Friday, March 27, 2015

Dakwah Perdamaian


Semua menawarkan dagangan ideologinya dengan bayaran kekejaman dan ancaman bagi yang tidak merelakan diri untuk mengkonsumsinya.

Paksaan dan budaya kekerasan sedang beraksi dengan riuh gempita oleh tangan-tangan orang yang mengaku sebagai wakil Tuhan. Menegakkan kebenaran yang mereka usung. Menyerang mereka yang yang dianggap sesat-menyesatkan. Kekerasan bertopeng perjuangan sedang berpesta.

Ketentraman, kemanusiaan dan kesejahteraan yang merupakan impian hidup sudah dikhawatirkan ancaman kepunahannya. Rasa menghormati dan menghargai serta toleransi terhadap pandangan orang lain sudah tak lagi diperhatikan oleh penceramah.

Apakah keberanian dalam berjuang harus diwujudkan dengan menyakiti perasakan orang lain? Bukankah keberagaman suatu keniscayaan?

Nabi pun tidak menteror manusia yang tak mau diajak mengikuti ajarannya. Karena sesungguhnya kewajiban dai hanya mengajak kepada kebenaran, bukan menjamin mereka untuk mendapat hidayah walau harus dengan paksaan. Sebab, hidayah adalah otoritas Tuhan. Bukan bagian dari hak manusia.

Pendapat yang kita klaim benar, belum tentu orang lain menerimanya sebagai kebenaran. So, harus disampaikan dengan kedamaian dan penuh kesopanan, serta kesalihan.

Jangan lupa, doa adalah suatu yang wajib. Sebab doa adalah senjata pamungkas kita, dan hidayah adalah milik Allah semata.

Sehingga, kepercayaan tidak bisa disampaikan dengan pemaksaan-pemaksaan. Mengungkapkan kebaikan dengan baik dan damai. Memberi contoh dari kebenaran yang diusung dengan penuh kebijaksanaan.

Sudah bukan saatnya teror dan kekerasan dipakai senjata. Karena lidah masih kita punya.

 Islam adalah penyeru ketentraman. Sekian.

Ciputat, 06 Agustus 2005

Thursday, March 26, 2015

Budaya Diskusi (catatan lama)

Budaya diskusi perlu untuk dilestarikan dan diberdayakan oleh insan di kolong langit ini, terlebih lagi insan akademis yang setiap hari bergelut dalam dunia intelektual atau mondar-mandir di kampus, berkelana.

Diskusi, menurut hematku, sangat bermanfaat, di antaranya; tidak membiarkan otak beku. Jadi, diskusi adalah mensyukuri nikmat Allah swt berupa otak, pikiran, lisan dan lain-lainnya. Dengan diskusi kita melatih berpikir dan sekaligus mengutarakan gagasan secara sistematis dan teratur, serta melatih kita untuk mempertahankan pendapat yang kita anggap benar dengan menggunakan hujjah, argumentasi atau dalil yang logis, ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Kendatipun, kadang seringkali terjadi perdebatan yang kelihatan tak teratur dan cenderung menghantam lawan diskusi. Sebagai sebuah proses belajar, hal semacam ini wajar-wajar saja. Asalkan tidak berlanjut pada bentrok fisik atau membawa perseteruan hingga di luar forum diskusi. Untuk diskusi yang berakhir permusuhan, sungguh bukan hal yang etis dan tidak patut ditiru.

Diskusi, dalam bahasa Islam, biasa disebut tukar pendapat, share, munaqashah atau musyawarah. Hanya saja, tujuan diskusi lebih mengutamakan kelapangan dada, legawa menerima masing-masing pendapat yang dishare, meskipun tidak setuju. Diskusi terkadang tidak menghasilkan kesimpulan dari hal yang didiskusikan. Sementara musyawarah (rapat), biasanya untuk menyelesaikan suatu problem, atau dengan kata lain, untuk mencari solusi yang tepat. Namun, intinya keduanya hampir sama.

Dalam diskusi, budaya yang dikedepankan adalah sikap menghormati dan menghargai pendapat orang lain, meskipun berlawanan dengan pendapat kita, ataupun kita anggap salah. Sebab, tak menutup kemungkinan, pendapat yang berlawanan dengan kita malah yang benar.

Ingat kawan, kita hanya manusia biasa.Benar kata Imam Syafi’i, “pendapat saya benar, tapi mengandung kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah, tapi mengandung kemungkinan benar.”

Jadi, hendaknya dalam wilayah diskusi yang menuntut keterbukaan itu bisa dibudayakan sikap legawa dan lapang dada, serta menghindari rasa ingin menang sendiri. Diskusi bukanlah tempat untuk mencari kemenangan dengan memaksakan kehendak. Akan tetapi, bagaimana –selain mendapat kebenaran- belajar bertukar ide dan mau menerima dengan lapang dada pendapat yang berbeda.

Beda itu biasa. Keragaman adalah niscaya. Sebab diskusi adalah ladang toleransi, bukan meja hijau untuk menghakimi ataupun untuk mengklaim yang paling benar sendiri.

Sebab, yang paling benar adalah Allah swt. Kebenaran mutlah hanya milik-Nya. sedangkan kebenaran pendapat manusia adalah nisbi (relatif). Wallahu a’lam.

Ciputat, malam Jumat, 05 Mei 2005
    


Monday, March 23, 2015

Bertemu Keluarga Guru Pesantren

Berawal dari sebuah pesan singkat
Wajah langit kampung pesantren Babakan siang itu sedikit diselimuti mendung. Hari sabtu itu tidak seperti sabtu biasanya. Aku tidak bertugas di kampus, sebab sedang libur tanggal merah. Setelah istirahat siang, ponselku yang tergeletak di atas meja lipat itu berbunyi, “tuing”. Tampaknya, ada sebuah pesan masuk via inbox ‘messenger’.
“Kang, saya dapat undangan menjadi juri pidato bahasa Arab di SMA Al-Azhar 5 Cirebon. Acaranya besok. Saya tidak bisa memenuhinya, karena ada kegiatan lain yang tidak bisa saya tinggalkan. Bila berkenan dan punya waktu luang, Njenengan bisa menggantikan saya.” 
Begitu kira-kira isi pesan dari seorang kawan. Secara tiba-tiba tawaran itu datang. Dan setelah dialog dan mendapatkan penjelasan beberapa hal terkait acara, saya pun mengiyakan.
Keesokan harinya, mentari pagi tampak begitu cerah. Ia mulai menampakkan cahayanya dari ufuk timur, saat jarum jam di dinding menunjuk pukul 6 tepat. Sepertinya ia sedang menyambutku hangat dan penuh suka cita. Mendung hitam yang kemarin memadati petala langit tampaknya sengaja menyingkir, menuju peristirahatanya. Seakan mempersilahkanku untuk menyambut pagi dengan penuh ceria. Hari itu aku berangkat pagi-pagi, sebab katanya acara akan dimulai sekitar pukul 8 pagi. Pukul 7:35 alhamdulillah saya sudah di tempat untuk persiapan dan memahami petunjuk teknisnya.
Sampai di arena perlombaan, aku bertemu dengan juri lainnya. Saat itu, ada dua juri lagi selainku. Salah satunya dari luar sekolah tersebut. Sambil menunggu dimulainya acara, kami terlibat perbincangan ringan, sekedar perkenalan dan seputar aktifitas sehari-hari. 
“Ana Ahmad Musyaffa’.” Dengan berbahasa Arab fasih kawan ini memperkenalkan diri. Saat ini, kawan yang mengaku sudah memiliki tiga anak ini tinggal di Kedawung-Cirebon, tidak jauh dari tempat kami sedang duduk berbincang. Katanya, dekat dengan rumah ustadz Abu Khoiruddin, koordinator Qiraati cabang Cirebon. Putra pertamanya, yang kini berusia 4,5 tahun bersekolah di TKQ milik ustadz Abu Khoiruddin.
Kawan ini alumni Gontor dan S1 Al-Azhar Mesir. Sempat ia melanjutkan kuliah S2 di sana, namun di akhir tahun kedua, ia pulang, karena kondisi Mesir saat itu sedang berkecamuk. Tak lama setelah itu, ia mengambil kuliah S2 di Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon prodi PAI, dan lulus tahun 2013, setahun sebelum kelulusanku di kampus yang sama. Setelah lulus, ia diminta Bapak Sumanta Hasyim untuk menjadi asdosnya, dan sampai saat ini ia mengajar sepekan sekali di IAIN Cirebon. Ia cukup kenal akrab dengan Bapak Sumanta setelah tesisnya dibimbing oleh doktor yang saat ini menjabat sebagai Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Kronologi yang sedikit sama dengan kisahku saat masuk ke PPB (Program Pengembangan Bahasa) di IAIN tersebut. Doktor ini juga yang menjadi salah satu pembimbing tesisku.  
Selain itu, menurut pengakuan kawannya, seorang guru SMA al-Azhar 5 Cirebon yang mengundangnya menjadi juri, ustadz Musyaffa’ ini adalah ketua KNRP (Komisi Nasional untuk Rakyat Palestina) perwakilan Cirebon. Ia termasuk kader PKS, dan istrinya saat ini bertugas sebagai anggota DPRD kabupaten Cirebon dari fraksi PKS.  

Ternyata, dunia ini sempit ya...
Lebih lanjut, setelah aku memperkenalkan diri bahwa aku dari Lamongan, kawan ini langsung antusias. Dari wajahnya tersirat senyum ringan dan tampak ingin bertanya lebih lanjut.
“Lamongan mana?” Tanya kawan ini, semakin penasaran.
“Paciran.” Jawabku, sambil tanda tanya di dalam hati, ada apa gerangan yang membuatnya cukup antusias.
“Paciran mana? Saya punya keluarga di Paciran. Tepatnya di Kranji.”
“Ya. Bahkan, saya dari desa itu.” Jawabku. Setelah aku tanyakan siapa yang dimaksud, ia menjawab,
“Itu, yang punya pesantren Tarbiyatut Tholabah yang diasuh Syekh Muhammad Baqier Adelan.”
“Lah, saya alumni pesantren itu. Bahkan dari TK hingga Aliyah saya sekolah di sana.”
“Kenal Ulin Nuha? Ia teman saya sewaktu kuliah di Al-Azhar Mesir.”
“Oh, kenal. Dia kakak kelas saya di sana.” Balasku.
Mendengar pengakuannya, aku pun ikut antusias untuk melanjutkan obrolan. Apalagi, hingga pukul 8:30 acara belum juga dimulai, panitia masih menunggu semua peserta berkumpul di arena perlombaan. Dan, saat itu acara baru dimulai sekitar pukul 09, ada satu jam kami berbincang.
Kawan ini, dengan bahasa Arab fasih menjelaskan bahwa Mbah Kyai Mushthofa pendiri pesantren Tarbiyatut Tholabah itu putra Mbah Yai Abdul Karim Tebuwung, Dukun, Gresik. Selain Kyai Musthofa, Kyai Abdul Karim memiliki beberapa putra dan putri, di antaranya bernama Kyai Murtadho. Begitu pengakuannya seingatku. Kyai Abdul Karim adalah pendiri pesantren Al-Karimi Tebuwung. Sementara Kiyai Musthafa hijrah ke Kranji, Kyai Murtadho tetap di Tebuwung dan selanjutnya menjadi pengasuh pesantren Al-Karimi sepeninggal abahnya. 
Kawan yang kutemui ini adalah keturunan Mbah Yai Murtadho bin Abdul Karim, Tebuwung. Mendengar pengakuannya, aku langsung terperanjat,
“Subhanallah, idzan sauqabbil yadak (tampaknya, aku harus mencium tanganmu).” Ujarku sambil bercanda, dengan hati berbunga.
Setelah melakukan penelusuran via internet, aku mendapati informasi bahwa Mbah Kyai Abdul Karim Tebuwung ini terlahir di desa Drajat Paciran, dari pasangan KH. Abdul Qohhar dan Nyai Sarwilah. Kyai Abdul Karim dua kali menikah, dari istri pertama terlahir Kyai Zaid (Tebuwung), Kh. Ishaq (Pendiri Pesantren Sidodadi Surabaya) dan Nyai Halimun Nur. Sementara dari istri yang kedua, terlahir KH. Musthofa (pendiri Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji)Nyai AlimahNyai MuthiahNyai ZainabKH. Murtadlo , penerus Pengasuh Pondok Pesantren Al Karimi). Awalnya, pesantren Al-Karimi dikenal dengan Pondok Bendo, karena terletak di hutan bendo, Tebuwung. Nama al-Karimi ini diambil dari nama ayah nama pendirinya yang pertama kali.
Ternyata dunia sempit sekali. Tak dinyana, aku bertemu dengan tetangga di acara yang sama sekali tidak aku rencanakan sebelumnya. Ya, sebagai juri pengganti mempertemukanku dengan salah seorang keluarga Pesantren tercinta, di kota Cirebon ini. Kupikir, di Cirebon ini masih jarang orang Lamongan-Gresik yang berkecimpung di dunia akademik. Memang banyak warga Lamongan yang tinggal di Cirebon, bahkan hampir di setiap desa di Cirebon ini ada orang Lamongan. Namun, mereka berprofesi sebagai pedagang warung tenda Pecel Lele, yang setiap sore hingga malam mangkal di kanan kiri jalan raya sepanjang Kabupaten dan Kota Cirebon. Bahkan, menurut seorang pedagang Pecel Lele yang pernah kusinggahi, sudah ada organisasi semacam koperasi yang beranggotakan para pedagang pendatang dari Lamongan yang tinggal di Wilayah III Cirebon (Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kab. Kuningan, Kab. Indramayu dan Kab. Majalengka).
Ya, dunia ini terasa sempit. Kerap, kita mencari sesuatu ataupun orang, lama sekali, bertahun-tahun, tak jua kita temukan rimbanya. Namun, terkadang tanpa kita cari, bahkan rencanakan sebelumnya, peristiwa dan kejadian hebat terjadi begitu saja, sebagai sebuah suratan takdir yang di luar batas kemampuan manusia. Allah lah yang memiliki dan menguasai takdir itu. betapa banyak manusia yang telah berusaha mencari calon pasangannya menikah, namun ia jua tak mendapatinya. Namun, sebaliknya, ada seorang yang sedang santai, hanya bersiap diri, tiba-tiba datang seorang Kyai, ustadz atau dermawan yang menawarinya untuk dinikahkan dengan anaknya.
Banyak pula pasangan suami-istri yang telah berusaha dan berdoa agar diberikan keturunan. Namun, sekian tahun lamanya, mereka belum jua diberikan karunia anak. Seakan, pucuk usaha dan doa telah dikerahkannya. Sebaliknya, banyak orang yang baru saja menikah, beberapa bulan sudah positif hamil istrinya. Lancar dan subur sekali, kata orang. Bahkan hingga mereka  ikut KB untuk menyiasati jarak kelahiran. Meskipun tak jarang ada yang masih juga kebobolan. Begitulah takdir, rahasia. Manusia hanya mengusahakan dan berdoa. Selanjutnya, tawakkal, berserah diri kepada-Nya.
Selain melalui kejadian-kejadian semacam di atas, dunia sekarang ini sebagaimana kita semua tahu semakin sempit, dengan keberadaan teknologi modern, internet dan smartphone dengan segala aplikasi cerdasnya. Globalisasi, begitu kebanyakan orang menyebutnya. Berbeda kondisinya dengan beberapa tahun silam, sebelum ada hape, sms, sementara akses internet masih terbatas di kota-kota besar saja.

Dunia ini luas, loh...
Kita sering menyebut dunia ini sempit. “Ternyata, dunia ini sempit, ya!” Seperti yang kusebut di atas. Namun, ternyata lain dengan ibarat yang diungkapkan oleh Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa bumi ini luas, “Mereka berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian bisa berhijrah di dalamnya.” (QS An-Nisa [4]: 97).
Lantas, mana yang benar dan yang salah? Menyikapi suatu hal di dunia ini, tak jarang ada di antara kita yang langsung menghukumi hitam-putih, benar-salah, lurus-sesat, surga-neraka, dan lain sebagainya. Padahal, ada perspektif lain yang bisa dipakai untuk melihatnya. Ya, kacamata untuk mendamaikan dan menguraikan sesuatu agar tidak saling berhadap-hadapan dan bertikai. Ahli hukum Islam dan ilmu Hadits kerap menyebutnya dengan istilah al-jam’u wa at-taufiq (memadukan dan mendamaikan). Memang, secara kasat mata berbeda dan bertentangan. Namun, bila mau diperhatikan dan direnungkan untuk dicarikan titik lain dan solusi dalam rangka mendamaikan, ternyata ada saja. Langkah memadukan harus diutamakan dan didahulukan, sebelum langkah lainnya. Begitu kaidahnya. Tentu ini bila memungkinkan. Bila pun tidak bisa, dalam titik tertentu. Di titik lain pasti ada poin yang bisa mempertemukan. Begitulah. Sebab memang dunia diciptakan dengan perbedaan. Tak ada yang sama persis di muka bumi ini. Tujuannya adalah untuk saling mengenal, memahami, dan akhirnya saling toleransi. Dialog dan tutur sapa bisa ditempuh untuk ini.
Selain itu, teori relativitas bisa juga dipakai untuk membaca hal ini. Dunia, dalam satu perspektif bisa menjadi sempit, dan dalam perspektif lain bisa jadi luas. Bagi sebagian orang, dunia ini terasa sempit, dan bagi sebagian yang lain, ia terasa luas. Karena itu, dalam ayat lain Al-Qur’an menyebutkan,
“Dan atas ketiga orang yang ditangguhkan, shingga tatkala dunia terasa sempit bagi mereka, padahal sejatinya bumi itu luas nan lapang, dan terasa sempit pula diri mereka (akibat tekanan psikologis)...” (QS At-Taubah : 118)
Memang, makna sempit-luas dalam ayat ini agak berbeda rasa dan maksud dengan sempit-luas dalam pernyataan sebelumnya. Yang satu secara lahiriyah dan maknawiyah (bathiniyyah). Namun, yang hendak digarisbawahi dari ayat tersebut yaitu tentang relatifitas bumi. Bagi sebagian orang, yang sedang berduka, gundah gulana dan galau menghadapi problematika, goncangan kehidupan dan krisis, dunia ini terasa sempit, seakan tembok besar berdiri kokoh memagari sekelilingnya. Padahal sejatinya, bumi Allah yang bisa ditapaki dan cakrawala kehidupan yang bisa dijajaki teramat luas. Sehingga, manusia bisa mencari tempat lain yang lebih sesuai dan layak baginya, mendapatkan solusi yang membuatnya keluar dari krisis. Ada jalan atas setiap masalah. Setelah kesulitan, ada kemudahan. Bila ada jalan untuk berseteru, tentu ada pula jalan untuk bersatu-padu.
Dalam sebuah pernikahan, perbedaan malah menjadi syarat sahnya pernikahan. Pernikahan sama (jenis) jelas dilarang dan bahkan terlaknat. Perbedaan sifat dan kecenderungan antara pasangan juga sebuah keniscayaan. Kesamaan sifat dan kesukaan bukan pula sebuah tanda kecocokan dan kejodohan antara pasangan. Bahkan, perbedaan inilah yang semakin memperkuat ikatan, tentu dengan saling mengenali, memahami dan menghargai masing-masing perbedaan. Diskusi dan perbincangan akan mencairkan suasana yang terkadang tegang. Dan, akhirnya sempit ataukah luas, itu tergantung sudut pandang. Wallahu a’lam.
Cirebon, 23 Maret 2015


Saturday, March 21, 2015

Menumbuhkan Kemandirian Anak


Berbicara tentang tumbuh-menumbuh ini, aku mau berkisah. Cerita ringan tentang kedua buah hati kami, Nabil dan Keysa. Soal makan. Bila yang masak ibunya sendiri, bisa dua-tiga piring mereka lahap habis. Soal sayuran, jangankan yang matang di dalam kuah sop. Yang mentah saja, seperti kubis, kacang panjang, daun kemangi, dan lain sebagainya suka dimakannya untuk lalapan.
Buah-buahan, apalagi. Dibelikan semangka satu geluntung, sehari langsung habis. Dibelikan rambutan 4 ikat, langsung disikat habis sehari. Begitu pun dengan jambu biji. Terkadang langsung dimakan, dan terkadang minta dibuatkan jus. Manggis apalagi. Dibelikan 1 kg, mereka bisa berebutan.hehehe
Entah, kenapa beberapa ortu mengeluhkan anaknya malas makan dan apalagi pakai sayuran.hemmm. Sewaktu di Jakarta, banyak ibu-ibu yang mengeluhkan anak-anaknya enggan makan. Bahkan, harus berkejaran dengan sang buah hati sambil membawa piring di tempat bermain untuk disuapi. Alhamdulillah, kedua anakku sudah cukup lama mau makan sendiri. Bahkan, tidak mau disuapi, kecuali beberapa kali saja. Yang pasti, kita sering, kalau tidak dibilang selalu, makan bersama.
Sudah cukup lama pula, mereka memakai baju sendiri. Dan akhir-akhir ini, Nabil juga mau menyisir rambut sendiri dan Keysa memakai bedak sendiri. Mereka juga tidak mau dipilihkan baju yang mau dipakainya. Dan, sore ini, kami dikagetkan oleh Mas Nabil (5,5 th). Saat ia ke belakang meletakkan untuk piringnya yang kotor sehabis makan. Eh, lama dia tak balik. Tahunya, ketika aku samperin, ternyata ia sedang nyuci beberapa piring yang kotor.
Saat kutawarkan bantuan, karena agak berat angkat piring, dia gak mau. Saat hendak kuberi contoh nyuci yang benar, dia juga enggan. Kupikir supaya ia mencontoh.
"Nabil mau nyuci sendiri. Ayah ke sana aja." Aku langsung tersadar, kalau dibantu dan dituntun, itu bukan malah membantunya. Bahkan sebaliknya, akan mengurangi kepercayaan dirinya untuk melakukan itu, dan juga berimbas pada hal-hal lainnya. Setiap hendak melakukan sesuatu, ketika anak pernah dituntun dan ditegur, ia akan ragu-ragu dan gamang untuk melakukannya. Sehingga, ia akan memilih menunggu dan meminta bantuan orang tuanya.
Kami menyimpulkan, kemandirian anak itu muncul dari kepercayaan dirinya. Ia yakin kalau bisa. Ke-PD-an ini bisa muncul dan tumbuh bila ortunya mempercayainya, tidak suka menuntunnya. Orang tua harus berusaha mengetahui apa maunya, berbicara dengannya. Setelah itu, orang tua tinggal memantau dan mengawasinya, serta memandunya, bila diperlukan.
Bahkan, saat Kobayashi sang kepala sekolah Tomoe Gakoen melihat Totto-Chan murid kecinya sedang sibuk menguras isi septik tank untuk mencari dompetnya, ia hanya bertanya sedang apa, dan membiarkannya saja. Ia hanya menanyai Totto-Chan dan memastikan bahwa ia akan memasukkan kembali semua kotoran itu ke dalam tempat asalnya. Mungkin, sebagian kita ketika dalam posisi itu akan terkaget, dan melarangnya atau mungkin membantunya. Novel Totto-Chan yang ditulis oleh Tetsuko Kuronayagi, nama aseli tokoh yang ditulisnya sendiri (novel autobiografi) ini sangat direkomendasikan untuk dibaca para orang tua, mahasiswa khususnya fakultas pendidikan, tarbiyah dan guru.
Saat ini, di usianya yang hampir 6 tahun, Nabil belum kami masukkan ke sekolah formal. Begitu pula dengan adiknya, Keysa (3,5 tahun). Kami membiarkan dia main di rumah sama adiknya dan anak-anak tetangga, bebas. Hanya saja, dalam beberapa hal, kami bersepakat untuk meminta izin terlebih dahulu, misalnya bila hendak keluar agak jauh, dsb. Permainannya antara lain membuat robot-robotan, rumah-rumahan, kemah-kemahan, becak-becaan, dlsb dari balok lego, pasir atau dengan media lain yang disukainya. Kami hanya memantau. Terkadang mereka mengambar dan mewarnai sendiri, atau bersama adiknya. Kami hanya nyiapin kertas dan krayon.
Kami pikir, anak-anak itu kerjaannya hanya bermain. Belajar apapun, bisa sambil bermain. Tanpa dsadari, sebenarnya mereka sedang belajar.
Ya, hanya saja, yang (ngakunya) pusing dan khawatir malah adik-kakakku, sebagian saudara dan tetangga di kampung. “Kok belum disekolahin?!” begitu tanya mereka heran. Maklum, di kampung, anak baru berusia 2 tahun saja, sekarang ini sudah musimnya disekolahkan di PAUD. Padahal, secara historis, kronologisnya, ide pertama kali PAUD diadakan itu karena di Barat banyak ayah yang kerja di luar rumah dan ibunya juga menjadi wanita karier di luar rumah. Jadi, sekaligus dititipkan di TPA (tempat penitipan anak), mereka diajak bermain dan belajar oleh pengasuh. Lah, kalau di kampung, ibunya kan banyak yang jadi IRT.
"Tapi kita kan tak pernah makan bangku!" Kelakar mereka. Memangnya, ada yang doyan makan bangku?hehe..
Lah, anak usia 2-6 tahun mau diajarin apa?! Kenapa tidak diajak menemani masak, nyuci sambil main air, nyapu, belajar mandiri, berkebun, tanam bunga, siram bunga, dsb. Bukankah ini juga belajar?! Belikan buku cerita anak. Kan ibunya bisa baca toh. Bacakan dia cerita. Di Jerman, menurut penuturan Ayah Edy, anak usia di bawah 7 tahun tidak diterima di SD. Yang mau sekolah SD harus capai usia 7 tahun. Lah, di sini, anak balita sudah jadi pekerja dengan jadwal padat. Tak heran, bila ada anak balita stres..
Alhamdulillah, anak kami yang besar sudah hampir bisa baca. Doa-doa harian populer dan surah-surah pendek juga cukup lancar. Hampir setiap hari keduanya minta dibacain cerita. Saat santai dan jelang tidur, sebelum baca doa. Kami belum pernah meminta mereka menghafal doa ataupun surah-surah pendek. Kami hanya membaca bersama-sama mereka, memandu. Setiap hendak makan, tidur, dan melakukan aktifitas lainnya, kami ingatkan bila lupa. “Baca apa?” Dan mereka pun langsung baca doa dan diawali dengan basmalah. Alhamdulillah.
Taman bermain juga bisa jadi 'sekolah'nya, bagi kami. Mungkin sebagian orang menganggap bahwa belajar itu hanya di sekolah. Dan belajar itu cuma dengan buku pelajaran. Padahal, ke sawah dan kebun juga belajar. Kalau tidak berseragam dan bersepatu, dianggap bukan sekolah, bukan belajar. Padahal, yang berseragam dan bersepatu di sekolah belum tentu belajar. Bahkan bisa jadi sekolah menjadi lokasi pertemuan anak dengan kawanan gengnya, dan sepulang sekolah mereka tawuran antara pelajar. Miris bukan.
Bukan berarti sekolah tidak penting. Akan tetapi, sekolah saja tidak cukup. Harus pula diperhatikan apakah anak kita benar-benar belajar, dengan dan kepada siapa dia belajar. Ia juga harus tetap diperhatikan dan diberi perhatian yang cukup sepulang dia sekolah.
Beberapa ortu, anaknya yang masih kelas satu SD, sepulang sekolah masih harus disuruh les dan belajar privat, lagi. Jadwal hariannya sudah diatur orang tuanya, layaknya akademi militer saja. Belum lagi bila ada PR dari guru sekolahnya. Wuih. Pikir gurunya, kalau tidak diberi PR, anak tidak belajar di rumah..Hemmm
Ada pula ortu yang tidak sempat melihat anaknya di rumah, kecuali akhir pekan saja. Setiap hari, ia pergi bekerja, saat anaknya masih tidur, dan sampai di rumah sepulang kerja setelah anaknnya terbaring tidur malam. Yang menemaninya di rumah hanyalah pembantunya. Begitu pula yang antar jemput sudah ada tukang ojek. Kasihan sekali bukan!
Semoga bermanfaat.

Cirebon, 21 Maret 2015

Friday, March 20, 2015

Novel Terbaru 2015 : "SENJA TERBELAH DI BUMI SURABAYA"

Segera Hadir 
Sebuah Novel Roman


Senja Terbelah di Bumi Surabaya



Penulis : Eni Ratnawati
Tebal   : 400 halaman

Berikut komentar beberapa tokoh: 
----------------------------------------
"Novel ini menyuguhkan sesuatu yang sebenarnya lumrah terjadi pada anak manusia. Tetapi setiap babnya, alurnya berjalan tak terduga, misterius dan seperti teror yang menyasar kemana-mana. Mengkisahkan hampir seluruhnya drama sebuah kehidupan; rasa penasaran yang menggebu, mimpi, pengorbanan, persahabatan, kesetiaan, pengkhianatan, asmara dan cinta yang unik dan menarik..."
- Aguk Irawan MN, Pengurus LESBUMI NU, dan penulis novel “Sang Penakluk Badai”, “Gus-Dur & Sinta” dan Haji Backpacker


“Sebuah novel impresif. Sangat mencerdaskan pembaca. Ada pergolakan emosi, cinta, sosial dan keluarga. Bagaimana dengan metafora "senja yang terbelah", nikmati roman cinta dengan menjelma menjadi Bayu. Selamat menemukan hamparan makna dalam roman impresif ini.”

- Dr. Sutejo, M. Hum, Penulis dan dosen bahasa dan sastra STKIP PGRI Ponorogo

“Di sela kesibukan mempersiapkan ujian disertasi, saya dapat kiriman novel dari seorang teman di Cirebon. Itung-itung hiburan dan selingan. Saya pun membaca "Senja Terbelah di Bumi Surabaya" karya novelis muda Eni Ratnawati. Membaca halaman pertama, saya langsung tertarik dengan alur ceritanya yang bolak-balik antara masa lalu dan masa kini, pergulatan mencari makna dari berbagai peristiwa yang dialami. Akhirnya saya pun menuntaskan bacaan saya sampai halaman terakhir. Novel ini menarik, tidak menggurui, sarat pelajaran, wajib dibaca oleh siapa saja yang mencintai bacaan segar di sela berbagai peristiwa politik yang membosankan.”
- Jajang Jahroni, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan kandidat Doktor di Boston University Amerika


Sinopsis 

"Dear Bayu,
Apa kabar Surabaya? Ah, betapa rindunya. Sekuat rinduku padamu, Bayu. Sedikit terik seharusnya tidak membuatmu lupa akan tujuanmu. Sudahkan kau menemukannya? Ah, tentu saja tidak. Jika sebuah usaha dengan cepat menemukan hasilnya, tentu tidak ada orang yang gagal dan putus asa. Gagalkah dirimu? Atau putus asa?

LARI! LARI, Bayu.. sebelum waktumu habis. Sebelum lilin mencair membekukan mawar putih…"


Bermula dari surat misterius yang diterimanya, Bayu, direktur muda sang penerus kerajaan bisnis Dirgantara, memantapkan hati mencari sebuah keluarga lain Papanya di rimba Surabaya. Semua dipertaruhkan. Kasih Mama dan saudarinya, jabatan, perusahaan, bahkan satu-satunya nyawa.Tidak ada yang lebih mengerikan dari terbongkarnya skandal masa lalu, yangtelah menyakiti Mamanya terlalu dalam dan menyisakan kebencian pada Nouri, adiknya. Namun kenyataan menamparnya, memaksanya memilih di antara dua pilihan yang sama perih. Ancaman skandal itulah yang selalu didengungkan oleh siapapun yang mengirimkan surat-surat itu. Seolah menagih janji, atas sumpah yang telah diucapkannya di atas jasad Dirgantara, Papanya.

Tetapi benarkah kekhawatiran Lady Dirgantara, Mamanya, murni atas ketakutannya sendiri akan keselamatan Bayu? Dalam jejak penelusurannya, Bayu menemukan fakta mencengangkan perihal Mamanya dan siapapun wanita yang sedang dikejarnya. Itu sebuah pukulan berat. Rahasia di balik rahasia. Dan Bayu semakin kukuh menyibaknya. Tetapi tahukah Bayu, semakin jauh ia melangkah, semakin dekat ia dengan kenyataan kelam yang siaga dengan taring-taringnya.

Senja Terbelah di Bumi Surabaya tidak hanya hadir dalam sebuah teka-teki, tetapi juga tentang persahabatan, kesetiaan, pengkhianatan, menyuguhkan pemandangan menarik tentang makna cinta, dan cara mencinta dengan cara berbeda. 

Cirebon, 19/03/2015



Untuk Pemesanan:

- WA 0896 5280 1331

Friday, March 13, 2015

Cerita Pagi di Kampung Pesantren

Siluet mentari pagi dari arah timur mulai menyelinap malu-malu ke dalam gubuk kami. Melalui tepi-tepi jendela, seberkas cahaya kecil hinggap di wajah si kecil Keysa, membangunkannya dari rahat malamnya. Ia mulai membuka matanya, pelan sambil menggeliat, namun masih enggan bangkit dari ranjangnya.
Sementara sang kakak masih terbaring di kasur. Bibirnya tertutup rapat, ditarik oleh kedua sisi pipi kanan kirinya, tersenyum ringan, sementara matanya masih terpejam, tampaknya enggan untuk memutus indah mimpinya. Jarum jam bulat pipih yang menempel di dinding kamar menunjuk pada angka enam.
Soang-soang sudah bertebaran di halaman depan rumah dengan suara khasnya. Beberapa burung dara putih milik tetangga sebelah pun hinggap di beranda rumah, cecelingukan. Tampaknya mereka sedang menunggu anak-anak. Sudah beberapa hari terakhir ini, anak-anak suka meminta ibunya segenggam beras. Sambil bermain-main dengan burung-burung yang lebih mirip dengan merpati itu. Pemiliknya pernah bercerita, kalau itu memang burung dara, bukan merpati. Dahulunya hanya dua ekor. Sekarang sudah berjumlah puluhan ekor.  
“Dedek, mau jalan-jalan ta?” ucapku memancingnya agar ia segera terbangun dan beranjak dari kasurnya.
“Iya. Mau ayah. Tapi dedek masih ngantuk nih!” balasnya, sambil masih berlemas-lemas tubuh.
“Dedek bangunin mas Nabil dulu,” tawarku padanya.
“Mas, bangun yuk. Mau jalan-jalan ta?”
“Ya, dedek. Yuk.” Jawab Nabil, sambil mengucek-kucek matanya, mencoba untuk membuka matanya, berat.

Harga Sebuah Nasi Lengko

Jumat pagi ini, kami sekeluarga kecil jalan-jalan. Ya, jalan-jalan kecil. Ke dalam kampung pesantren Babakan. Sekedar untuk mencari sarapan. Sang istri sedang ingin sarapan nasi lengko. Nasi sederhana khas daerah Cirebon ini hanya ditaburi irisan kecil tempe goreng hambar tanpa garam dan mentimun dicacah, tak berbumbu. Hanya baluran kecap dan sambal merah yang membuatnya cukup terasa nikmat di lidah.
Untuk empat bungkus nasi dan enam potong gorengan, kami hanya mengeluarkan gocek sebesar Rp 14.000. Sebungkus nasi lengko di desa Babakan ini dijual dengan harga Rp 2.500. Harga ini sudah lebih tinggi dari pada setahun yang lalu. Sebelum BBM naik, harganya hanya Rp 2000. Di sini, beberapa makanan khususnya nasi dan gorengan masih terbilang sangat murah. Untuk makan sehari, 10 ribu sudah cukup. Ini bisa dimaklumi, karena mayoritas konsumennya yaitu santri-santri pesantren salaf (tradisional). Desa kerap disebut dengan desa pesantren, sebab lebih dari 40 buah pesantren berdiri di desa ini, mulai dari yang hanya berisi 10 santri hingga ribuan santri. Mulai dari yang hanya tinggal di gubuk sang Kiyai, hingga yang memiliki sekolah formal, bahkan perguruan tinggi, bervariasi.
Tidak hanya nasi lengko, ternyata, nasi goreng juga bisa didapat dengan harga santri, yaitu 4000 dengan telur. Bila tanpa telur cukup tiga ribu. Harga ini hampir merata di beberapa warung makan di dalam desa ini. Bahkan, masih ada semangkuk bakso dengan harga tiga ribu.   

Sebatas Investasi Akhirat

Terkadang, aku tidak habis pikir, kok bisa semurah itu harga bahan makanan matang di desa ini, di tengah perekonomian negeri yang sedang tidak menentu ini. Harga BBM naik, anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Paman Sam hingga menembus di atas angka 13 ribu, serta naiknya harga bahan pokok, termasuk beras secara drastis. Namun ‘bisnis’ mereka tetap saja bertahan. Tidak lantas gulung tikar. Sehiangga, biaya hidup di sini, masih sangat murah dan tidak menghabiskan banyak biaya, bila hanya memenuhi kebutuhan dan tidak banyak ke sana ke mari naik kendaraan umum.
Cukup berat langkah nalarku untuk memasuki fenomena langka ini. Namun setelah merenung sejenak, lambat-laut mulai terbersit ada apa di sebaliknya, meskipun hanya sebatas kesimpulan prematur (spekulatif-hipotetik).
Aku membaca bahwa para pemilik warung di sini hanya memosisikan diri sebagai pelayan santri. Mereka rela bertahan dengan harga yang sangat murah, dengan tujuan agar dompet santri-santri mampu menjangkaunya. Pernah, suatu ketika, aku menanyakan apakah ada lauk ayam. Sang ibu penjual nasi pun menggeleng, sambil mengutarakan bahwa telur goreng mata sapi pun sudah hal yang mewah bagi kebanyakan santri. Kuatir, kalau kemahalan, santri-santri yang kebanyakan dari pedesaan ini keberatan.
Semua ini, tiada lain motivasi akhirat lah yang mendorong mereka. Ya, mereka berjualan sekaligus berinvestasi akhirat dan berharap barakah (tabarruk). Dengan konsumen langganannya santri berharap rejeki dan hidupnya barokah. Sebab, santri adalah penuntut ilmu yang didoakan para malaikat dan para kiyai, dan tidak menutup kemungkinan, warung-warung yang menghidupi mereka juga kecipratan doa ini. Selain itu, para santri ini suatu ketika akan menjadi tokoh agama, kiyai, dan lain sebagainya. Para pedagang di sini sepertinya memiliki keyakinan bahwa sisa keuntungan yang tidak dirupiahkan itu akan menjadi sedekah jariyah, yang senantiasa mengalir bersama darah di dalam tubuh para santri saat mereka memimpin pesantren-pesantren di kemudian hari. Ya, keberhasilan mereka saat itu ada sumbangsih dari para pedagang nasi.
* Sambil diiringi beberapa lantunan sajak merdu Musyari Rasyid
Babakan, 13 Maret 2015




Monday, March 9, 2015

Aku Tidak Tahu

Yuk Kita Cari Tahu

Beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan pertanyaan dari seorang kawan yang berasal dari Tana Toraja, sebuah kabupaten di Indonesia Timur dengan pemeluk Islam minoritas (hanya sekitar 12 %). Sebut saja namanya Aina (bukan nama sebenarnya). Nama aslinya......?! kepo banget sih! Mau tahu aja atau mau tahu banget? hehe). Dia pemeluk Islam sedari kecil. Sementara itu, ibunya seorang muallaf dan sebagian dari keluarga besarnya non-Muslim.

Kawan ini kerap bertanya-tanya dalam dirinya sendiri. Terkadang, ia juga ditanya oleh orang-orang terdekatnya, yang non Muslim. Pertanyaan-pertanyaan ini kerap muncul di kepalanya, dan menggangu pikirannya, meskipun ia sendiri terkadang berupaya menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan itu. Pasalnya, dia belum menemukan orang yang berkenan dengan pertanyaannya. Termasuk kawan-kawannya, bahkan yang Muslim sekalipun. Alih-alih menanggapi dan menjawab pertanyaannya, mereka kerap menganggapnya orang ‘aneh’, kurang waras, kerasukan jin, sehingga disuruh diruqyah. Bahkan, seorang kawannya menyarankannya banyak beristigfar, mohon ampun, barangkali atas pertanyaan-pertanyaan “nyleneh”nya itu. Beberapa waktu yang lalu, pertanyaan tersebut disampaikannya padaku. Tahukah Anda apa pertanyaannya? Wajarkah pertanyaannya? Mari kita simak dan cermati pertanyaannya berikut ini. Oh ya, menurutnya, pertanyaan ini baru prolog. Masih ada beberapa pertanyaan lainnya yang siap diluncurkan.

Pertanyaan tersebut yaitu: pertama, mengapa kita harus shalat? kedua, mengapa shalat harus 5 kali sehari? Ketiga, mengapa formasinya harus 2, 4, 4, 3, 4, bukan yang lain?Keempat, mengapa ada berdiri, rukuk dan sujud, apa makna gerakan shalat dan bacaannya?

Menurutku, pertanyaannya masih dalam batas kewajaran, alamiah dan sangat bisa dimaklumi. Ini adalah pertanyaan penting, filosofis dan esensial dalam beragama. Sebagai manusia yang dikaruniakan akal, wajar bila mempertanyakan hal-hal esensial seperti itu. Mengapa dan untuk apa? Mungkin, lebih halus lagi, apa hikmahnya? Pertanyaan ini malah bisa menjadi inspirasi untuk membuat sebuah buku. Bahkan, dalam menulis karya ilmiah, semisal skipsi, tesis, disertasi, dsb harus dimulai dengan rumusan masalah yang berupa pertanyaan.

Sebagai orang tua (ortu, maksudnya) dan pernah mencicipi menjadi guru, aku juga kerap mendapatkan pertanyaan serupa dari anak-anakku, dan bisa jadi Anda juga pernah mendapatkan pertanyaan yang sama dari anak-anak atau murid-murid. Seorang ibu, tetangga di Jakarta suatu ketika pernah dibuat bingung oleh pertanyaan anaknya:
“Mengapa rambutku kalau dicukur tumbuh lagi?”
"Allah itu dimana sih bu?”
“Mengapa kita ini dan mengapa harus begitu?", dan lain sebagainya.

Saat ditanya demikian, sebagai orang tua, guru atau orang yang lebih senior tentu tidak sepantasnya mencibirnya dan melabelinya macam-macam, padahal sejatinya hanya sebagai alibi untuk menutupi ketidaktahuan dan ketidakmampuan kita untuk menjawabnya. Bisa jadi, sebagian dari kita terperanjat, lantas mengatakan, “Oh, aku kaget! Astagfirullah nak, istighfar, tobat, tobat.”

Kita semestinya berupaya menjelaskan kepada anak kita dengan penjelasan yang gamblang dan tentunya sesuai dengan kapasitas anak-anak, dengan bahasa dan nalar logika yang mudah dicerna mereka. Cibiran dan penghentian anak dari pertanyaan menimbulkan efek yang tidak positif bagi masa depan anak. Anak akan enggan dan tidak berani bertanya. Sementara pertanyaan adalah bagian dari kunci ilmu pengetahuan. Rasa dan sikap kritis pada anak pun lambat-laun akan pudar. Andai pun kita belum tahu atau masih shock. Kita bisa mengatakan “oh, ayah belum tahu, nak. Besok kita cari bersama-sama, yuk!

Malu?

Mengapa harus malu? Tidak alasan untuk malu. Siapa kita? Alim bukan, kiyai bukan, ustadz juga bukan. Lantas, kenapa harus malu, jika memang tidak tahu. Malu itu baik, tapi jika pada tempatnya. Bahkan, sebagaimana dilansir oleh Imam An-Nawawi (wafat 676 H/1278 M) dalam Adab Al-Fatwa(Darul Fikr, 1408: 15-16), sejumlah orang alim, para sahabat, imam Mazhab dalam Islam saja tidak malu mengatakan “tidak tahu”. 

Konon, Ibnu Abbas ra dan Muhammad bin ‘Ajlan pernah mengatakan, “Jika seorang alim lupa mengatakan “aku tidak tahu”, terancamlah nyawanya.” Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H/ 814 M) dan Abdussalam Sahnun (wafat 240 H/ 854 H) berkata, “Orang yang paling gegabah dalam mengeluarkan fatwa adalah yang paling sedikit ilmunya.” Apabila Muhammad bin Idris, alias Imam Asy-Syafi’i (150-204 H/ 767-820 M), ditanya dan belum bisa menjawab, beliau mengatakan, “Sampai aku tahu apakah aku harus diam ataukah menjawab.

Al-Atsram mengisahkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/ 780-855 M) sering mengatakan “aku tidak tahu”. Al-Haitsam bin Jamil suatu ketika pernah melihat Imam Malik (93-179 H/ 712-795 M) ditanya tentang 48 permasalahan, namun beliau hanya bisa menjawab 16 soal saja. Sementara 32 soal sisanya dijawab dengan “Aku tidak tahu.” Bahkan, di lain kesempatan Imam Malik ditanya 50 pertanyaan, dan tidak satu pun darinya beliau jawab, karena prinsip kehati-hatian dan kekhawatiran. Tatkala sang Imam menjawab “tidak tahu”, lantas ada yang berkata “Ah, ini masalah sepele, remeh-temeh dan mudah”, beliau pun marah dan mengatakan “tidak ada ilmu yang remeh.” 
Imam Asy-Syafi’i rh pernah berkata, “Aku tidak mengetahui seorangpun yang dikarunikan Allah metode berfatwa sebagaimana pada diri Sufyan bin Uyainah, namun pengetahuan itu malah yang membungkamnya dari berfatwa.”

Dan banyak sekali kisah para ulama lainnya. Ketika mereka mendapatkan pertanyaan yang belum diketahui jawabannya, mereka tidak malu mengatakan, “Aku tidak tahu.” Sebab, yang maha tahu segalanya hanya Allah subhanahu wata’ala. Tiada ilmu melainkan Allah-lah yang memberitahukannya pada kita. Semoga kita tidak termasuk orang yang gegabah. Oh ya, terkait tanggapan pertanyaan tersebut, rencananya akan ditulis pada kesempatan yang lain. Semoga diberikan kesempatan oleh Allah.[]

Cirebon, 05-07/03/2015

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...