selesaikan, karena buru-buru pulang, sehabis shalat Magrib
Isya’ di Masjid Attaqwa Kota Cirebon.
Ketiga, bahkan bisa jadi beliau
hendak memperingatkanku yang telah beberapa hari tidak berjamaah di masjid.
Namun berjamaah di rumah saja. Barangkali, sesekali di rumah bersama keluarga
dan sesekali berjamaah di masjid, selang-seling.
Keempat, mungkin beliau mengingatkan
atau bahkan memperingatkanku agar segera bangkit, lebih giat dan serius dalam
proses belajar saat ini. Dan, bisa jadi ada makna yang lain. Wallahu
a’lam.
Babakan, 3 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar