Oleh: Masyhari Mahrus
Sebuah berita bertajuk "Prostitusi Terselubung Para Artis dan Model Top Nasional Terbongkar" dilansir hari ini (28/06/2014) oleh media online TRIBUNNEWS.COM. disebutkan bahwa sejumlah model dan artis kelas nasional, ternyata juga melacurkan diri dengan tarif sekali kencan Rp 15 juta - Rp 25 juta. Ini seperti yang dilakoni APH, seorang model berusia 25 tahun yang rela melayani pria hidung belang dengan tarif Rp 15 juta untuk sekali kencan. Parahnya lagi, ternyata sang germo adalah pria muda yang baru berusaia 24 tahun.
Gila bener kan!?
Bahkan,
menurut pengakuan sang germo, ia memiliki sekitar 25 model dan artis yang biasa dijual
olehnya. Diketahui, bisnis haram yang dijalankan oleh pria ini sudah
berlangsung selama bertahun-tahun. Dan selama itu, dia sudah punya banyak
sekali koleksi model untuk bisa dipasarkan.
Berita-berita semacam itu,
sebenarnya bukanlah barang baru. Sekitar 7 tahun yang lalu, seorang kawan yang
pernah ngantor di Tamrin, cerita panjang lebar soal sejumlah artis papan atas
yang "nyambi" jadi wanita "sewaan" satu malam yang bisa
diajak ke hotel, dengan harga tinggi tentunya.
Tiga tahun yang lalu,
seorang kawan guru asli Jakarta juga pernah bercerita kepada penulis, bahwa
seorang kawannya di SMA ada yang berprofesi sebagai pelacur, dengan langganan
om om, lelaki hidung belang. Dan menurut pengakuan ibu guru ini, sekitar 50%
dari kawan SMAnya tidak virgin lagi.
Sepekan yang lalu, sebuah
obrolan dengan sejumlah kawan aktifis di LSM dan pegawai di kementrian, semakin
memperkuat bahwa berita semacam itu bukan sekedar isapan jempol, real dan
benar-benar nyata...
Sudah segitu parahkah,
generasi muda negeri ini?!
Kita hanya bisa
beristighfar, berusaha dan berdoa, semoga generasi muda berikutnya semakin
baik, anak-anak kita tidak terjerumus pada dunia gelap semacam itu.
Memang, baik-tidaknya
seseorang, berujung pada takdir yang Allah gariskan. Akan tetapi, kita diberikan
“wewenang” untuk berusaha dengan sekuat tenaga dan penuh keyakinan untuk
mengubah keadaan. Karena Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga
kaum itu berusaha untuk melakukan usaha perubahan. Sehingga, apa yang terjadi,
ada sebab-akibat dari kesalahan yang dilakukan manusia.
Dalam konteks pendidikan, anak
tidaklah bisa disalahkan. Anak hanya menjadi “korban” kegagalan sistem
pendidikan kita, kegagalan orang tua dalam mendidik putra-purinya. Orang tua
yang menjadi sentral pendidikan, barangkali belum memiliki ilmu parenting,
belum bisa menjadi teladan, belum bisa memberi contoh yang benar dalam
perilaku. Orang tua masih fokus pada pengisian otak dengan materi keduniaan,
kurang memperhatikan aspek ruhiah, mental, karakter dan perilaku anak.
Sampai saat ini, penekanan
pendidikan saat ini masih pada aspek kognitif (kecerdasan otak), bukan pada
afektif (sikap, perilaku dan tata nilai). Semoga akan segera berubah negeri
ini. Anak dididik untuk menjadi mesin pencetak uang, bagaimana agar bisa
mendapatkan materi dan uang sebanyak-banyaknya. Pendidikan berbasis materiil,
bukan spirituil. Maindset semacam ini harus kita ubah, demi terciptanya dunia
yang lebih baik. Bisnis prostitusi, narkoba dan korupsi masih meraja-lela,
karena masih banyak yang hanya berorientasi pada duit, perut dan isi perut,
tanpa memperdulikan halal-haramnya. Tanpa peduli dampak negatif yang
ditimbulkannya. Tidak peduli, bisnis yang dijalani akan merusak generasi muda
atau tidak.
Menurut hemat penulis, ada
beberapa usaha yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan, di antaranya:
Kita didik
anak-anak kita di rumah dengan memberi keteladanan. Kita perkuat imunitas dan
kekebalan mental dan spiritual anak dari rumah, meminjam istilah Ayah Edy: “Indonesia
Strong from Home”, Home Education. Pendidikan berbasis keluarga. Karena buah
jatuh tidak jauh dari pohonnya. Like father like son. Kacang ora
ninggal lanjaran. Bila setiap keluarga baik, satu RT akan baik. Bila satu
RT baik, satu RW akan baik, dan seterusnya hingga pada lingkup dunia.
Kita sebagai orang tua,
harus peduli dan memiliki perhatian terhadap pendidikan anak-anak kita. Tidak
lepas tangan begitu saja, melempar amanah serta tanggung-jawab pendidikan
anak-anak kita pada institusi sekolah. Karena kita sudah bayar mahal.
Hanya saja, yang patut
disayangkan, sampai saat ini, belum ada pendidikan parenting, pendidikan calon
orang tuan, yang dilakukan secara massif, khususnya oleh pemerintah yang
diwujudkan dengan adanya regulasi dan kebijakan, adanya kewajiban bagi
penyelenggara negara untuk mengadakan "Pendidikan Parenting" bagi
para calon pengantin. Ini sangat penting, agar para calon orang tua, memiliki
keahlian dasar dalam mendidik anak-anaknya kelak. Selain itu, dilakukan pula
bimbingan dan pendampingan lanjutan, diwujudkan dengan pendidikan parenting
lanjutan, bagi para pasangan yang sedang hamil, dan seterusnya.
Memang, selama ini sudah
ada. Namun terbilang masih sedikit, dan itupun bukan pra nikah, dan cukup telat
(meski tak ada kata terlambat).
Selain itu, kita bisa memasukkan
anak-anak kita ke pesantren, atau lembaga pendidikan berbasis karakter,
pembinaan ruhiyah, mental, spiritual, dengan pijakan al-Qur'an dan al-Hadits.
Sampai saat ini, setuju atau tidak, pesantren masih menjadi primadona, karena
merupakan [kalau bukan satu-satunya] institusi pendidikan yang sukses mencetak
kader-kader berkualitas, tidak hanya secara intelektual, tapi secara mental,
spiritual dan akhlak. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[]
Tana Toraja, 28 Juni 2014
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar