Sunday, June 29, 2014

Selebaran Anti Demokrasi

Sebuah catatan pagi
Oleh: Masyhari

Salam Hangat Kopi Pagi

Pagi ini, seorang pengurus masjid membawa satu bundel berisi selebaran maklumat. Sejatinya, selebaran itu sudah disebarkan kemarin sebelum shalat Jum'at. Namun tampaknya, para pengurus menyadari bahwa bila disebarkan, ini akan menimbulkan fitnah dan kekacauan di kalangan masyarakat. Demikian, keluh salah seorang pengurus takmir masjid Baiturrahman To' Kaloko Makale Tana Toraja. Satu bundel selebaran itu, oleh sang pengurus akan dibawa  pulang untuk disimpan.

Segera aku minta selembar. Setelah kubaca dan kuamati, ternyata selebaran tersebut dikeluarkan oleh HTI [bukan] Hizbut Tahlil Indonesia, tapi Hizbut Tahrir Indonesia. Selebaran setebal dua halaman tersebut  bertajuk "Hukum Pemilu Presiden". Di bagian bawah halaman kedua tertera alamat kantor DPD HTI Sulsel dan Barat. Sudah bisa dipastikan, bahwa selebaran "provokatif" itu mereka keluarkan dalam rangka "menyambut" pilpres 9 Juli 2014 nanti. Dari pemaparan tulisan setebal 2 halaman tersebut, bisa aku tarik beberapa simpulan, khususnya terkait logika yang mereka bangun untuk menolak demokrasi pada umumnya, dan pilpres beberapa hari mendatang khususnya, yaitu:
1      Pertama, seorang pemimpin wajib mempraktikkan hukum Islam.
2      Kedua, di antara hukum Islam tersebut adalah kewajiban mendeklarasikan sistem khilafah.
3      Ketiga, Tidak ada dari kedua calon presiden, yang akan mendeklarasikan khilafah.
4      Kongklusinya: TIDAK BOLEH MEMILIH SIAPAPUN DARI MEREKA sebagai kepala negara.
5      Alasannya: berpartisipasi dalam pemilu presiden yang bersistem “sekular”, dengan penguasa yang berkomitmen menjaga sistem “sekular” dan bersumpah atasnya, berarti ikut berpartisipasi dalam menjaga konstitusi buatan manusia, menjaga pengaruh asing, menjaga kerusakan, dan membantu dalam berhukum selain hukum Allah.

Namun, ternyata terdapat inkonsistensi pada logika mereka, dimana pada paragraf terakhir dari selebaran tersebut, terdapat pernyataan yang bertentangan dengan pernyataan tersebut, yaitu “Anda semua adalah pemilik kekuasaan yang sebenarnya". 

Terkait dengan poin pertama dan kedua, sebaiknya pihak negara, dalam hal ini Kementrian Agama dan MUI, mengundang mereka untuk berdiskusi membahas masalah ini dalam sebuah seminar atau lokakarya, sehingga ditemukan titik kesepahaman. Karena kenyataannya, MUI dan NU, dan sebagian besar ormas Islam Indonesia telah sepakat dan mengeluarkan fatwa, bahwa NKRI telah sah dan demokrasi tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai Islam, sebagimana difatwakan oleh Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi dan para ulama lainnya.

Bila selebaran-selebaran semacam ini terus disebarkan dan diedarkan di kalangan masyarakat grass root, dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan. Karena, ini adalah semacam gerakan “separatisme” yang akan merongrong kesatuan NKRI yang [semoga] aman dan damai, serta memprovokasi masyarakat untuk golput, dan secara implisit memprovokasi untuk membuat kekacauan.

Begitu pula dengan pihak HTI, agar tidak menyebarkan selebaran provokatif semacam ini di kalangan masyarakat awam, karena akan muncul semacam kebingungan dan kekacauan. Alangkah lebih baik bila mereka menyampaikan gagasannya kepada pemerintah dan para ulama yang berwenang.

Kecuali bila HTI dan warganya ingin ber”hijrah” dari negeri “sekular” ini. Ambivalensi lain, di satu sisi, HTI menganggap negeri ini sebagai negeri sekular yang kafir, namun di sisi yang lain, mereka tidak mau hengkang dari negeri ini. Karena bila tetap bertahan, bisa jadi akan menjadi onak dalam daging yang mengganggu ketentraman dan bahkan membahayakan.

Bila ada anggota HTI yang tidak terima, silahkan kalian berdiskusi dengan Kemenag-RI dan atau MUI pusat. Atau laporkan saya ke polisi. Namun, itu tak akan terjadi. Karena mereka tidak mengakui keabsahan polisi, bahkan keabsahan NKRI ini. semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. []
Tana Toraja, 28/06/2014

Marhaban ya Ramadhan

Oleh: Masyhari

Ramadhan telah tiba 
bulan suci umat muslim sedunia
siap ataupun tidak siap kita
yang pasti, kita harus ingat
beleh sak menika sampun Ramadhan
Sasi ingkang suci lan penuh keberkahan
Sumangga kita sedaya
Ulurkan tangan kanan
buka lima jemari tangan
saling bersalam-salaman
Kita bermaaf-maafan
atas segala khilaf dan kesalahan
Ingkang diraos menopo mboten
Mohon maaf lahir lan batin
atas segala kesalahan lan kealpaan
hal yang tak berkenan di hati tuan
dari lisan yang terucapkan
dari kata dan kalimat yang dituliskan
Sungguh sayang bila 
Ramadhan yang mulia
bulan suci penuh berkah
tersia 
terlewati begitu saja
Ngaji pun terlupa
tadarus pun tak terurus 

Dzikir wirid yang biasa
dilaku Ramadhan tahun lalu
hanyut terbawa arus kemayu
kampanye pilpres yang menguras tenaga

Tarawih pun terlewati
Masjid sepi tak berpenghuni
Kita lebih suka mencela manusia  
Di dunia maya yang tiada guna
Umpat mengumpat
saudara sendiri kita sikat
ukhuwah Islamiyyah pun berkarat
Yang tertinggal ukhuwah sesaat
asal satu suara, kita bersahabat
Saudara setanah air dibiar beku
tersumblim, habis terkikis menjadi abu
Ukhuwah wathaniyyah berubah kelabu
tak tersisa di dalam kalbu
pilu, hanya karena pemilu
Mari kita rehat sejenak, kawan
Memuji yang berlebihan
Karena itu manusia biasa
bukan malaikat utusan yang maha kuasa
pun bukan Nabi yang terlindung dari dosa
Mari kita hindarkan
membuka cela yang dilaku 'lawan'
mengadu-domba
ataupun bersilat lidah
mulut kita buang ludah
Mari kita upaya
bersihkan hati dari noda di jiwa
Sambut hari kemenangan
menuju Negeri yang kita dambakan

"Marhaban ya Ramadhan.
Syahrun azhimun mubarakun
Syahrun fihi unzilal qur'an
Syahrun mamlu'un bil rahmah wal gufran"
Tana Toraja, 1 Ramadhan 1435 H

Intinya Pada Pendidikan

Oleh: Masyhari Mahrus

Sebuah berita bertajuk "Prostitusi Terselubung Para Artis dan Model Top Nasional Terbongkar" dilansir hari ini (28/06/2014) oleh media online TRIBUNNEWS.COM. disebutkan bahwa sejumlah model dan artis kelas nasional, ternyata juga melacurkan diri dengan tarif sekali kencan Rp 15 juta - Rp 25 juta. Ini seperti yang dilakoni APH, seorang model berusia 25 tahun yang rela melayani pria hidung belang dengan tarif Rp 15 juta untuk sekali kencan. Parahnya lagi, ternyata sang germo adalah pria muda yang baru berusaia 24 tahun.

Gila bener kan!?
Bahkan, menurut pengakuan sang germo, ia memiliki sekitar 25 model dan artis yang biasa dijual olehnya. Diketahui, bisnis haram yang dijalankan oleh pria ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Dan selama itu, dia sudah punya banyak sekali koleksi model untuk bisa dipasarkan.

Berita-berita semacam itu, sebenarnya bukanlah barang baru. Sekitar 7 tahun yang lalu, seorang kawan yang pernah ngantor di Tamrin, cerita panjang lebar soal sejumlah artis papan atas yang "nyambi" jadi wanita "sewaan" satu malam yang bisa diajak ke hotel, dengan harga tinggi tentunya.

Tiga tahun yang lalu, seorang kawan guru asli Jakarta juga pernah bercerita kepada penulis, bahwa seorang kawannya di SMA ada yang berprofesi sebagai pelacur, dengan langganan om om, lelaki hidung belang. Dan menurut pengakuan ibu guru ini, sekitar 50% dari kawan SMAnya tidak virgin lagi.

Sepekan yang lalu, sebuah obrolan dengan sejumlah kawan aktifis di LSM dan pegawai di kementrian, semakin memperkuat bahwa berita semacam itu bukan sekedar isapan jempol, real dan benar-benar nyata...

Sudah segitu parahkah, generasi muda negeri ini?!
Kita hanya bisa beristighfar, berusaha dan berdoa, semoga generasi muda berikutnya semakin baik, anak-anak kita tidak terjerumus pada dunia gelap semacam itu.

Memang, baik-tidaknya seseorang, berujung pada takdir yang Allah gariskan. Akan tetapi, kita diberikan “wewenang” untuk berusaha dengan sekuat tenaga dan penuh keyakinan untuk mengubah keadaan. Karena Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga kaum itu berusaha untuk melakukan usaha perubahan. Sehingga, apa yang terjadi, ada sebab-akibat dari kesalahan yang dilakukan manusia.

Dalam konteks pendidikan, anak tidaklah bisa disalahkan. Anak hanya menjadi “korban” kegagalan sistem pendidikan kita, kegagalan orang tua dalam mendidik putra-purinya. Orang tua yang menjadi sentral pendidikan, barangkali belum memiliki ilmu parenting, belum bisa menjadi teladan, belum bisa memberi contoh yang benar dalam perilaku. Orang tua masih fokus pada pengisian otak dengan materi keduniaan, kurang memperhatikan aspek ruhiah, mental, karakter dan perilaku anak.

Sampai saat ini, penekanan pendidikan saat ini masih pada aspek kognitif (kecerdasan otak), bukan pada afektif (sikap, perilaku dan tata nilai). Semoga akan segera berubah negeri ini. Anak dididik untuk menjadi mesin pencetak uang, bagaimana agar bisa mendapatkan materi dan uang sebanyak-banyaknya. Pendidikan berbasis materiil, bukan spirituil. Maindset semacam ini harus kita ubah, demi terciptanya dunia yang lebih baik. Bisnis prostitusi, narkoba dan korupsi masih meraja-lela, karena masih banyak yang hanya berorientasi pada duit, perut dan isi perut, tanpa memperdulikan halal-haramnya. Tanpa peduli dampak negatif yang ditimbulkannya. Tidak peduli, bisnis yang dijalani akan merusak generasi muda atau tidak.

Menurut hemat penulis, ada beberapa usaha yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan, di antaranya:
Kita didik anak-anak kita di rumah dengan memberi keteladanan. Kita perkuat imunitas dan kekebalan mental dan spiritual anak dari rumah, meminjam istilah Ayah Edy: “Indonesia Strong from Home”, Home Education. Pendidikan berbasis keluarga. Karena buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Like father like son. Kacang ora ninggal lanjaran. Bila setiap keluarga baik, satu RT akan baik. Bila satu RT baik, satu RW akan baik, dan seterusnya hingga pada lingkup dunia.

Kita sebagai orang tua, harus peduli dan memiliki perhatian terhadap pendidikan anak-anak kita. Tidak lepas tangan begitu saja, melempar amanah serta tanggung-jawab pendidikan anak-anak kita pada institusi sekolah. Karena kita sudah bayar mahal.

Hanya saja, yang patut disayangkan, sampai saat ini, belum ada pendidikan parenting, pendidikan calon orang tuan, yang dilakukan secara massif, khususnya oleh pemerintah yang diwujudkan dengan adanya regulasi dan kebijakan, adanya kewajiban bagi penyelenggara negara untuk mengadakan "Pendidikan Parenting" bagi para calon pengantin. Ini sangat penting, agar para calon orang tua, memiliki keahlian dasar dalam mendidik anak-anaknya kelak. Selain itu, dilakukan pula bimbingan dan pendampingan lanjutan, diwujudkan dengan pendidikan parenting lanjutan, bagi para pasangan yang sedang hamil, dan seterusnya.
Memang, selama ini sudah ada. Namun terbilang masih sedikit, dan itupun bukan pra nikah, dan cukup telat (meski tak ada kata terlambat).

Selain itu, kita bisa memasukkan anak-anak kita ke pesantren, atau lembaga pendidikan berbasis karakter, pembinaan ruhiyah, mental, spiritual, dengan pijakan al-Qur'an dan al-Hadits. Sampai saat ini, setuju atau tidak, pesantren masih menjadi primadona, karena merupakan [kalau bukan satu-satunya] institusi pendidikan yang sukses mencetak kader-kader berkualitas, tidak hanya secara intelektual, tapi secara mental, spiritual dan akhlak. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[]

Tana Toraja, 28 Juni 2014

Thursday, June 19, 2014

Lama Sebagai Muallaf'

Pagi sekali, adzan subuh belum dikumandangkan, bahkan ayam pun belum sempat berkokok, lelaki 60an tahun itu sudah keluar dari rumahnya, menuju masjid. Hampir tidak pernah absen, lelaki sepuh itu shalat berjamaah 5 waktu, di masjid dekat rumahnya. 
Pada suatu subuh, di ruang wudhu, tepat di sampingku, tak sengaja kuperhatikan lelaki itu mengambil air wudhunya. Tampaknya ada yang salah dari wudhunya, tidak tertib, berurutan, padahal termasuk rukun wudhu (menurut jumhur). Benar, kabar yang pernah kudengar dari anaknya, beberapa waktu sebelumnya, bahwa bapaknya masih 'muallaf'. Jangankan baca al-Quran, kenal huruf Arab saja belum, bahkan bacaan shalat saja masih sangat butuh pembenahan.

Pria baya itu sebenarnya cukup kukenal. Apalagi, beberapa tahun yang lalu, aku sempat mengajari privat cucu dan anaknya, setiap habis Magrib. Lelaki itu terbilang pendatang lama dari daerah, barangkali sejak muda, berpuluh tahun yang lalu, bahkan dia dan beberapa saudaranya sudah punya rumah di ibu kota.  Pensiunan pegawai negri itu terbilang gaul dengan tokoh agama (ustadz) yang juga imam masjid setempat, termasuk dengan sesama jamaah, sangat dikenal.

Sebelum adzan Magrib dikumandangkan, biasanya ia sudah keluar rumah dan masih di sana hingga usai shalat Isya, baru ia pulang. Biasanya, selepas shalat Magrib, ia dan kawan-kawan sesama jamaah, barang duduk-duduk santai di teras masjid, ngobrol ngalor-ngidul dan lain sebagainya. Memang, itu baik, namun alangkah lebih baik bila pihak masjid memanfaatkan waktu sekitar 30 menit itu dengan acara bimbingan al-Qur’an atau pembinaan praktik ibadah. Taklim jiping memang ada, namun itu hanya sekali sepekan. Lebih baik sih daripada tidak sama sekali. Dan, lelaki itu tidak pernah absen mengikutinya.  

Selepas wudhu, kujabat tangannya, lalu bergegas ia masuk masjid. Tampaknya, ia masih pangling denganku. Mungkin karena ia terburu-buru untuk shalat sunnah subuh, sebab adzan sudah usai dikumandangkan, selain memang cukup lama kami tak bertemu muka. Sudah beberapa tahun ini, aku tidak di Jakarta. Dalam hati ingin langsung menegur dan mengajarinya wudhu, tapi kuteringat kisah badui kencing di masjid yang sakit hati dengan para sahabat.  Dalam hati, tunggu waktunya, cari kesempatan yang tepat tuk ber'aksi'. Apalagi, aku masih beberapa hari singgah di masjid itu. Dan, usai shalat subuh, ia menyapaku,
“Kirain siapa tadi. Mari mampir.” Ucapnya padaku, pangling.
“Terima kasih pak. Insya Allah, besok. Hari ini, pagi-pagi, saya harus jalan. Sedang ada janji di luar.” 

“Kalau saja Musa dapat bersabar, tentu dia kan menceritakan kepada kita lebih banyak lagi kisah tentang perjalanan mereka berdua."

Sabar dalam menyikapi sesuatu, sabar dalam berdakwah. Kata yang tepat di waktu yang tepat, disertai doa yang tekad. Ketergesaan hanya akan buat 'mangsa' (baca: objek dakwah) lari duluan. Dan, pembaca juga harus bersabar membaca kisah ini...

Muslim 'muallaf' (baca: awam) yang aku kisahkan di atas hanyalah potret kecil, masih banyak orang yang semacam itu, semangat dalam beribadah namun [sayang] kurang adanya perhatian dan sentuhan taklim dakwah dari para dai syar'i. Sehingga, beribadah hanya modal semangat, tanpa ilmu. Dan, selain itu, masih banyak pula saudara muslim KTP yang belum mau shalat, zakat, ngaji, dsb. Ada yang karena malas, dan tak jarang dari mereka yang memang karena belum tahu ilmunya, bahkan belum tahu rukun iman dan Islam. Sementara para dai dan ustadz kita malah sibuk berdebat tentang masalah al-mukhtalaf fiha, masalah yang furu’ fiqhiyyah dan furu’ aqadiyyah yang notabene tidak mendasar, memperuncing perbedaan tentang qunut, ziarah kubur, tarawih, dzikir berjamaah, maulid, jumlah rakaat shalat tarawih, tallafuzh bin niyyah, takwil, dsb. Dan kaum ‘muallaf’ pun luput dari perhatian kita.

Tentang perhatian terhadap ‘muallaf’, kita masih kalah dengan saudara Kristen kita. Di sana, muallaf baru selaian mendapat pendampingan, mereka juga mendapatkan subsidi kebutuan harian dari pihak gereja, hingga setahunan. Ini kabar yang kudengar dari seorang kawan yang pernah tinggal se-kosan dengan kawan Kristen. Memang, secara teoritis, di dalam Islam ada jatah distribusi zakat untuk para muallaf, namun secara praktik, masih jauh api dari panggang.

Mari kita manfaatkan Ramadhan tahun ini untuk mengevalusi diri, mengevalusi program pembinaan, memperhatikan skala prioritas, belajar tentang keadilan, memberikan sesuatu sesuai porsinya, belajar mengejawantahkan ilmu balaghah dalam keseharian, menyampaikan suatu kebenaran, dengan cara yang tepat dan di waktu yang tepat. Semoga bermanfaat.[]
Jakarta, 20-21 Sya’ban 2014

Saturday, June 7, 2014

Biografi Syekh Nurjati Cirebon

Syekh Nurjati dikenal sebagai tokoh perintis dakwah Islam di wilayah Cirebon. Beliau menggunakan nama Syekh Nurjati pada saat berdakwah di Giri Amparan Jati, yang lebih terkenal dengan nama Gunung Jati, sebuah bukit kecil dari dua bukit, yang berjarak + 5 km sebelah utara Kota Cirebon, tepatnya di Desa Astana Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon.
Sebelumnya Syekh Nurjati dikenal dengan nama Syekh Dzatul Kahfi atau Maulana Idhofi Mahdi. Secara kronologis singkat, Syekh Nurjati lahir di Semenanjung Malaka. Setelah berusia dewasa muda pergi ke Mekah untuk menuntut ilmu dan berhaji. Syekh Nurjati pergi ke Bagdad dan menemukan jodohnya dengan Syarifah Halimah serta mempunyai putra- putri. Dari Bagdad beliau pergi berdakwah sampai di Pesambangan, bagian dari Nagari Singapura (sekarang Desa Mertasinga,  Kabupaten Cirebon). Beliau wafat dan dimakamkan di Giri Amparan Jati.
Cerita tentang Syekh Nurjati dijumpai dalam naskah-naskah tradisi Cirebon yang merupakan bukti sekunder. Naskah-naskah tersebut berbentuk prosa, diantaranya : Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda dan Sejarah Cirebon. Serta naskah yang berbentuk tembang di antaranya  Carub Kanda, Babad Cirebon, Babad Cerbon terbitan S.Z. Hadisutjipto, Wawacan Sunan Gunung Jati, Naskah Mertasinga, Naskah Kuningan dan Naskah Pulasaren.  Dari sekian banyak naskah hanya naskah Babad Cirebon terbitan Brandes saja yang tidak memuat tentang Syekh Nurjati. Sedangkan naskah tertua  yang menulis tentang Syekh Nurjati dibuat oleh Arya Cerbon pada tahun 1706 M.
Syekh Nurjati di Tempat Kelahiran, Malaka, Pertengahan Abad ke-14
Syekh Nurjati ketika lahir dikenal dengan nama Syekh Datuk Kahfi, putra dari Syekh Datuk Ahmad, seorang ulama besar. Syekh Datuk Ahmad putra dari Maulana Isa, yang juga seorang tokoh agama yang berpengaruh pada zamannya. Syekh Datuk Ahmad mempunyai adik yang bernama Syekh Datuk Sholeh, ayahanda dari Syekh Siti Jenar (Abdul Jalil). Jadi Syekh Datul Kahfi adalah saudara sepupu dari Syekh Siti Jenar. Maulana Isa adalah putra dari Abdul Kadir Kaelani. Abdul Kadir Kaelani adalah putra dari Amir Abdullah Khanudin, keturunan Nabi Muhammad SAW generasi ke tujuh belas dari jalur Zaenal Abidin.
Syekh Datuk Kahfi memiliki dua orang adik, yaitu Syekh Bayanullah yang mempunyai pondok di Mekah, yang kemudian mengikuti jejak kakaknya berdakwah di wilayah Cirebon; serta seorang adik wanita yang menikah dengan Raja Upih Malaka. Buah dari perkawinan tersebut lahirlah seorang putri  yang kelak  menikah dengan Dipati Unus dari Demak. 

Syekh Nurjati Menuntut Ilmu dan Pergi Haji ke Mekah
Sehubungan dengan lamanya Syekh Nurjati bermukim di Mekah, maka sebagian naskah menyatakan bahwa Syekh Nurjati berasal dari Mekah.

Syekh Nurjati Pergi ke Bagdad dan Menemukan Jodohnya dengan Syarifah Halimah
Setelah menuntut ilmu di Mekah, Syekh Nurjati mencoba mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan mengajarkannya di wilayah Bagdad. Di Bagdad Syekh Nurjati menikah dengan Syarifah Halimah, putri dari Ali Nurul Alim.  Ali Nurul Alim putra dari Jamaludin al Husain dari Kamboja, yang merupakan putra dari Ahmad Shah Jalaludin, putra Amir Abdullah Khanudin. Jadi, Syekh Nurjati menikah dengan saudara secicit.
Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat orang anak, yakni Syekh Abdurakhman (yang kelak di Cirebon bergelar Pangeran Panjunan), Syekh Abdurakhim (kelak bergelar Pangeran Kejaksan),  Fatimah (yang bergelar Syarifah Bagdad), dan Syekh Datul Khafid (kadang-kadang disebut juga sebagai Syekh Datul Kahfi, sehingga membuat rancu dengan sosok ayahnya yaitu Syekh Datuk Kahfi, atau Syekh Nurjati di beberapa manuskrip yang lebih muda umurnya, contohnya Babad Cirebon Keraton Kasepuhan). Keempat anak tersebut dijamin nafkahnya oleh kakak Syarifah Halimah, Syarif Sulaiman yang menjadi raja di Bagdad (1). Syarif Sulaiman menjadi raja di Bagdad karena menikahi putri mahkota raja Bagdad.
Syekh Nurjati hidup pada abad pertengahan, antara abad 14-15 dan pernah bermukim di Bagdad (sekarang Bagdad merupakan ibukota Irak). Kondisi sosial ekonomi Bagdad pada rentang abad 14-15 sedang mengalami keemasan. Para filosof muslim mencapai puncak kejayaannya pada masa itu. Kondisi tersebut sangat memungkinkan ikut membentuk keluasan pikir Syekh Nurjati. Hal ini membantu kelancaran dakwahnya (2) .
Di Bagdad Syekh Nurjati hidup dan berumah tangga dan dikaruniai empat orang putra-putri. Kemudian Syekh Nurjadi diutus oleh Raja Bagdad untuk berdakwah di tanah Jawa serta menuruti suara hati nuraninya. Seraya memohon petunjuk kepada Allah SWT, Syekh Nurjati bersama istrinya, Syarifah Halimah pergi berkelana untuk berdakwah meninggalkan keempat anaknya yang masih kecil-kecil. Dalam perjalanannya, sampailah Syekh Nurjati  di Pelabuhan Muara Jati dengan penguasa pelabuhan/ syahbandarnya bernama Ki Gedeng Tapa/ Ki Ageng Jumajan Jati. Sesampainya mereka di Pelabuhan Muara Jati, Syarifah Halimah berganti nama menjadi Nyi Ratna Jatiningsih/ Nyi Rara Api.
           
Syekh Nurjati Pergi Berdakwah ke Pesambangan
Perkampungan yang dekat dengan pelabuhan Muara Jati disebut Pesambangan. Diceritakan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, dalam Sejarah Banten, juga dalam Naskah Mertasinga, bahwa Syekh Nurjati/Syekh Idofi Mahdi/ Syekh Datuk Kahfi, mendarat di Muara Jati  setelah pendaratan Syekh Quro dan rombongan. Syekh Nurjati bersama rombongan dari Bagdad sebanyak sepuluh orang pria dan dua orang perempuan tiba di Muara Jati. Rombongan ini diterima oleh Penguasa Pelabuhan Muara Jati, Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi Jumajan Jati sekitar tahun 1420 M. Syekh Nurjati mendapatkan ijin dari Ki Gedeng Tapa untuk bermukim di daerah Pesambangan(3), di sebuah bukit kecil yang bernama Giri Amparan Jati.
Di tempat baru tersebut, Syekh Nurjati giat berdakwah sebagai dai’ mengajak masyarakat untuk  mengenal dan memeluk agama Islam.    Setelah mendengar tentang agama baru itu, orang-orang berdatangan dan menyatakan diri masuk Islam dengan tulus ikhlas. Semakin hari semakin banyak orang yang menjadi pengikut Syekh Nurjati(4).
Dalam interaksinya dengan masyarakat sekitar, akhirnya Syekh Nurjati menikah dengan Hadijah. Hadijah adalah cucu Haji Purwa Galuh (Raden Bratalegawa, orang pertama yang pergi berhaji dari Jawa Barat, yang saat itu masih bernama Kerajaan Galuh), janda dari seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Hadramaut.  Dengan pria tersebut Hadijah tidak dikaruniai putra, namun setelah pria tersebut meninggal dunia, Hadijah memperoleh seluruh harta warisan dari suaminya. Setelah suaminya meninggal dunia, Hadijah bersama kedua orang tuanya pulang ke Kerajaan Galuh dan menetap di Dukuh Pesambangan. Harta warisan tersebut digunakan Hadijah bersama suami barunya, yaitu Syekh Nurjati untuk membangun sebuah pondok pesantren yang bernama Pesambangan Jati.
Pernikahan Syekh Nurjati dengan Hadijah  dikaruniai seorang putri yang  bernama Nyi Ageng Muara, yang kelak menikah dengan Ki Gede Krangkeng. Krangkeng sekarang merupakan nama sebuah kecamatan di Kabupaten Indramayu.
Pondok Pesantren Pesambangan Jati  adalah pondok pesantran tertua di wilayah Cirebon (saat itu masih bernama Nagari Singapura) dan pondok pesantren tertua kedua se-Jawa Barat (saat itu masih bernama Kerajaan Galuh), setelah Pondok Pesantren Quro di Karawang, yang didirikan oleh Syekh Quro (Syekh Hasanudin/ Syekh Mursahadatillah). Syekh Quro adalah saudara sepupu Syarifah Halimah. Syekh Quro adalah putra  dari Dyah Kirana dengan Syekh Yusuf Sidik  (Wali Malaka). Sedangkan Dyah Kirana adalah putri Imam Jamaludin al Husain dari Kamboja (kakek Syarifah Halimah).  

Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati dan Perkembangan Dakwah di Giri  Amparan Jati
Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh Quro dan Syekh Nurjati adalah sama-sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amparan bersama rombongan dari angkatan laut Cina dari Dinasti Ming yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-tu). Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam. Mereka mendarat di Muara Jati pada tahun 141M. Mereka semua telah masuk Islam. Armada tersebut hendak melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di Pura Karawang, Syekh Quro (Syekh Hasanudin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yang mengajarkan Islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat. Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon (5).
Gerakan dakwah mereka berdua dapat terjalin secara harmonis dan berjalan saling bantu membantu. Syekh Quro mengirimkan orang kepercayaannya yang bergelar Penghulu Karawang, ke Dukuh Pesambangan, terbukti dengan adanya  nisan makam Penghulu Karawang di Amparan Jati.
Keharmonisan dakwah antara Cirebon dan Karawang berlanjut dengan :
1.      Cucu Syekh Ahmad dari Nyi Mas Kedaton, bernama Musanudin. Kelak Musanudin menjadi lebai di Cirebon, memimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada masa pemerintahan Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati). Sedang Syekh Ahmad merupakan anak dari Syekh Quro dengan Ratna Sondari, putri Ki Gedeng Karawang.
2.      Puteri Karawang memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung (Nur Giri Cipta Rengga) yang bernama Masjid Dog Jumeneng/ Masjid Sang Saka Ratu, yang sampai sekarang masih digunakan dan terawat baik.
1.      Pengangkatan juru kunci di situs makam Syekh Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.
Diceritakan pada suatu waktu, Raden Pamanah Rasa (kelak menjadi Sri Baduga Maharaja, Raja Pajajaran, yang terkenal dengan sebutan Prabu Siliwangi) mengadakan perjalanan ke Pondok Pesantren Quro, Pulo Klapa, Telagasari, Karawang, yang dipimpin oleh Syekh Quro ( Syekh Mursahadatillah). Dalam pelawatan tersebut Raden Pamanah Rasa jatuh cinta  kepada Puteri Subang Keranjang (Subang Larang), santriwati pesantren Syekh Quro, putri Ki Gedeng Tapa dari Singapura. Singapura adalah sebuah negara bagian dari Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Prabu Niskala Wastu Kancana. Raden Pamanah Rasa melamar sang puteri dan puteri Subang Karancang bersedia dinikahi dengan syarat Raden Pamanah Rasa masuk Islam dan diperkenankan mendidik keturunannya dengan ajaran Islam.
Dari perkawinan Raden Pamanah Rasa dengan Puteri Subang Keranjang lahirlah tiga orang putra yaitu Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Mas Rarasantang, dan Pangeran Raja Sengara/ Kean Santang.

Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang Datang ke Amparan Jati
Di kampung Pesambangan, Syekh Nurjati melakukan dakwah Islam. Karena menggunakan cara yang bijaksana dan penuh khidmat dalam mengajarkan agama Islam, maka dalam waktu relatif singkat pengikutnya semakin banyak, hingga akhirnya pengguron kedatangan Pangeran Walangsungsang beserta istrinya Nyi Indang Geulis/ Endang Ayu dan adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang yang bermaksud ingin mempelajari agama Islam (6).
            Mereka adalah cucu dari syahbandar pelabuhan Muara Jati dari jalur ibunya. Kedatangan mereka ke Gunung Jati di samping melaksanakan perintah ibundanya sebelum meninggal, juga bermaksud sungkem kepada eyangnya Ki Gedeng Tapa. Kepergian mereka ke Pangguron Gunung Jati tanpa seizin ayah mereka, Prabu Siliwangi (7). Karena Prabu Siliwangi kembali memeluk agama Budha setelah Nyi Subang Larang meninggal dunia. Tetapi kedua putra-putrinya itu sudah dididik dan diberi petunjuk oleh almarhum ibunya agar memperdalam agama Islam di Pangguron Gunung Jati. Akhirnya mereka pun menuntut ilmu dan memperdalam agama Islam, menjadi santri Syekh Nurjati di Pesambangan Jati. Pada saat mereka bertiga diterima menjadi santri baru, Syekh Nurjati berdoa,  “ Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami orang-orang yang menghidupkan agama Islam mulai hari ini hingga hari kemudian dengan selamat. Amin.”
Di antara murid-muridnya, murid yang tercatat sangat cerdas adalah Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang. Walaupun keduanya telah menjadi muslim sejak kecil, dan belajar ke Syekh Quro, tetapi ketika datang ke pesantren Syekh Nurjati keduanya dan Nyi Indang Geulis (istri Pangeran Walangsungsang), tetap diminta kembali mengucapkan kedua kalimah syahadat. Syekh Nurjati memberi pelajaran kepada mereka mulai dari yang sangat dasar (rukun Islam), tentang pelajaran tauhid sebagai dasar pondasi keimanan. Mengapa Syekh Nurjati melakukan metode pengajaran seperti kepada orang yang baru mengenal ajaran dasar Islam? Menururt Besta Basuki Kertawibawa, kemungkinan ada keraguan pada Syekh Nurjati terhadap kadar keimanan dan pengetahuan ketiganya tentang agama Islam. Hal ini dikarenakan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rara Santang adalah putra-putri dari Raja Pajajaran yang beragama Hindu-Budha. Selain itu, pengalaman mereka tentang agama Islam masih dalam tahapan pemula (8).  
Dalam naskan lainnya diterangkan, Syekh Nurjati mengajarkan membaca syahadat dengan arti dan maksud secara mendalam(9). Selain itu ada sebuah pesan yang berbunyi:
“Apabila engkau berhajat akan menghadapi seorang kikir, atau orang yang congkak, atau orang yang mempunyai utang yang dikhawatirkan akan berbuat jahat, bacalah sebuah doa yang artinya:
Wahai Tuhan, Engkau yang Maha Mulia dan Maha Besar dan saya adalah hamba-Mu yang rendah dan lemah yang tidak berkekuatan apa-apa melainkan dengan pertolongan-Mu. Wahai Tuhan tundukkanlah kepada saya (si fulan) seperti engkau menundukkan Firaun terhadap Nabi Musa as. Lunakkanlah hatinya seperti engkau telah melunakkan besi terhadap Nabi Daud as. Sesungguhnya tidak akan terjadi sesuatu melainkan dengan seizin-Mu. Nyawanya ada dalam genggaman-Mu. Syekh Nurjati memberi wejangan tentang agama Islam yang diawali oleh firman Allah yang berbunyi:  Yaa ayyuhalladzina aamanu udkhulu fissilmi kaffah (hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam agama Islam secara keseluruhan). Kemudian, ia menjelaskan kandungan pokok ajaran Islam, yakni salat lima waktu, zakatshaum (puasa), ibadah haji, umrah, perang sabil, ajakan ke arah kebajikan, serta menolak kemunkaran. Selain itu, ia memberikan berbagai macam ilmu, antara lain, ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama), ilmu fiqih (aturan hukum keagamaan), dan ilmu tasawuf (penyucian diri)” (10).
Ajaran Perang Sabil dari Syekh Nurjati, dilaksanakan oleh Pangeran Walangsungsang dalam banyak pertempuran sampai tahun terakhir menjelang kewafatannya.
Wejangan lain Syekh Nurjati adalah tentang agama Islam dan makna yang terkandung dalam azimat yang telah diperoleh Walangsungsang. Ringkasan ceritanya sebagai berikut:     
Setelah ajaran tentang keimanan diberikan, maka pelajaran secara bertahap terus diberikan. Misalnya pelajaran ilmu fikih sebagai sarana untuk melaksanakan syariat agama Islam. Pelajaran ini mesih dalam taraf yang mendasar sebelum ajaran tentang tarikat, hakikat, dan makrifat. Syekh Nurjati adalah seorang ulama yang menganut mazhab fikiih Imam Syafi’i ( Mazhab Syafi’i). Menurut Rama Guru Pangeran Nurbuat,(11)  tarekat Syattariah masuk ke wilayah Cirebon dibawa oleh Syekh Nurjati.
Dari pertemuan dengan Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, istri, dan adiknya mendapat anugrah ilmu yang sangat tinggi. Nama Gunung Jati muncul karena cerita pertemuan Walangsungsang dengan Syekh Nurjati di Gunung Jati. Di hadapan Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang, dan Indang Ayu dengan khusuk menekuni wejangan-wejangan yang diterimanya, yakni tentang dua kalimah syahadatsalawat dan dzikirzakat fitrah dan munggah (ibadah) hajipuasa dibulan Ramadhan, salat lima waktu, dan membaca al Qur’ankitab fikih dan tasawuf. Inilah di antara ajaran yang diterima dari Syekh Nurjati(12).
Sebelum menjadi santri Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang, adiknya, serta Nyi Indang Geulis  (istrinya) telah terlebih dahulu berguru kepada para pendeta Budha di beberapa tempat, yang berarti mempelajari ilmu-ilmu di luar ilmu-ilmu Islam.
Setelah tiga tahun menuntut ilmu, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah oleh Syekh Nurjati. Pada saat memberikan nama Somadullah, Syekh Nurjati memberi nasehat berupa reinterpretasi ajaran-ajaran non-Islam dari para guru Pangeran Walangsungsang sebelumnya, menurut sudut pandang Islam. Hal ini terungkap pada saat Syekh Nurjati memberikan wejangan kepada ketiga orang tersebut, yaitu sebagai berikut :
“Hai Somadullah, sesungguhnya engkau memperoleh rahmat Islam itu memang sudah kepastian sejak zaman azali, dan engkau disuruh datang ke Gunung Merapi dan bertemu dengan Sang Hyang Danuwarsih itu mengandung hikmat yang penting ialah bahwa engkau akan bertemu dengan alim ulama yang menjadi warisan ambiya.  Dalam pertemuan dengan Sang Hyang Danuwarsih, engkau berhasil menerima pusaka berupa Cincin Ampal yang kepentingannya ialah untuk mengetahui perkara gaib dan dapat digunakan untuk “merawat” sesuatu dengan keadaan selamat. Nama ampal itu diambil dari perkataan fa’ti bi maa anfaan naasa, artinya : usahakanlah apa yang sekiranya membawa manfaat bagi manusia. Dan engkau menerima Baju Kamemayan yang antara lain kepentingannya ialah agar engkau disegani dan disayang oleh segenap makhluk. Itu memang betul karena pada baju tersebut ada tulisan yang artinya begini, ‘barang-siapa yang takut kepada Allah, Allah akan memberinya jalan keluar dari kesempitan hidupnya dan memberi rejeki dengan tak diduga-duga dan tanpa susah payah. Kalau engkau ingin jangan dibenci orang, pegang teguhlah  ayat tersebut untuk pedoman dalam langkah hidupmu, dan engkau menerima lagi Baju Pengabaran yang antara lain kepentingannya engkau tidak mempunyai rasa takut menghadapi musuh yang  bagaimanapun banyaknya, karena pada baju tersebut ada tulisan yang artinya : “Dan berbaktilah kepada Tuhanmu hingga saat ajalmu datang”. Sedangkan, orang yang berpegang pada ayat tersebut dengan keyakinan yang teguh, ia akan mempunyai keteguhan hati dalam menghadapi musuh yang bagaimana pun. Lalu engkau menerima pula Baju Pengasihan yang gunanya agar semua mahluk, baik jin maupun setan siluman apa saja tunduk kepadamu. Itu betul, jika engkau ingin ditakuti oleh semua mahluk, amalkanlah ayat tersebut.
Selain dari Sang Hyang Danuwarsih, engkau mendapat pula beberapa pusaka dari Sang Hyang Naga berupa azimat Ilmu Kadewa. Namanya itu diambil dari perkataan Dawaa ud diini, artinya, obatnya agama ; dalam hal ini dimaksud bahwa orang yang beragama itu harus berilmu. Ada syair Arab yang artinya, “ Barang-siapa yang berbuat sesuatu tidak didasarkan ilmu, amal perbuatannya itu tidak akan diterima oleh Allah”.  Sedikit keterangan bahwa orang yang memegang agama itu sama dengan orang yang memegang negara. Apabila ia dapat memegang agama, ia akan dapat memegang negara, tetapi tidak sebaliknya orang yang dapat memegang negara,  belum tentu ia akan dapat memegang agama.
Selanjutnya Syekh Nurjati berkata kepada Somadullah, “Engkau menerima pula dari Sang Hyang Naga berupa Ilmu Kapilisan, yang diambil dari perkataan falaysa lil insaani nisyaanudz dzikri,  yang artinya tidak patut bagi seorang manusia melupakan dzikir kepada Allah SWT Makna lebih lanjut dari Ilmu Kapilisan adalah kirang mimang ing batuk ingsun sari sedana ing lambe ingsun amanat pengucapan ingsun iku wong sekabeh tua gede cilik pada welas pada asih kabeh maring ingsun kelawan berkahe kalimat llaa ilaha illallahu muhammadur rosulullahi. Doa ini hendaknya dibaca dengan tekad yang bulat turut pada ketika membaca kalimat toyyibah, hendaknya seluruh jiwa raga dihadapkan kepada Allah dan setelah doa itu selesai dibaca lalu diusapkan ke dahi.  Selain itu,  engkau diberi juga Ilmu Keteguhan, diambil dari perkataan falainsa lil gonisi bakhilun, artinya tidak patut pagi seorang kaya untuk berlaku kikir. Lalu, engkau diberi pula golok cabang yang ia dapat berbicara dan dapat terbang. Dapat mengalahkan kekuatan singa, dapat menghancurkan gunung yang gagah perkasa, dan dapat pula mengeringkan air laut yang sedang meluap-luap. Nama golok cabang itu berasal dari perkataan khuliqo lisab’ati asyyaa-a”, artinya dijadikan untuk tujuh perkara.  Maksudnya jika engkau menghendaki mendapatkan apa yang engkau kehendaki, engkau harus menghadapi ketetapan anggota badan yang tujuh, ialah anggota sujud.  Jelasnya, jika engkau ingin  mencapai segala sesuatu, hendaknya engkau tunduk sujud kepada Allah.
Selanjutnya engkau sampai di Gunung Kumbang dan bertemu dengan Sang Hyang Naga, kemudian engkau diberinya macam-macam azimat .....diikuti tutur katanya. Kemudian engkau diberi azimat Ilmu Kesakten guna keselamatan agar tutur katamu dituruti. Kemudian engkau diberinya lagi azimat Limunan untuk dapat bersembunyi di dalam terang, artinya jangan mempunyai perasaan benar sendiri. Kemudian engkau diberi azimat yang diberi mana Aji Titi Murti, berasal dari kata fa’ti bi maa umirta; kerjakanlah olehmu segala perintah yang baik-baik,  agar dapat mengusahakan segala sesuatu yang rumit-rumit dan sesuatu yang sukar-sukar menjadi mudah. Kemudian, engkau diberi lagi azimat Aji Dwipa guna mengetahui dan memahami segala pembicaraan, seperti gunanya  topong itu dipakai, maka engkau tidak akan dilihat manusia lagi. Kemudian engkau menerima pula Baju Pusaka Waring yang dapat digunakan untuk terbang, dan engkau menerima pusaka berupa Umbul-umbul Waring yang antara lain kepentingannya agar selamat rahayu dari senjata musuh dan dapat melemahkan tenaga-tenaga musuh. Artinya, bila tidak ingin kelihatan segala rahasia dan keburukan oleh orang lain harus mengikuti ucapan :ud’u lillahi ala jami’annasi bittaqwa; ajaklah semua manusia untuk melakukan taqwa kepada Allah. Baju Pusaka Waring bertuliskan qolbul khosi’i mabruuurun; artinya hati seorang yang khusyu’ dapat diterima oleh Tuhan. Umbul-umbul Waring memiliki tulisan : ‘Hai manusia, carilah harta benda dengan cara yang sebaik-baiknya, jangan asal memperoleh saja.  Azimat Panjang dari Ratu Bangau artinya dalam menyebarkan agama Islam akan dibantu oleh para wali; Pendil petunjuk kearah agama yang hak danBareng artinya dalam segala aktivitas harus mengikuti tiga perkara : syariat, tarekat, dan makrifat (13).”
                Syekh Nurjati bukan saja memberi bekal kehidupan dan hidup sesudah mati pada Pangeran Walangsungsang, adik dan istrinya, tetapi ia mampu mengubah kepribadian sang anak raja tersebut menjadi seorang pahlawan yang tidak hanya suka hidup dalam kemewahan sebagai putra raja, tetapi menjadi sosok pribadi pejuang yang saleh dan tangguh. Syekh Nurjati merasa Pangeran Walasungsang bersama adiknya Nyi Mas Ratu Rarasantang dan istrinya, Nyi Indang Geulis, telah berguru di pengguron Islam Gunung Jati telah memiliki keteguhan iman.  Setelah memberi nasehat, Syekh Nurjati memerintahkan Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Nyi Endang Ayu untuk membuka perkampungan baru di selatan Gunung Jati untuk penyiaran agama Islam.

Syekh Nurjati Memerintahkan Pangeran Walangsungsang Membuka Perkampungan
Setelah menerima wejangan dari Syekh Nurjati dan seizin kakeknya (Ki Gedeng Tapa), Somadullah memilih kawasan hutan di kebon pesisir, di sebelah selatan Gunung Jati, yang disebut Tegal Alang-alang atau Lemah Wungkuk. Di kawasan tersebut ternyata telah bermukim Ki Danusela, adik Ki  Danuwarsih (mertua Somadullah).
 Setibanya di tempat yang dituju, mereka bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Ki Pengalangalang dan mengucapkan kalimat: Lamma waqo’tu; ketika saya telah tiba. Ucapan Pangeran Walangsungsang tersebut kemudian menjadi nama Lemah Wungkuk.  Ki Pengalangalang menyambut mereka dan mengakui ketiga orang yang datang tersebut anaknya.
            Keesokan harinya, setelah salat Subuh, Pangeran Walangsungsang alias Somadullah mulai bekerja membabat hutan hingga ke pedalaman yang dipenuhi binatang buas. Untuk memperoleh keselamatan, Somadullah mengucapkan kalimat: fa anjayna; artinya, aku telah selamat. Karena itu, tempat yang dibabatnya kemudian bernama Panjunan asal kata dari fa-anjayna. Demikian pula tempat-tempat lain dinamai berdasarkan hal-hal yang dialami oleh Pangeran Walangsungsang; antara lain, pekerjaan membabat hutan diteruskan hingga ke tempat yang tidak diketahui lagi. Setelah berdoa kemudian tampak ada jalan, ia berucap: fasyamula; artinya, maka mengetahuilah. Dari ucapan ini lahirlah tempat yang bernama Pasayangan; ketika di suatu tempat ia berfikir kemudian mengucapkan; fakkarnaa; artinya, aku berpikir, tempatnya disebut Pekarungan yang berasal dari kata fakkarnaa. Ketika tiba di suatu tempat yang menyenangkan, ia berucap fa amma sirri jamarin samarin, sesungguhnya perasaanku merasa senang karenanya tempat tersebut dinamakan Gunung Sari dan Dukuh Semar. Di suatu tempat yang apabila sudah menjadi perkampungan mudah memperoleh rizki, ia mengucapkan doa farjanaa, artinya, Ya Allah berilah rizki pada hamba, sehingga tempat tersebut dinamakan Parujakan. Di suatu tempat ketika ia tidak ingat apa-apa, ia berucap: fakholanaa, artinya, aku lupa, tempat tersebut kemudian disebut Pekalangan. Ketika ia mendapat petunjuk, ia berucap: fahandaasna (faha-dayna), aku mendapat petunjuk, menjadi tempat bernama Pandesan. Ketika di suatu tempat ia merasa senang, ia berucap: rokibuna rumata illaihi farihin, yang kemudian menjadi tempat bernama Kebon Pring. Ketika ia melihat dua tanda dari dua Kanoman dan Kasepuhan, ia berucap: farutu aajataini, artinya aku melihat dua tanda sehingga tempatnya tersebut Anjatan. Ketika di suatu tempat ia melihat ada musuh di depannya, ia berkata:falaa sasaraynaa; artinya, aku tidak terus berjalan sehingga tempat tersebut dinamakan Pulasaren dan di dekatnya dinamakan Jagasatru, musuh yang berjaga-jaga (14).
Pada tanggal 14 bagian terang bulan Carita tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April tahun 1445 Masehi, bertepatan dengan masuknya penanggalan 1 Muharam 848 Hijriyah, Pangeran Walangsungsang alias Somadullah dibantu 52 orang penduduk, membuka perkampungan baru di hutan pantai kebon pesisir (15).
Dengan semangat tinggi dan ketekunannya, Pangeran Walasungsang dapat menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai pembuatan pendukuhan yang semula Tegal Alang-Alang atau Kebon Pesisirdiberi nama Caruban Larang dengan kuwu pertama adalah Ki Danusela. Sedangkan Ki Somadullah menjadipangraksabumi yang bertugas memelihara tanah pemukiman dengan julukan Ki Cakrabumi.
            Somadullah/ Ki Cakrabumi adalah pada siang hari bekerja membabat hutan dan pada malam hari bekerja mencari ikan di tepi laut, sementara istri dan adiknya bekerja menumbuk rebon (udang kecil) untuk dibuat terasi. Perkampungan yang dibangun Somadullah berkembang menjadi perkampungan besar yang disebut Grage, yang berarti negara gede.
            Perkampungan Somadullah dan usahanya membuat terasi diketahui oleh Raja Galuh. Ia mengutus patihnya untuk menyelidiki perkampungan di pesisir pantai yang ada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Apabila rakyatnya telah mencapi 69 orang, perkampungan tersebut telah menjadi sebuah desa dan diharuskan membayar pajak setiap tahun serta mempersembahkan tumbukan rebon halus sewakul (sekitar 45 kilogram). Dalam pertemuan antara utusan Raja Galuh dan Somadullah dibicarakan status perkampungan baru yang ternyata telah dihuni oleh 70 orang penduduk sehingga perlu dibentuk satu desa di bawah pimpinan seorangkuwu (kepala desa). Desa tersebut kemudian dipimpin oleh Ki Pangalangalang sebagai kuwu karena Cakrabumi tidak bersedia menjadi kuwu. Selesai upacara pengukuhan kuwu, diadakan perjamuan. Rombongan Kerajaan Galuh menikmati garagal (tumbukan) rebon beserta air rebon. Utusan kerajaan Galuh sangat menikmati air rebon yang dalam bahasa sunda disebut Cairebon, dari kata cai dan rebon (16). Ketika Ki Pangalangalang meninggal, ia diperlakukan secara Islam oleh Ki Cakrabumi. Perlakuan jenazah secara Islam ini merupakan awal dari penyebaran ajaran Islam kepada penduduk Cirebon. Sejak itu, setiap malam diadakan pengajian oleh Ki Cakrabumi. Sepeninggal Ki Pangalangalang, datanglah utusan karajaan Galuh untuk mengganti kedudukan Ki Pangalangalang sebagai kuwu Cirebon. Melalui kesepakatan, akhirnya Ki Cakrabumi terpilih sebagai Kuwu Cirebon menggantikan Ki Pangalangalang dan mendapat gelar Cakrabuana memerintah 457 orang penduduk desa Cirebon.
            Pangeran Walangsungsang ketika membuka pedukuhan juga mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Pejelagrahan (asal kata dari jala-graha yang artinya rumah di atas laut). Sekarang letak masjid tersebut sekarang berada tepat di sebelah luar dinding Keraton Kasepuhan, di Kelurahan Kasepuhan, Kota Cirebon.
Seusai membangun pedukuhan, Syekh Nurjati menemui Pangeran Walangsungsang di Kebon Pesisir, kemudian menyarankan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang untuk pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa. Keduanya menuruti nasehat Syekh Nurjati dan berhasil menemui Syekh Ibrahim di Campa.
Di Campa Pangeran Walangsungsang  dan Nyi Mas Ratu Rarasantang menerima wejangan dari Syekh Ibrahim, selanjutnya Syekh Ibrohim  menyuruh keduanya untuk melanjutkan perjalanan ke Mekah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syekh Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abuyazid(17) .
Setelah berhaji, Nyi Mas Ratu Rarasantang bergelar Nyi Haji Syarifah Mudaim dan Pangeran Walangsungsang bergelar Haji Abdullah Iman. Akhirnya Nyi Mas Ratu Rarasantang dipersunting oleh Raja Mesir, Maulana Sultan Mahmud/Syarif Abdullah.
Tak lama kemudian, pernikahan antara Syarifah Mudaim dan Syarif Abdullah dilangsungkan di kerajaan Bani Israil yang disaksikan oleh Haji Abdullah Iman dan alim-ulama beserta pembesar kerajaan (18). Syarifah Mudaim berharap dapat melahirkan anak yang bisa mengislamkan tanah Jawa. Hasil pernikahan Nyi Rara Santang ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif Nurullah meneruskan memimpin kerajaan ayahandanya, sementara Syarif Hidayatullah berniat mensyiarkan Islam di tanah Jawa.

Syekh Bayanullah (Adik Syekh Nurjati) Mendirikan Pondok Pesantren Quro di Kuningan
Syekh Bayanullah tiba di Cirebon bersama Syekh Bentong (putra Syekh Quro Karawang) setelah menunaikan ibadah haji. Syekh Bayanullah mendirikan Pondok Pesantren Quro di Desa Sidapurna, Kuningan, setelah menikah dengan  Nyi Wandasari, putri Surayana, penguasa Sidapurna. Surayana adalah putra Prabu Niskala Watu Kancana dari istri ketiganya. Dari perkawinan itu lahirlah Maulana Arifin. Maulana Arifin kelak berjodoh dengan Ratu Selawati, Penguasa Kuningan. Ratu Selawati adalah adik Jayaraksa (Ki Gedeng Luragung) serta kakak
Bratawijaya (Arya Kemuning). Mereka adalah cucu Sri Baduga Maharaja yang kelak di-Islamkan oleh uwaknya Pangeran Walangsungsang (19).

Kedatangan Pangeran Panjunan
Bagian ini diselingi oleh cerita Sultan Sulaeman di Negeri Bagdad yang dilanda kegundahan karena anaknya yang bernama Syarif Abdurrahman dan adik-adiknya, Syarif Abdurrakhim, Syarifah Bagdad dan Syarif Khafid mempelajari Ilmu Tasawuf yang tidak disukai oleh  Sultan Sulaeman dan suka bermain rebana, yang kelak menjadi cikal bakal kesenian Brai di Cirebon. Akhirnya, Syarif Abdurrahman diusir dari kerajaan. Syarif Abdurrahman mengadukan pengusiran ayahnya kepada gurunya, Syekh Juned. Menurut Syekh Juned, tidak ada tempat lain yang harus dituju kecuali Cirebon, tempat yang tentram dan di masa yang akan datang akan diduduki oleh para wali.
            Sementara itu Haji Abdullah Iman berniat kembali ke tanah Jawa. Dalam perjalanan kembali ke tanah Jawa, ia mengunjungi Syekh Ibrahim Akbar di Campa dan  dijodohkan dengan putrinya dan di bawa pulang ke Cirebon (18).  Kelak keduanya dikaruniai tujuh orang putri yang setelah dewasa bermukim di beberapa tempat menjadi sesepuh desa.
Haji Abdullah Iman membangun sebuah keraton di Cirebon yang diberi nama Keraton  Pakungwati yang diambil dari nama anaknya yang baru lahir buah perkawinannya dengan Nyi Indang Geulis. Setelah pembangunan keraton selesai, Haji Abdullah Iman diangkat oleh ayahnya, Prabu Siliwangi, menjadi Ratu Sri Mangana dan diberi payung kebesaran.
Syarif Abdurrakhman yang diusir ayahnya dari Bagdad melakukan perjalanan menuju Cirebon sesuai dengan saran gurunya, Syekh Juned. Ia ditemani oleh tiga orang adiknya dan 1.200 orang pengikutnya yang diangkut dengan empat buah kapal. Akhirnya mereka tiba di Caruban. Setibanya di Caruban, mereka langsung menghadap Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan minta izin untuk tinggal di Caruban. Kemudian diizinkan dan ditempatkan di daerah Panjunan dan Syarif Abdurrakhman  ini dikenal dengan sebutan Pangeran Panjunan(20).  Di tempat tersebut, Pangeran Panjunan bersama para wali mendirikan sebuah masjid, yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Merah Panjunan.
Masjid Panjunan selain memiliki keunikan berwarna merah, juga memilki keunikan lain. Arsitektur pada gapura masjid tersebut asimetri dan memilki candrasengkala berupa srimpedan, yang juga dimiliki oleh Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan Syarif Abdurrakhim bertempat tinggal di Kejaksan dan bergelar Pangeran Kejaksan serta membuat masjid di tempat tersebut.
Mereka bertemu ayahandanya, Syekh Nurjati di Gunung Jati. Syarif Khafid dan Syarifah Bagdad menetap di Gunung Jati (21).Syarifah Bagdad kelak menikah dengan Syarif Hidayatullah dan menjadi sekretaris pribadi dalam hal masalah keagamaan sehingga bergelar Nyi Mas Penatagama Pesambangan yang sangat alim dan berakhlak mulia, sehingga Sunan Gunung Jati sangat mencintainya dan putranya diangkat menjadi putra mahkota.  Namun kedua putranya baik Pangeran Jaya Kelana maupun Pangeran Brata Kelana, meninggal/ syahid dalam usia muda.
Wejangan Syekh Nurjati Kepada Syarif Hidayatullah dan Para Wali
            Setelah berkelana menemui para wali di Jawa, Syarif Hidayatullah pada tahun 1475 (Ada naskah yang menyebut 1470) mendarat di Amparan Jati  dan menemui uwaknya (Pangeran Walangsungsang) yang pada saat itu menjadi Kuwu Cirebon. Uwaknya sangat gembira atas kedatangan keponakannya tersebut dan mendukung niatnya. Tetapi sebelumnya Pangeran Walangsungsang memberi nasihat agar sebelum melakukan syiar Islam, terlebih dahulu menemui Ki Guru, yakni Syekh Nurjati di Gunung Jati. Syarif Hidayat agar meminta nasihat dan petujuk, bagaimana dan apa yang harus dilakukan. Akhirnya, mereka berdua berangkat menuju Gunung Jati menemui Syekh Nurjati selama tiga hari tiga malam. Di tempat Syekh Nurjati mereka menerima wejangan-wejangan yang berharga. Antara lain, Syekh Nurjati berkata:
”Ketahuilah bahwa nanti di zaman akhir, banyak orang yang terkena penyakit. Tiada seorangpun yang dapat mengobati penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena penyakit itu terjadi akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu, kalau ia melepaskan perbuatannya itu. Dan ketahuilah bahwa nanti di akhir zaman, banyak orang yang kehilangan pangkat keturunannya, kehilangan harga diri, tidak mempunyai sifat malu, karena dalam cara mereka mencari penghidupan sehari-hari tidak baik dan kurang berhati-hati. Oleh karena itu sekarang engkau jangan tergesa-gesa mendatangi orang-orang yang beragama Budha. Baiklah engkau sekarang menemui Sunan Ampel di Surabaya terlebih dahulu dan mintalah fatwa dan petunjuk dari beliau untuk bekal usahamu itu. Ikutilah petunjuk beliau, karena pada saat ini di tanah Jawa baru ada dua orang tokoh dalam soal keislaman, ialah Sunan Ampel di Surabaya dan Syekh Quro di Karawang. Mereka berdua masing-masing menghadapi Ratu Budha, yakni Pajajaran Siliwangi dan Majapahit. Maka sudah sepatutnyalah sebelum engkau bertindak, datanglah kepada beliau terlebih dahulu. Begitulah adat kita orang Jawa harus saling menghargai, menghormati antara golongan tua dan muda. Selain itu, dalam usahamu nanti janganlah kamu meninggalkan dua macam sembahyang sunah, yaitu sunah duha dan sunah tahajud. Di samping itu, engkau tetap berpegang teguh pada empat perkara, yakni syare’at hakekat, tarekat, dan ma’rifat”(22).
                Demikian wejangan dari Syekh Nurjati kepada Syarif Hidayatullah. Syekh Nurjati adalah tokoh utamapenyebar agama Islam yang pertama di Cirebon. Tokoh yang lain adalah Maulana Magribi, Pangeran Makdum, Maulana Pangeran Panjunan, Maulana Pangeran Kejaksan, Maulana Syekh Bantah, Syekh Majagung, Maulana Syekh Lemah Abang, Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah. Pada suatu ketika mereka berkumpul di Pasanggrahan Amparan Jati, di bawah pimpinan Syekh Nurjati. Mereka semua
murid-murid Syekh Nurjati. Dalam sidang tersebut Syekh Nurjati berfatwa kepada murid-muridnya:
”Wahai murid-muridku, sesungguhnya masih ada suatu rencana yang sesegera mungkin kita laksanakan, ialah mewujudkan atau membentuk masyarakat Islamiyah. Bagaimanakah pendapat para murid semuanya dan bagaimana pula caranya kita membentuk masyarakat Islamiyah itu?” (23).
                Para murid dalam anggota sidang mufakat atas rencana baik tersebut. Syarif Hidayatullah berpendapat bahwa untuk membentuk masyarakat Islam sebaiknya diadakan usaha memperbanyak tabligh di pelosok dengan cara yang baik dan teratur. Pendapat ini mendapat dukungan penuh dari sidang, dan disepakati segera dilaksanakan (24) Sidang inilah yang menjadi dasar dibentuknya organisasi dakwah dewan Wali Songo.
Sebelum meninggal dunia, Syekh Nurjati berwasiat kepada anak bungsunya, Syekh Khafid, “Ana sira ana ingsun”, yang artinya ada kamu ada saya. Maksudnya adalah Syekh Nurjati berpesan bahwa Syekh Khafid adalah pengganati Syekh Nurjati apabila berhalangan. Wasiat inilah yang memperkuat anggapan bahwa seolah-olah Syekh Datuk Khafid adalah orang yang sama dengan Syekh Datul Kahfi (25).  
Beberapa saat kemudian Syarif Hidayatullah menggantikan Syekh Datuk Kahfi/Syekh Nurjati yang meninggal dunia (26).  Syarif Hidayatullah ketika menggantikan kedudukan sebagai guru dan da’i di Amparan Jati diberi julukan Syekh Maulana Jati, disingkat Syekh Jati.
Semasa hidupnya Syekh Nurjati senantiasa mengamanati setiap santri yang akan meninggalkan Pangguron, dengan perkataan ’’settana’’ artinya pegang teguhlah semua pelajaran yang diperoleh dari pengguron Islam Gunung Jati, jangan sampai lepas. Sejak saat itu orang menamakan Kampung Pesambangan dengan nama Settana Gunung Jati. Namun karena pada akhirnya Gunung Jati itu digunakan untuk pemakaman, terutama makam Syekh Nurjati sendiri, maka penduduk Jawa Barat yang sebagian besar  berbahasa Sunda, sebutan settana diganti menjadi astana yang artinya kuburan. Walaupun demikian, penduduk yang berbahasa Jawa Cirebon masih banyak yang menyebutnya settana. Dengan demikian Kampung Pesambangan yang mencakup Gunung Jati sampai sekarang dinamakan Kampung atau Desa Astana.
Sebagai bukti penghormatan umat Islam, yang berziarah ke Astana (baik ke komplek pemakaman Gunung Jati maupun komplek pemakaman Gunung
Mursahadatillah, dan secara khusus disampaikan kepada ruh pemimpin dan penghulu kami Syekh  Datul Kahfi, dan kepada ruh Syekh Bayanillah, dan kepada seluruh ruh para wali, sultan, ahli kubur yang disemanyamkan di Gunung Jati dan Gunung Sembung, dan orang tua mereka, para pendoa mereka, dan orang-orang yang mengambil pelajaran dari mereka, Yaa Allah ....tolonglah kami semua dengan perantaraan (izin Allah, akan kemuliaan mereka, aku memohon (hanya) kepada Engkau, (memohon) barokah, syafaat, karomah (kemuliaan), ijasah (kelulusan dan pengakuan), dan keselamatan, segala sesuatu hanya milik Allah, bagi mereka Fatihah.
Kalau kita simak doa tersebut, maka ada penghormatan terhadap :
1.      Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
2.      Nyi Mas Ratu Rarasantang (Syarifah Mudaim, ibunda Sunan Gunung Jati, Pendiri Caruban)
3.      Syarifah Bagdad/ Fatimah (Nyi Mas Penatagama Pesambangan, istri Sunan Gunung Jati, putri Syekh Nurjati)
4.      Pangeran Cakrabuana (paman Syarif Hidayatullah, pendiri Caruban)
5.      Syekh Quro/ Syekh Hasanudin (Syekh Mursahadatillah, pendiri Pondok Pesantren Karawang, Sahabat Syekh Nurjati )
6.      Syekh Nurjati (Syekh  Datul Kahfi, guru Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang dan mertua Sunan Gunung Jati)
7.      Syekh Bayanillah (adik Syekh Datul Kahfi, pendiri Pondok Pesantren di Kuningan)
Kita bisa mencermati bahwa doa tersebut diatas ditujukan kepada  sekelompok elit ulama perintis dakwah Islamiah di Cirebon.
Gapura Bersayap di Pintu Makam Syekh Nurjati
Syekh Nurjati meninggal dan dimakamkan di Gunung Jati. Sedangkan Syarif Hidayatullah meninggal di Gunung Jati sehingga disebut Sunan Gunung Jati, namun dimakamkan di Gunung Sembung, sebelah barat Gunung Jati.
Gapura bersayap di pintu makam Syekh Nurjati adalah sebagai penanda masuknya agama  Islam di Cirebon. Model gapura ini merupakan salah satu karya adi luhung orang Cirebon, pada awal abad ke 15-17 Masehi. Karya adi luhung ini merupakan karya dekoratif yang sebenarnya lumrah di pesisir pantai utara Jawa.
Pintu yang ada di gapura bersayap Syekh Nurjati ini dapat melambangkan kematian. Artinya maut adalah gerbang yang akan dilalui oleh setiap manusia (ruh) untuk mencapai kehidupan berikutnya yang abadi. Pemaknaan pintu sebagi lambang kematian merupakan gambaran yang sangat tepat dan sesui dengan peribahasa Arab yang berbunyi : “ al mautu babun wa kullunaasi dakhiluhu”, maut adalah pintu dan setiap orang akan memasukinya.
Jika pintu bermakna kematian, maka gapura bersayap bisa menjadi makna perlambang bagi Malaikat Izrail. Artinya, kematian bisa disebut kematian yang sesungguhnya jika ruh seseorang sudah dibawa malaikat Izrail dan menurut Al Quran bahwa para malaikat itu bersayap (27).
Sumur Jalatunda
Di Pesambangan terdapat dua sumur tua peninggalan Syekh Nurjati, yakni sumur Jalatunda dan sumur Tegangpati. Sumur diartikan sebagai kirata basa : seumur atau sepanjang kehidupan. ”Jala” dari bahasa Arab ”jalla” yang berarti luhur atau agung, ”tundha” artinya titipan, sedangkan ”tegangpati” berarti serah jiwa (28).
Sumber Tulisan: http://www.iaincirebon.ac.id/

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...