Saturday, December 12, 2015

Yäqütu Wal Marjän

Sebuah Cerpen

Oleh: Eni Ratnawati*

Senja memayungi kota Surabaya. Sulur-sulur jingga berarak merebut kerajaan langit, menggantikan cerah yang rupa-rupanya telah berpulang ke peraduannya. Jalanan yang sesiang itu ramai oleh para pekerja pabrik, kini suram menyisakan kubus-kubus kelabu yang terabaikan, teronggok di sepanjang kanan-kiri jalan menuju pemukiman Tambak Pring. Sore itu lengang, azan Magrib berkumandang saat sepasang suami-istri melintasi jalan beraspal yang semakin hari semakin rengat meninggalkan jejak kasar berlubang.

“Ini tidak seperti yang aku harapkan.” ucap Marni dari balik punggung suaminya. “Semoga saja dokter itu salah.” sesalnya setengah kesal.
“Lha, masak iya dokter bisa salah?! Dan lagi kenapa harus menyesal? Wong anak itu ada bapaknya!” ucap Mardi, suaminya.
“Sampean gampang saja ngomong kayak gitu! Nggak tau sih gimana sakitnya melahirkan, puyeng selama tiga bulan, mabok… Dan lagi anak kita sudah tiga. Sudah lebih dari cukup. Aku nggak mau hamil lagi.”  protesnya dengan harga mati.
“Lho, lho… lha wong sudah terjadi! Mau diapain??”
“Diapain, kek!”
Mardi terperanjat. Ia menghentikan laju motornya.
“Kamu itu ngomong apa! Istigfar, Ni!!” Ia mencari wajah istrinya, sementara Marni melengos mengabaikan kata-katanya.
Mardi tidak tahu mengapa istrinya begitu tidak menginginkan anak dalam kandungannya. Tetapi dari hasil tebak-tebakannya, tidak ada alasan lain yang lebih masuk akal dari penolakan Marni, selain Salwa, anak bungsunya. Kasih sayang Marni yang berlebihan pada Salwa bahkan kerap menjadi pemicu pertengakaran di antara mereka. Tentu saja! Jika dengan kasih sayang itu Marni menjadi abai terhadap Eka dan Dimas, dua anak mereka yang lain.
Marni bilang, Salwa memiliki aura yang tidak dimiliki dua kakaknya. Kulit Salwa putih bersih, hidung mancung, bibir tipis bening, rambut keriting gantung, alis hitam tebal, dua bola mata bulat penuh dengan bulu-bulu mata yang lentiknya membuat iri siapa pun. Jika seseorang memuji Salwa, Marni merasa itu adalah pujian untuk dirinya. Dan betapa telah lama Marni merindukan puji-pujian yang telah lama meninggalkannya, mengkhianatinya sejak malam pertama pernikahannya.

Seperti yang terjadi pada suatu sore. Marni meringis. Bibir gelapnya bergetar-getar menahan haru yang kian mengental. Binar matanya menyatakan kebanggaan yang luar biasa. Diciuminya sosok berkuncir yang sedang manggut-manggut menjilati es krim, di pangkuannya.
“Dulu waktu hamil ngidamnya apa sih, Mbak?” tanya perempuan muda yang duduk di sampingnya.
“Nggak ngidam apa-apa, Liha. Cuma paling nggak betah sama bau badannya Mas Mardi.”  ucap Marni, disusul tawa sekian wanita yang sedang duduk berjejal memenuhi dipan reyot di bawah beringin muda, di depan rumahnya.
Semua perempuan itu tampaknya menjadi betah berlama-lama duduk di pinggir selokan bau di belakang bokong pabrik, yang menggurita mengitari perkampungan Tambak Pring, demi bercuap-cuap, melihat kelucuan serta keriangan gadis lima tahun yang bibit kecantikannya telah merunyamkan sekalian warga kampung.
“Aku pengen nanti anakku cuantik dan pintar kayak anakmu, Mbak Mar.” cubit wanita yang lain pada pipi gembil Salwa. Marni senyam-senyum. Kecintaannya pada Salwa kian hari kian membumbung.
Begitu setiap pagi dan sore hari. Marni selalu senang mengajak Salwa berjalan-jalan mengelilingi komplek perumahan di sebelah kampungnya. Setiap pagi dan sore itu pula, pujian serta sanjungan untuk gadis kecil itu membanjir dari sekalian bibir. Dibilangnya pada orang-orang bahwa Salwa adalah bintang masa depan; calon artis, bintang iklan, kalau bukan model top yang bakal bikin seluruh kampung kecipratan tenar. Mereka yang mendengar itu terkadang mencandainya, menasehatinya, namun lebih banyak lagi yang manggut-manggut seolah mengamini cita-citanya.

Namun cita-cita itu mulai mengabut semenjak kira-kira sebulan yang lalu Marni diserang meriang. Badanya lemas tanpa sebab, dan ia juga sering tertidur di depan televisi. Belum lagi mual dan muntah yang datang pada waktu-waktu tertentu. Semua itu membuat Marni semakin tertekan dan uring-uringan. Dan kekhawatirannya menjadi nyata saat sore itu Mardi mengantarkannya ke klinik, lalu mereka kembali dengan hasil yang sudah diprediksinya sendiri jauh-jauh hari. Tetapi begitu, hatinya sulit menerima kebenaran. Menurutnya, dengan memiliki anak lagi, kasih sayangnya pada Salwa akan terduakan, dan cita-citanya hanya akan menjadi bahan candaan. Belum lagi ketakutannya yang lain, yang seolah meyakini bahwa anak dalam rahimnya tidak akan lebih membanggakan dari Salwa. Semua hanya akan merusak citra serta mimpinya.
“Besok aku mau ke rumah ibu.” ujar Marni sesaat setelah mereka sampai di halaman rumah mereka.
Mardi mengiyakan. Ia tidak bertanya apa-apa meski tahu beberapa hari yang lalu Marni baru berkunjung ke rumah ibunya.

Marni berasal dari keluarga kaya. Ia anak seorang petani tambak yang tersohor di kalangannya. Tetapi Mardi mengenal Marni bukan karena tambak atau nama besar bapaknya, melainkan dari gunjingan kawan-kawannya. Kembang desa Tambak Pring, kata itu yang membuatnya tidak bisa lena. Tak terhitung berapa lurah dan duda kaya yang datang melamar Marni. Para pemuda saling berlomba mendapatkan hatinya, namun si Kembang Desa justru jatuh ke pelukannya. Kekhilafan masa muda menyatukan mereka dalam pelaminan, yang disebut-sebut orang sebagai perkawinan si cantik dan si buruk rupa. Dan sekarang, Mardi harus membayar mahal itu semua.

Sejak mengetahui dirinya hamil lagi, Marni menjadi begitu rajin bertandang ke rumah orang tuanya. Jika tidak bisa pagi, ia akan menyempatkan pergi di sore hari. Semua urusan rumah seperti tak lagi dipusingkannya.

Pada suatu malam, saat Marni pulang kelewat malam,
“Kau lupa kalau kau meninggalkan anak-anak di rumah?” tanya Mardi menahan sabar. “Aku menemukan ini? dan ini?!” matanya melotot.

Marni terbelalak. Seingatnya, ia selalu melempar botol-botol itu ke keranjang sampah setelah menghabiskan seluruh ramuannya. Ia kehabisan kata-kata.
“Kau tidak pergi ke rumah ibu.” Mardi mondar-mandir. “Kau, ke mana??” laki-laki itu melolong mengawasinya.
“Aku tidak tahu itu milik siapa!” ucap Marni tak senang.
“Jangan nekat dengan niatmu. Jangan sampai sesuatu buruk terjadi pada anak dalam perutmu. Kualat, Ni, kualat!!” urat leher Mardi mengeras. 

Tiba-tiba Marni melotot. “Terus pengennya gimana?” tanganya menghentak-hentak di atas kasur. “Coba kalau kamu punya cukup uang, tentu semua lebih mudah. Lha? Untuk menghidupi dua anak saja sudah susah, mau nambah punya anak lagi. Kamu pikir yang aku lakukan ini apa? Untuk siapa? Kamu mau aku dipermalukan terus sama keluargaku? Mengemis terus sama mereka dengan alasan cucu-cucunya? Aku sudah cukup sabar dengan tinggal di rumah kecil ini, tidak pernah mengeluh tentang teman-temanku yang tinggal di sebelah sana, di perumahan sana!”
Marni mulai melipat baju anak-anaknya dengan kekuatan berlebih. Dihentak-hentakkannya lengan dan kakinya sebagai penguat rasa kesal.

Mardi terdiam. Dipandanginya wajah perempuan yang dinikahinya tiga belas tahun itu dengan penyesalan yang dalam. Betapa ia ingin membahagiakan istrinya, mencukupinya, memberikan semua yang diingininya. Tetapi pekerjaannya yang hanya sebagai sopir muatan, tidak mendukungnya untuk itu semua. Masih untung Mardi mendapat jatah muatan. Terkadang, jika muatan sepi, ia harus rela menjadi kacung, menunggu mobil-mobil besar itu membongkar muatannya.

“Kamu bersabarlah sedikit, aku sedang mengusahakan pekerjaan yang lebih baik.”
“Bersabar bersabar, harus bersabar sampai kapan??” cerocos Marni garang. “Sampai nenek-nenek?” kembali kaki dan tangannya menghentak-hentak.
“Tidak baik uring-uringan begitu, Ni! Kamu sedang hamil!” Mardi mendekati istrinya, namun kembali mundur Karena Marni mendorongnya. “Tapi bayi kita baik-baik saja kan?”
“Aku nggak mau anak ini!” Marni melengos.
Bagai tersengat setrikaan, Mardi terkesiap dan kemudian panik bukan kepalang.
“Astaghfirullah, Niiiii! Nyebut kamu! Jadi bener dugaanku?” tampang Mardi menjadi runyam. “Anak itu amanah. Rizki dari Allah.”

“Aku nggak peduli! Aku nggak mau anak ini lahir, dan Salwa nggak keurus.”
“Apa?!” Mardi melotot. Lalu buru-buru bersimpuh di lutut istrinya. Dirapalnya sejuta pitawat demi mengembalikan kesadaran Marni. Mardi mengelus perut istrinya, berusaha menyapa janin yang bersemayam di dalamnya. Entah apa yang dipikirkan Marni, tetapi matanya lekat pada sosok mungil yang sedang pulas di atas kasur. Kecintaannya pada Salwa melebihi apapun.

Tiba-tiba Marni merintih. Ia menahan pinggangnya sambil meringis. Mardi yang tidak menyadari sesuatu besar telah terjadi, menatap panik pada istrinya yang kini memejam terus menggeliat. Ia berusaha memijit, keluar-masuk kamar mengambilkan sesuatu yang mungkin dibutuhkan istri dan calon anaknya. Namun Marni tetap melenguh dan mengeluh. Mardi baru tersadar setelah melihat bayangan hitam merembes di kain istrinya. Seketika itu wajahnya pasi, suaranya tercekat dan lututnya menggigil. Merah mengaliri tungkai Marni dan terus jatuh ke ubin.

Pertolongan itu segera datang. Namun tidak bagi janin di dalam  perut Marni. Semua merasa kehilangan, tetapi tidak dengan Marni. Ia berjalan ceria menapaki tangga rendah di depan teras rumahnya.
Eka berdiri di muka pintu. Digendongnya Salwa yang masih menangis tanpa benar-benar tahu mengapa bocah kecil itu terus menangis.

“Salwa kenapa, Nak??” tanya Marni sambil mencumbu Salwa. Ia dan suaminya baru saja pulang dari rumah sakit.
“Salwa rewel, Bu. Nangis terus sejak Ibu di rumah sakit.” ungkap Eka, putri sulungnya.

Mardi mengambil alih Salwa, menggendongnya, membuatnya tertawa-tawa sebentar namun itu tidak berlangsung lama. Salwa kembali menangis. Giliran Marni menawarkan tangannya, mencandainya, berusaha mengabaikan sakit yang masih terasa di tulang-belulangnya. Namun Salwa tak hendak beranjak. Bocah kecil itu semakin erat memeluk leher Mardi.

Malam itu, semua penghuni rumah Mardi tak sejenak pun dapat terpicing. Sampai tengah malam Salwa masih terus menangis, dan semakin keras tangisnya kala gadis kecil itu mengeluhkan panas di sekitar perutnya oleh sebab buang air. Semua menjadi panik. Mardi tidak dapat menunggu esok untuk kembali ke rumah sakit.

Satu-persatu tetangga berdatangan mengunjungi Salwa yang dirawat di rumah sakit, termasuk aku. Aku datang bersama ibuku. Ibu menyabar-nyabarkan Marni, yang terus menangis menunggu di samping tubuh kecil itu.
“Semua dari Allah, yang sabar ya, Dik Mar.” ucap ibuku.
Marni mengelap matanya yang sembab. Bibir dan jemarinya gemetaran. “Aku ingin memeluknya, Mbak.” Ia tergugu. “Menciumnya, mengelus rambutnya, tapi Salwa bahkan tidak mau melihatku.” Air matanya mengalir deras. “Aku nggak tahu kenapa dia nggak mau kusentuh. Aku nggak tega lihat dia seperti ini, Mbak! Nggak kuat atiku…!” Marni mengguncang-guncang tangan ibuku.
Di antara isak tangis Marni, masih tedengar banyak lagi rintihan dan ratapannya, sedalam dan setinggi mimpi-mimpinya yang telah karam di dalam cairan infus anaknya. 
Sejenak aku melirik Salwa. Gadis kecil itu masih terlihat cantik bahkan saat sekian selang berseliweran di sekeliling tubuhnya. Mardi duduk di dekat kepala Salwa, melantunkan bebait ayat suci. Sampai pada suatu ayat di penggalan surah Ar-rahman, saat ia mengucap ‘yaaquutu wal marjaan’, tiba-tiba suara Mardi tersendat. Dan satu ayat setelahnya membuat bibir laki-laki malang itu tercekat. Tangan Mardi gemetar, sebelum menangis memeluk tubuh Salwa.

Selang tujuh hari setelah kunjunganku ke rumah sakit, keluarga itu pulang dengan iring-iringan besar. Ambulans menepi di sudut gang mengguratkan duka yang teramat dalam. Wajah-wajah sembab turun dari mobil-mobil dan motor-motor besar. Mereka keluarga Marni. Dari sekian wajah, tampak Marni berjalan lunglai dibimbing dua adiknya. Matanya terbuka lebar, menatap lurus ke depan, sesekali terseok dan terjatuh. Tetapi tatapan mata itu kosong, hidungnya berair, wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. Marni seperti sosok yang berjalan di dalam tidur. Sementara di depannya, di antara sekian laki-laki yang mengobar haukalah, Mardi membopong jenazah putrinya.
Bintang masa depan itu telah pergi, di usianya yang terlalu dini. Tumor ginjal membuatnya tak bisa bertahan meski dalam hitungan hari. Di penghujung musim itu, Mardi mengubur dua tubuh, hati dan jantungnya, dalam lahat yang sama.[]

Cirebon, 21/04/2015

* Penulis berasal dari pesisir utara Lamongan. Saat ini tinggal di Cirebon. Senja Terbelah di Bumi Surabaya (2015) adalah novel perdana yang terlahir darinya.

Tuesday, December 8, 2015

Pesan Buat Ananda

Pesan Buat Ananda
oleh Masyhari

Anaku,
Jika membenci diperbolehkan, janganlah membenci seseorang karena individunya. Bencilah kejahatannya, bukan orangnya.
Setiap orang, sebaik apa pun, pernah bersalah. Sebagaimana pula, sejahat apapun orang, pasti pernah berbuat baik.
Anakku,
Sekalipun penjahat dibunuh, tak akan menumpas kejahatan. Sekalipun membalas kejahatan dengan kejahatan itu diperbolehkan, namun memaafkan itu lebih diutamakan.
Terkadang, seseorang berniat baik, tapi ternyata salah langkah, dan ia tidak merasa. Ia merasa sudah benar. Tunjukkanlah ia pada kebenaran yang kau yakini, cukup ajak. Janganlah pernah memaksanya, karena manusia terlahir merdeka. Jangan pernah menghinanya, apalagi menyebut-nyebut namanya untuk diperolok. Doakanlah atas kebaikannya. Sebagaimana kita tidak suka dihina dan disebut-sebut kesalahan kita, begitu pun dia.
Anakku,
Sayangilah orang lain, sebagaimana engkau suka disayang. Jangan benci orang lain, sebagaimana engkau tidak suka dibenci.
Anakku,
Kebencianmu pada seseorang tidak akan mengubah prilakunya, terlebih bila ia sudah tiada. Itu hanya akan menambah beban jiwa dan membangunkan kembali ia yanh telah terkubur di tanah, hadapi kehidupan lainnya.
Anakku,
Obati luka dengan obat dan tutuplah dengan plaster, kalau bisa dengan perban, agar tidak menjalar, oleh kuman dan terlihat oleh lalat. Obatilah, jangan malah kau tambah luka dengan memukulinya.
Anakku,
Saat orang hendak terjatuh di jurang, ulurkanlah tanganmu untuk menariknya. Jangan malah kau mendorongnya.
Anakku, mari kita perbanyak introspeksi diri, bercermin. Jangan-jangan langkah dan pilihan kita yang salah. Atau cara kita dalam menyampaikan kurang benar.
Anakku,
Kebenaran sejati hanya milik-Nya. Kita hanya berusaha dan berupaya untuk mencapai kebenaran. Bisa jadi, kita benar-benar dapatkan kebenaran itu, bisa pula salah.
Anakku,
Manusia dicipta untuk mengabdi kepada Tuhan dan berbuat baik kepada sesama dan melestarikan alam semesta. Kita tidak dicipta untuk menjadi korektor dan juri bagi orang lain, yang menilai benar salah, yang memasukkan seorang ke dalam surga atau neraka. Itu adalah hak dan wewenang-Nya.
Anakku,
Jadilah pribadi yang pemaaf. Karena memaafkan itu sifat-Nya. Dan pemaaf itu lebih mendekatkan dirimu dengan-Nya.
Cirebon, 25 Rajab 1435 H

Memaafkan

Pesan Buat Ananda
Oleh Masyhari
Anakku, berbuat baiklah kepada siapapun, termasuk kepada ia yang melukaimu, yang memusuhimu. Saat ia tahu akan ketulusan hatimu dan kelembutan sentuhan tanganmu, ia kan sadar, dan berbaik hati.
Jadilah pemaaf, anakku. Pembalasan dendam tidak akan mendamaikan jiwa dan menentramkan hati. Lupakan kesalahan orang yang telah menyakitimu, kau akan bahagia, lepas, tanpa beban. Rasa dendam hanya akan menyakitimu. Kebahagiaan hanya bagi pemaaf.
Anakku, tak ada kebencian murni dan abadi di dunia ini. Kebencian terjadi disebab ketiadasepahaman. Ia yang membencimu akan berbalik mencintaimu bila hatinya terbuka oleh ilmu dan kesadaran. Dan, yang abadi di dunia ini hanya perubahan itu sendiri.
Tersenyumlah, anakku, selalu. Senyum di bibirmu akan mendamaikan dunia yang terbakar bara amarah. Tersenyumlah, hatimu kan damai penuh bahagia.
Senyuman laksana embun pagi yang segarkan penat hari. Laksana rinai hujan sirami alam kering kerontang.
Mari tersenyum hadapi hari.
Cirebon, 14/05/2015

Waspada Sesiapa

Pesan Buat Ananda
Oleh Masyhari

Anakku,
Waspadalah, terutama dari orang terdekatmu. Bisa jadi, yang kau sangat percayai, tega sekali khianati. Banyak kisah saksikan, seorang jatuh dari kesuksesannya dalam jurang, karena dijerumuskan oleh kawan.
Sudah menjadi tabiat orang kita (mengutip novel "Rahasia Mede"), mudah sekali mengumbar informasi pribadi pada sesiapa, orang lain, dengan atau tanpa sadar. Sementara informasi adalah hal penting, apalagi di era kini. Tentang urusan pribadi, kita kerap berbagi, bahkan bukan hanya pada orang dekat, tapi kepada banyak orang. Padahal kita tak tahu, adakah orang terdekat itu bisa terjamin kebisadipercayaannya. Apalagi bukan siapa² dia.
Hanya, biasanya, kita lebih terbuka pada kawandekat itu. Bahkan, dengan mudahnya, info privat kita bagi padanya. Dan, saat kita lengah, ia menelikung kaki kita. Saat kita di tepi jurang berjalan, ia dorong kita jerumuskan ke dalamnya. Sehingga, kawan dekat bahayanya lebihdahsyat. Dengan orang lain, di arena publik, kita masih mudah sadarnya.
Di dunia ini, bisa dikata, hampir tak ada sahabat sejati, dari golongan manusia, pudar sifat kekalnya. Berubah, sekarangbegini, kadang begitu. Bila ada, buku lah teman sejati itu. Ia teman duduk yang terbaik, kata Jahizh. Selainnya, waspadalah terhadapnya. Adalah Sang Pelindung kita, Tuhan Yang Maha Kuasa, sahabat sejati kita. Dia maha mendengar, maha mengabulkan dan maha bijaksana. Maka, curhat yang sangat tepat dan berguna hanyalah pada Sang Pencipta, Tuhan, Allah subhanahu wa ta'ala.
Ada suatu kisah yang pernah kudengar. Seorang pengusaha, sebut saja si A, punya bisnis di bidang produksi dan distribusi pakan burung kicau. Si A punya kawan, sebut saja B, yang dipercayanya untuk menangani distribusi dan marketing produknya tersebut. Karena sangat percaya dengan B, si A tidak pernah sesekali kunjungi agen yang jadi pelanggannya. Lama, si A tak mencium gelagat apa. Si A sukses meraup untung dari bisnisnya. Sampai suatu ketika, si B, kawan yang dipercaya itu khianat. Kepada pada agen dan pelanggan, si B bilang bahwa si A telah meninggal, dan hak paten produk pakantersebut dipegang si B. Mulai saat itu, segala hal terkait pembayaran ditransfer ke rekening si B, dan mulai saat itu si A hanya bisa gigit jari, mlongo. Bisnisnya direbut kawan sendiri.
Kisah lainnya masih banyak pula. Karena modal percaya, si D meminjamkan puluhan juta kepada kawannya (si E) yang merengek minta pinjaman, karena kebutuhan mendesak.Janjinya, satu dua pekan kan dikembalikannya. Ternyata, janji tinggaljanji, hutang tersebut tidak dibayarnya pada saat jatuh tempo. Bahkan lewat tiga empat bulan, belum ada tanda² dilunasi, dengan dalih belum punya. Sementara si D sudah sangat butuh. Jadinya, lebih tampak seperti pengemis, daripada pemberi bantuan hutang. Padahal, bantuan tersebut tanpa jaminan dan bunga sepeserpun.
Karena itulah, sekalipun pada kawan dekat, catatlah hutang dengan datangkan saksi, kalau perlu notaris. Jangan terbujuk olehnya, bahwa itu hanya transaksi kekeluargaan. Tetap waspada, catatlah dan camkanlah.
Cirebon, 08/12/2015

Monday, December 7, 2015

Wawancara dengan Dr. Taufiq Ramadhan Albuthi

REPUBLIKA.CO.ID, Dengan segala ekspresinya yang membuncah, sesekali mengusap air mata, Ketua Ikatan Ulama Suriah, Dr Taufiq Ramadhan al-Buthi yang merupakan putra dari ulama terkemuka Suriah, almarhum Syekh Ramadhan al-Buthi ini, mengisahkan detik-detik akhir kematian ayahnya secara syahid tersebut di tangan kelompok radikalis.

Berbagai tudingan miring ditujukan kepada almarhum hingga pembakaran buku-bukunya. Padahal menurut Taufiq, sikap almarhum sangat netral dalam konflik Suriah. Tidak condong kepada salah satu pihak lantaran krisis yang melanda Suriah, tak terlepas dari konspirasi besaruntuk menjatuhkan Suriah.”Ada agenda besar di balik berkobarnya fitnah di Suriah,” katanya.Wartawan Republika Nashih Nashrullah, berkesempatan berbincang dengan anggota dewan penasehat Presiden Basyar al-Asad itu, di sela-sela kunjungannya ke Indonesia menghadiri Konferensi ke-4 International Conference of Islamic Scholars (ICIS). Atas permintaannya, sejumlah perbincangan sengaja off the record. Berikut petikan perbincangannya:

Apa sebenarnya yang terjadi pada detik-detik jelang kematian Ayah Anda, Syekh al-Buthi?

Pada 21 Maret 2013, usai shalat Maghrib seorang pemuda berusia 18 tahun-an datang masuk ke Masjid al-Iman, Damaskus, ia semula duduk di belakang dua menit, lalu beranjak mendekati posisi ayah saya yang sedang menyampaikan kajian tafsir. Jarak antara pemuda dengan posisi beliau duduk kira-kira 6 meter. Lalu meledakkan diri. Sebagian besar jamaah meninggal langsung jumlahnya 45 orang.

Total korban jiwa sebanyak 53 orang. Ledakan tak berdampak signifikan pada luka ayah saya, hanya luka ringan di bagian bibir. Bahan peledak C-4 itu di dalamnya terdapat potongan-potongan material kecil. Ledakkan begitu dahsyat, begitu tersadar, meski dalam kondisi berdarah-darah, Ahmad mencoba menolong kakeknya, tapi lukanya yang parah tak lagi mampu menopang dirinya sendiri. Ia terjatuh dan akhirnya syahid di rumah sakit.Melalui telepon, kami mendapat informasi, ayahanda saya hanya terluka di bagian kening dan kaki, tetapi Allah SWT berkehendak lain, sesampainya di RS, saya dikasihtahu, beliau telahwafat. Saya akhirnya melihat langsung jenazahnya, perasaan bercampur aduk, seolah takpercaya. Beliau seperti tertidur biasa. Mukanya putih, badannya masih hangat, bibirnya merah, saya cium keningnya. Saya tanya ke dokter bagaimana kondisi Ahmad? Dokter menjawab kritis, Ahmad akhirnya wafat.

Peristiwa tragis ini terjadi, apakah ada firasat sebelumnya?

Yang jelas, mereka menyadari al-Buthi yang telah menyingkap kebusukan di balik krisis Suriah ini, harus segara dihabisi. Beberapa pekan sebelum ayah wafat, kita menggelar pertemuan keluarga, dan beliau berkata,” Saya bermimpi, wallahu a’lam, apa maknanya, tapi saya berfirasat, ajal telah dekat.” Aksi teror sebetulnya tak membuat kami heran, kita sudah memperkirakan ini semua bakal terjadi, kami mengkhawatirkanayah kami.

Pesan yang tersirat yaitu hendak mencoreng wajah Islam lewat sosok al-Buthi. Pekan pertama krisis Suriah, saat saya sedang berada di Brunei Darussalam, sebuah bom dijatuhkan di depan rumah kami, selanjutnya, sebuah bom pernah dilempar nyaris mengenai mobil saya, ini bukan kali pertama tetapi berulang.

Beberapa kali para pelaku juga menulis ancaman-ancaman dengan kata-kata kasar, menjijikkan, di tembok rumah kami. Begitulah mereka. Karena itubeliau menyarankan agar tidak pergi ke masjid, meski jarak rumah kami tak terlalu jauh karena akses menunju masjid tak lagi aman. Beberapa hari kemudian, Ayah saya kembali mengumpulkan keluarga, termasuk anak-anak saya.

Beliau meminta agar putraku yang tengah sakit, Mahmud, tak pergi merekam ceramah rutin beliau di Universitas al-Kuwait, dekat rumah. Namun, permintaan ini tak diiyakan, Mahmud dan Ahmad tetap berangkat untuk merekam episode ke-17 dari acara fi qadhaya as-sa’ah ma al-Buthi yang diasuh kakeknya tersebut. Ini adalah ceramah pamungkas. Beliau kata putraku, berbicara blak-blakan dan menyadari bahwa ajal telah dekat.

Sekembalinya dari agenda itu, Ahmad bercengkerama dan berpamitan dengan segenap keluarga, seakan hendak pergi jauh. Mendekati Maghrib, ia bergegas menuju rumah kakeknya seolah-olah ada janji. Keduanya lantas shalat Maghrib ke Masjid al-Iman. Sementara Mahmud tetap berada di rumah.

Usai shalat dia kaget mendapat kabar, ada ledakan besar di Masjid Imam. Ia bergegas menuju Masjid. Kita mencoba untuk tetap tenang dan mencari tahu apa yang sedang terjadi, meski kabar itu mengguncang perasaan kami. Kami menyusul menuju rumah sakit bersama keluarga, termasuk istri dari Ahmad. Hingga saya melihat langsung apa yang terjadi.

Lalu seperti apakah sebetulnya sikap almarhum terhadap krisis Suriah?

Terkait konflik Suriah, almarhum ayah saya, memiliki sikap yang dilandasi dengan kaidah syariat. Sikap tersebut tidak condong ke satu pihak, atau mendukung pihak lainnya, akan tetapi berpegangan pada dua hal, hukum syariat menentang ulil amri (pemerintah) merujuk hadis dan pendapat ulama terkait masalah ini. Dan kedua, fitnah ini adalah siasat pihak luar terutamaZionis yang menginginkan pertumpahan darah di Suriah juga kehancuran dan  perpecahan negara ini.Terungkap di hadapan kami, agenda besar memecahbelah Suriah secara sekterian dan sukuisme, hingga menjadi negara-negara kecil yang saling bersiteru. Kami punya buktinya. Posisi ini menempatkan alm ayah saya sangat netral, tidak memuji pemerintah tak pula mencelanya, justru menjelaskan hukum syari’inya dan memperingatkan dampak dari fitnah ini. Anda bisa simak sikap beliau dalam film dokumentasi pendek di youtube dari awal krisis meletus hingga jelang hari syahidnya dengan judul “watsaiqi haula mauqi al-‘Allamah al-Buthi min al-Azmat as-Suriyah”.

Faktanya, ‘serangan’ bertubi-tubi ditujukan kepada beliau dari stasiun tv yang berpihak mengobarkan fitnah dan menjulukinya dengan beragam gelar, seperti ulama pemerintah. Padahal begitu jelas, ayah saya tak pernah seharipun memuji Basyar al-Asad. Tiap bertemu Asad, Al-Buthi justru menasehati langsung, tidak menyanjung. Berbeda dengan ulama lainnya yangbermanis-manis ria di depan Assad, lalu mereka mengobarkan fitnah tatkala berada di belakang Sang Presiden itu. Intimadasi dan ancaman yang dialamatkan ke ayah saya pun bermunculan.

Apa sebenarnya yang tengah terjadi di negara Anda?

Konflik di negara kami bukan konflik sekterian dan agama, yang membenturkan antara Sunni dan Syiah, atau Muslim dan non-Muslim. Ada tigatarget utama dari konflik yang melanda Suriah sekarang. Pertama menghancurkan Suriah, kedua, mendistorsi dan mencoreng wajah Islam di mata dunia, sebagai agama yang menyeramkan sekaligus menakutkan agar mereka menjauh dari risalah ini. Kita punya contoh bukti. Misalnya, perang Suriah sekarang faktanya tidak melibatkansesama warga Suriah asli, sama sekali. Tetapi, konflik ini di-setting agar melibatkan warga sesama Suriah. Kita lihat sekarang ISIS, tak semuanya orang Suriah, begitu juga Jubha el-Nusra, mereka gabungan dari jihadis dari berbagai negara.

Apakah mereka datang hanya untuk Assad? Tidak.
Sederhana saja, jika masalahnya adalah Assad, maka lihatlah yang terjadi di Libya, apakah saat Qaddafi berhasil dilengserkan dan dibunuh, masalah selesai? Tidak! Justru di sanalah permulaannya. Demikian juga, ketika Shadam Husein mati di tiang gantugan, Irak bebas masalah? Tidak. Mereka ingin Suriah porak poranda karena negara ini dianggap sulit ditaklukkan. Suriah hingga sekarang tak mau menyerahkan kehormatannya untuk mereka.

Apa bukti lain bila konflik Suriah ini adalah skenario besar?

Sekarang saya tunjukkan bukti lagi. Banyak sekali para jihadis yang berasal dari Prancis, Inggris, ratusan hingga ribuan berdatangan ke Suriah bersama dengan istri mereka bahkan melibatkan media dan beranggapan, bahwa pintu surga terbuka melalui Suriah. Mereka datang bukan tanpa sepengetahuan negara-negara Barat, jelas Barat tahu.

Mustahil intelijen mereka tak mampu mendeteksi gerak-gerak para jihadis itu. Kita punya rekaman bagaimana aktivitas jihadis itu. Lihat saja, bagaimana seorang jihadis membunuh tentara Suriah, mengeluarkan jantung lalu memakannya. Apa maksudnya? Tak lain menunjukkan ke Barat, ini lho potret seram Islam jika kalian memeluk agama ini, ujung-ujungnya akan seperti ini. Jadi, apa yang terjadi di Suriah sekarang, ialah mengatasnamakan Islam tetapi justru untuk ‘menyembelih’ agama ini.

Tetapi mereka melandasi doktrin mereka dengan agama?

Di titik ini, saya menyangsikan, keislaman mereka.
Kalaupun Islam, mereka adalah kalangan yang tak mengerti hukum-hukum syariat. Islam masuk ke Eropa hanya kulitnya, permukaan saja. Dalam keyakinan para jihadis itu, pintu surga terbuka langsung di Suriah. Memang tidak semua termakan dengan propaganda negatif Islam itu, 20 persen mungkin bersikap bijak bahwa aksi teror di Suriah ini bukan wajah Islam, tapi 80 persen tak banya tahu.Kondisi tersebut ternyata juga dimanfaatkan oleh Barat. Inilah tujuan ketiga dari krisis Suriah, yaitu menghabisi umat Islam di Eropa. Biarkan Muslim Eropa berjihad ke Suriah, ratusan bahkan ribuan, dan biar mereka meninggal di sana. Ini pula tujuan ketika Barat membiarkan Muslim Eropa berjihad ke Afganistan dan Irak. Kita sudah dalam level target ketiga ini. Barat tak takut dengan Islam di timur, tetapi yang mereka takuti adalah kebangkitan Islam di Barat. Jika mereka takut Islam di Timur pasti mereka akan menutup jihadis sejak di imigrasi.

Mengapa sekali lagi ISIS dan para jihadis mendasari doktrin itu dengan agama?

Ideologi radikal dan ekstrem itu tak berdiri sendiri. Ada skenario besar di belakangnya. Saya tak perlu sebut, semua orang tahu. Anda bisa lihat sendiri, mengapa ISIS tak memerangi Israel, justruberperang dengan saudara sesama Islam? Dan lihatlah bagaimana bisa Jubha el-Nusra mendapatkan logistik bahkan hingga peralatan perang dari Israel? Rudal Hawn berasal dari Israel. Korban luka dari el-Nusra juga ternyata diobati di Israel.

Saya rasa, para jihadis itu tak sepenuhnya menyadari skenario besar ini. Pemahaman Islam mereka hanya di permukaan. Buktinya, fatwa-fatwa yang mereka keluarkan sangat dangkal dan jauh dari prinsip Islam, seperti jihad nikah, atau penggunaan narkoba. Mereka bersembunyi di balik ayat-ayat perang, padahal jelas Rasulullah SAW tidaklah diutus kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta.ISIS merusak fasilitas umum, memutuskan listrik, menghancurkan stasiuan bahan bakar gas, mereka jual murah minyak mentah. Belum lagi cara mereka berlindung di balik warga sipil. Salah jika Suriah dituding justru yang menggunakan warga sipil sebagai benteng hidup, justru mereka.Tentara Suriah justru kini mendekati mereka head to head. Inilah bukti bahwa radikalisme dan ekstrime mereka berangkat dari doktrin omong kosong.

Di tengah kian memanasnya konflik Suriah saat ini, apakah Anda yakin krisis ini akan berakhir?
Dalam konteks Suriah, saya tidak melihat secara fisik. Saya hanya melihat prinsip-prinsipketuhanan yang agung. Rasulullah SAW dalam hadis shahihnya mengatakan, bahwa Allah SWT akan menjaga Syam dan penduduknya. Kita sangat yakin itu. Suriah yang diprediksi jatuh dalam hitungan minggu atau paling banter bulan, ternyata alhamdulillah, memasuki tahun kelima, Allah masih melindungi negara kami.

Suriah hari ini bahkan lebih kuat dari kemarin. Oposisi di Damaskus, berislah. Beberapa wilayah juga kembali ke pangkuan Suriah. Jihadis di Gouta saling berperang sesama mereka. Kawasan barat daya hingga perbatasan Palestina,memang masih ada perang, tapi lumayan membaik juga demikian di Dar’a. Di wilayah Timur, seperti Ruqa, sebagian besar ISIS kabur.

Kendati demikian, kita tidak menafikan kesalahan sebagian dari kita. Tetapi, yang kita bicarakan adalah persoalan politik dan dinamika yang berkembang. Saya kembalikan lagi kepada tuntunan Alllah SWT dalam Alquran yang mengatakan “Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri”. (QS an-Nisaa [4] 79). Saya yakin, krisis iniakan berakhir di bawah kemenangan Suriah. Tetapi marilah kita berdoa agar para pendosa tidak menjadi penghalang kemenangan ini terwujud. Krisis ini adalah ujian dan pendidikan bagi kita.

Red: Nasih Nasrullah‪
#‎ramadhan‬al-buthi‪#‎suriah‬#

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...