Pagi sekali, adzan subuh belum dikumandangkan, bahkan ayam pun belum sempat berkokok, lelaki 60an tahun itu sudah keluar dari rumahnya, menuju masjid. Hampir tidak pernah absen, lelaki sepuh itu shalat berjamaah 5 waktu, di masjid dekat rumahnya.
Pada suatu subuh, di ruang wudhu, tepat di sampingku, tak sengaja kuperhatikan lelaki itu mengambil air wudhunya. Tampaknya ada yang salah dari wudhunya, tidak tertib, berurutan, padahal termasuk rukun wudhu (menurut jumhur). Benar, kabar yang pernah kudengar dari anaknya, beberapa waktu sebelumnya, bahwa bapaknya masih 'muallaf'. Jangankan baca al-Quran, kenal huruf Arab saja belum, bahkan bacaan shalat saja masih sangat butuh pembenahan.
Pria baya itu sebenarnya cukup kukenal. Apalagi, beberapa tahun yang lalu, aku sempat mengajari privat cucu dan anaknya, setiap habis Magrib. Lelaki itu terbilang pendatang lama dari daerah, barangkali sejak muda, berpuluh tahun yang lalu, bahkan dia dan beberapa saudaranya sudah punya rumah di ibu kota. Pensiunan pegawai negri itu terbilang gaul dengan tokoh agama (ustadz) yang juga imam masjid setempat, termasuk dengan sesama jamaah, sangat dikenal.
Sebelum adzan Magrib dikumandangkan, biasanya ia sudah keluar rumah dan masih di sana hingga usai shalat Isya, baru ia pulang. Biasanya, selepas shalat Magrib, ia dan kawan-kawan sesama jamaah, barang duduk-duduk santai di teras masjid, ngobrol ngalor-ngidul dan lain sebagainya. Memang, itu baik, namun alangkah lebih baik bila pihak masjid memanfaatkan waktu sekitar 30 menit itu dengan acara bimbingan al-Qur’an atau pembinaan praktik ibadah. Taklim jiping memang ada, namun itu hanya sekali sepekan. Lebih baik sih daripada tidak sama sekali. Dan, lelaki itu tidak pernah absen mengikutinya.
Selepas wudhu, kujabat tangannya, lalu bergegas ia masuk masjid. Tampaknya, ia masih pangling denganku. Mungkin karena ia terburu-buru untuk shalat sunnah subuh, sebab adzan sudah usai dikumandangkan, selain memang cukup lama kami tak bertemu muka. Sudah beberapa tahun ini, aku tidak di Jakarta. Dalam hati ingin langsung menegur dan mengajarinya wudhu, tapi kuteringat kisah badui kencing di masjid yang sakit hati dengan para sahabat. Dalam hati, tunggu waktunya, cari kesempatan yang tepat tuk ber'aksi'. Apalagi, aku masih beberapa hari singgah di masjid itu. Dan, usai shalat subuh, ia menyapaku,
“Kirain siapa tadi. Mari mampir.” Ucapnya padaku, pangling.
“Terima kasih pak. Insya Allah, besok. Hari ini, pagi-pagi, saya harus jalan. Sedang ada janji di luar.”
“Kalau saja Musa dapat bersabar, tentu dia kan menceritakan kepada kita lebih banyak lagi kisah tentang perjalanan mereka berdua."
Sabar dalam menyikapi sesuatu, sabar dalam berdakwah. Kata yang tepat di waktu yang tepat, disertai doa yang tekad. Ketergesaan hanya akan buat 'mangsa' (baca: objek dakwah) lari duluan. Dan, pembaca juga harus bersabar membaca kisah ini...
Muslim 'muallaf' (baca: awam) yang aku kisahkan di atas hanyalah potret kecil, masih banyak orang yang semacam itu, semangat dalam beribadah namun [sayang] kurang adanya perhatian dan sentuhan taklim dakwah dari para dai syar'i. Sehingga, beribadah hanya modal semangat, tanpa ilmu. Dan, selain itu, masih banyak pula saudara muslim KTP yang belum mau shalat, zakat, ngaji, dsb. Ada yang karena malas, dan tak jarang dari mereka yang memang karena belum tahu ilmunya, bahkan belum tahu rukun iman dan Islam. Sementara para dai dan ustadz kita malah sibuk berdebat tentang masalah al-mukhtalaf fiha, masalah yang furu’ fiqhiyyah dan furu’ aqadiyyah yang notabene tidak mendasar, memperuncing perbedaan tentang qunut, ziarah kubur, tarawih, dzikir berjamaah, maulid, jumlah rakaat shalat tarawih, tallafuzh bin niyyah, takwil, dsb. Dan kaum ‘muallaf’ pun luput dari perhatian kita.
Tentang perhatian terhadap ‘muallaf’, kita masih kalah dengan saudara Kristen kita. Di sana, muallaf baru selaian mendapat pendampingan, mereka juga mendapatkan subsidi kebutuan harian dari pihak gereja, hingga setahunan. Ini kabar yang kudengar dari seorang kawan yang pernah tinggal se-kosan dengan kawan Kristen. Memang, secara teoritis, di dalam Islam ada jatah distribusi zakat untuk para muallaf, namun secara praktik, masih jauh api dari panggang.
Mari kita manfaatkan Ramadhan tahun ini untuk mengevalusi diri, mengevalusi program pembinaan, memperhatikan skala prioritas, belajar tentang keadilan, memberikan sesuatu sesuai porsinya, belajar mengejawantahkan ilmu balaghah dalam keseharian, menyampaikan suatu kebenaran, dengan cara yang tepat dan di waktu yang tepat. Semoga bermanfaat.[]
Jakarta, 20-21 Sya’ban 2014
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar