Berbicara tentang
tumbuh-menumbuh ini, aku mau berkisah. Cerita ringan tentang kedua
buah hati kami, Nabil dan Keysa. Soal makan. Bila yang masak ibunya sendiri,
bisa dua-tiga piring mereka lahap habis. Soal sayuran, jangankan yang matang di
dalam kuah sop. Yang mentah saja, seperti kubis, kacang panjang, daun kemangi,
dan lain sebagainya suka dimakannya untuk lalapan.
Buah-buahan,
apalagi. Dibelikan semangka satu geluntung, sehari langsung habis. Dibelikan
rambutan 4 ikat, langsung disikat habis sehari. Begitu pun dengan jambu biji. Terkadang
langsung dimakan, dan terkadang minta dibuatkan jus. Manggis apalagi. Dibelikan
1 kg, mereka bisa berebutan.hehehe
Entah,
kenapa beberapa ortu mengeluhkan anaknya malas makan dan apalagi pakai
sayuran.hemmm. Sewaktu di Jakarta, banyak ibu-ibu yang mengeluhkan anak-anaknya
enggan makan. Bahkan, harus berkejaran dengan sang buah hati sambil membawa
piring di tempat bermain untuk disuapi. Alhamdulillah, kedua anakku sudah cukup
lama mau makan sendiri. Bahkan, tidak mau disuapi, kecuali beberapa kali saja. Yang
pasti, kita sering, kalau tidak dibilang selalu, makan bersama.
Sudah cukup
lama pula, mereka memakai baju sendiri. Dan akhir-akhir ini, Nabil juga mau menyisir
rambut sendiri dan Keysa memakai bedak sendiri. Mereka juga tidak mau
dipilihkan baju yang mau dipakainya. Dan, sore ini, kami dikagetkan oleh Mas
Nabil (5,5 th). Saat ia ke belakang meletakkan untuk piringnya yang kotor
sehabis makan. Eh, lama dia tak balik. Tahunya, ketika aku samperin, ternyata ia
sedang nyuci beberapa piring yang kotor.
Saat
kutawarkan bantuan, karena agak berat angkat piring, dia gak mau. Saat hendak
kuberi contoh nyuci yang benar, dia juga enggan. Kupikir supaya ia mencontoh.
"Nabil
mau nyuci sendiri. Ayah ke sana aja." Aku langsung tersadar, kalau dibantu
dan dituntun, itu bukan malah membantunya. Bahkan sebaliknya, akan mengurangi
kepercayaan dirinya untuk melakukan itu, dan juga berimbas pada hal-hal lainnya.
Setiap hendak melakukan sesuatu, ketika anak pernah dituntun dan ditegur, ia akan
ragu-ragu dan gamang untuk melakukannya. Sehingga, ia akan memilih menunggu dan
meminta bantuan orang tuanya.
Kami
menyimpulkan, kemandirian anak itu muncul dari kepercayaan dirinya. Ia yakin
kalau bisa. Ke-PD-an ini bisa muncul dan tumbuh bila ortunya mempercayainya,
tidak suka menuntunnya. Orang tua harus berusaha mengetahui apa maunya, berbicara
dengannya. Setelah itu, orang tua tinggal memantau dan mengawasinya, serta memandunya, bila diperlukan.
Bahkan, saat
Kobayashi sang kepala sekolah Tomoe Gakoen melihat Totto-Chan murid kecinya
sedang sibuk menguras isi septik tank untuk mencari dompetnya, ia hanya
bertanya sedang apa, dan membiarkannya saja. Ia hanya menanyai Totto-Chan dan memastikan bahwa ia akan memasukkan kembali semua kotoran itu
ke dalam tempat asalnya. Mungkin, sebagian kita ketika dalam posisi itu akan
terkaget, dan melarangnya atau mungkin membantunya. Novel
Totto-Chan yang ditulis oleh Tetsuko Kuronayagi, nama aseli tokoh yang
ditulisnya sendiri (novel autobiografi) ini sangat direkomendasikan untuk
dibaca para orang tua, mahasiswa khususnya fakultas pendidikan, tarbiyah dan
guru.
Saat ini, di
usianya yang hampir 6 tahun, Nabil belum kami masukkan ke sekolah formal. Begitu
pula dengan adiknya, Keysa (3,5 tahun). Kami membiarkan dia main di rumah sama
adiknya dan anak-anak tetangga, bebas. Hanya saja, dalam beberapa hal, kami bersepakat
untuk meminta izin terlebih dahulu, misalnya bila hendak keluar agak jauh, dsb.
Permainannya antara lain membuat robot-robotan, rumah-rumahan, kemah-kemahan,
becak-becaan, dlsb dari balok lego, pasir atau dengan media lain yang
disukainya. Kami hanya memantau. Terkadang mereka mengambar dan mewarnai
sendiri, atau bersama adiknya. Kami hanya nyiapin kertas dan krayon.
Kami pikir,
anak-anak itu kerjaannya hanya bermain. Belajar apapun, bisa sambil bermain. Tanpa
dsadari, sebenarnya mereka sedang belajar.
Ya, hanya
saja, yang (ngakunya) pusing dan khawatir malah adik-kakakku, sebagian saudara dan
tetangga di kampung. “Kok belum disekolahin?!” begitu tanya mereka heran. Maklum,
di kampung, anak baru berusia 2 tahun saja, sekarang ini sudah musimnya disekolahkan
di PAUD. Padahal, secara historis, kronologisnya, ide pertama kali PAUD diadakan
itu karena di Barat banyak ayah yang kerja di luar rumah dan ibunya juga menjadi
wanita karier di luar rumah. Jadi, sekaligus dititipkan di TPA (tempat
penitipan anak), mereka diajak bermain dan belajar oleh pengasuh. Lah, kalau di
kampung, ibunya kan banyak yang jadi IRT.
"Tapi
kita kan tak pernah makan bangku!" Kelakar mereka. Memangnya, ada yang
doyan makan bangku?hehe..
Lah, anak
usia 2-6 tahun mau diajarin apa?! Kenapa tidak diajak menemani masak, nyuci
sambil main air, nyapu, belajar mandiri, berkebun, tanam bunga, siram bunga,
dsb. Bukankah ini juga belajar?! Belikan buku cerita anak. Kan ibunya bisa baca
toh. Bacakan dia cerita. Di Jerman, menurut penuturan Ayah Edy, anak usia di
bawah 7 tahun tidak diterima di SD. Yang mau sekolah SD harus capai usia 7
tahun. Lah, di sini, anak balita sudah jadi pekerja dengan jadwal padat. Tak
heran, bila ada anak balita stres..
Alhamdulillah,
anak kami yang besar sudah hampir bisa baca. Doa-doa harian populer dan
surah-surah pendek juga cukup lancar. Hampir setiap hari keduanya minta
dibacain cerita. Saat santai dan jelang tidur, sebelum baca doa. Kami belum pernah
meminta mereka menghafal doa ataupun surah-surah pendek. Kami hanya membaca
bersama-sama mereka, memandu. Setiap hendak makan, tidur, dan melakukan
aktifitas lainnya, kami ingatkan bila lupa. “Baca apa?” Dan mereka pun langsung
baca doa dan diawali dengan basmalah. Alhamdulillah.
Taman
bermain juga bisa jadi 'sekolah'nya, bagi kami. Mungkin sebagian orang menganggap
bahwa belajar itu hanya di sekolah. Dan belajar itu cuma dengan buku pelajaran.
Padahal, ke sawah dan kebun juga belajar. Kalau tidak berseragam dan bersepatu,
dianggap bukan sekolah, bukan belajar. Padahal, yang berseragam dan bersepatu
di sekolah belum tentu belajar. Bahkan bisa jadi sekolah menjadi lokasi
pertemuan anak dengan kawanan gengnya, dan sepulang sekolah mereka tawuran
antara pelajar. Miris bukan.
Bukan
berarti sekolah tidak penting. Akan tetapi, sekolah saja tidak cukup. Harus
pula diperhatikan apakah anak kita benar-benar belajar, dengan dan kepada siapa
dia belajar. Ia juga harus tetap diperhatikan dan diberi perhatian yang cukup
sepulang dia sekolah.
Beberapa
ortu, anaknya yang masih kelas satu SD, sepulang sekolah masih harus disuruh les
dan belajar privat, lagi. Jadwal hariannya sudah diatur orang tuanya, layaknya
akademi militer saja. Belum lagi bila ada PR dari guru sekolahnya. Wuih. Pikir
gurunya, kalau tidak diberi PR, anak tidak belajar di rumah..Hemmm
Ada pula
ortu yang tidak sempat melihat anaknya di rumah, kecuali akhir pekan saja.
Setiap hari, ia pergi bekerja, saat anaknya masih tidur, dan sampai di rumah
sepulang kerja setelah anaknnya terbaring tidur malam. Yang menemaninya di
rumah hanyalah pembantunya. Begitu pula yang antar jemput sudah ada tukang
ojek. Kasihan sekali bukan!
Semoga
bermanfaat.
Cirebon, 21
Maret 2015
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar