Saturday, March 21, 2015

Menumbuhkan Kemandirian Anak


Berbicara tentang tumbuh-menumbuh ini, aku mau berkisah. Cerita ringan tentang kedua buah hati kami, Nabil dan Keysa. Soal makan. Bila yang masak ibunya sendiri, bisa dua-tiga piring mereka lahap habis. Soal sayuran, jangankan yang matang di dalam kuah sop. Yang mentah saja, seperti kubis, kacang panjang, daun kemangi, dan lain sebagainya suka dimakannya untuk lalapan.
Buah-buahan, apalagi. Dibelikan semangka satu geluntung, sehari langsung habis. Dibelikan rambutan 4 ikat, langsung disikat habis sehari. Begitu pun dengan jambu biji. Terkadang langsung dimakan, dan terkadang minta dibuatkan jus. Manggis apalagi. Dibelikan 1 kg, mereka bisa berebutan.hehehe
Entah, kenapa beberapa ortu mengeluhkan anaknya malas makan dan apalagi pakai sayuran.hemmm. Sewaktu di Jakarta, banyak ibu-ibu yang mengeluhkan anak-anaknya enggan makan. Bahkan, harus berkejaran dengan sang buah hati sambil membawa piring di tempat bermain untuk disuapi. Alhamdulillah, kedua anakku sudah cukup lama mau makan sendiri. Bahkan, tidak mau disuapi, kecuali beberapa kali saja. Yang pasti, kita sering, kalau tidak dibilang selalu, makan bersama.
Sudah cukup lama pula, mereka memakai baju sendiri. Dan akhir-akhir ini, Nabil juga mau menyisir rambut sendiri dan Keysa memakai bedak sendiri. Mereka juga tidak mau dipilihkan baju yang mau dipakainya. Dan, sore ini, kami dikagetkan oleh Mas Nabil (5,5 th). Saat ia ke belakang meletakkan untuk piringnya yang kotor sehabis makan. Eh, lama dia tak balik. Tahunya, ketika aku samperin, ternyata ia sedang nyuci beberapa piring yang kotor.
Saat kutawarkan bantuan, karena agak berat angkat piring, dia gak mau. Saat hendak kuberi contoh nyuci yang benar, dia juga enggan. Kupikir supaya ia mencontoh.
"Nabil mau nyuci sendiri. Ayah ke sana aja." Aku langsung tersadar, kalau dibantu dan dituntun, itu bukan malah membantunya. Bahkan sebaliknya, akan mengurangi kepercayaan dirinya untuk melakukan itu, dan juga berimbas pada hal-hal lainnya. Setiap hendak melakukan sesuatu, ketika anak pernah dituntun dan ditegur, ia akan ragu-ragu dan gamang untuk melakukannya. Sehingga, ia akan memilih menunggu dan meminta bantuan orang tuanya.
Kami menyimpulkan, kemandirian anak itu muncul dari kepercayaan dirinya. Ia yakin kalau bisa. Ke-PD-an ini bisa muncul dan tumbuh bila ortunya mempercayainya, tidak suka menuntunnya. Orang tua harus berusaha mengetahui apa maunya, berbicara dengannya. Setelah itu, orang tua tinggal memantau dan mengawasinya, serta memandunya, bila diperlukan.
Bahkan, saat Kobayashi sang kepala sekolah Tomoe Gakoen melihat Totto-Chan murid kecinya sedang sibuk menguras isi septik tank untuk mencari dompetnya, ia hanya bertanya sedang apa, dan membiarkannya saja. Ia hanya menanyai Totto-Chan dan memastikan bahwa ia akan memasukkan kembali semua kotoran itu ke dalam tempat asalnya. Mungkin, sebagian kita ketika dalam posisi itu akan terkaget, dan melarangnya atau mungkin membantunya. Novel Totto-Chan yang ditulis oleh Tetsuko Kuronayagi, nama aseli tokoh yang ditulisnya sendiri (novel autobiografi) ini sangat direkomendasikan untuk dibaca para orang tua, mahasiswa khususnya fakultas pendidikan, tarbiyah dan guru.
Saat ini, di usianya yang hampir 6 tahun, Nabil belum kami masukkan ke sekolah formal. Begitu pula dengan adiknya, Keysa (3,5 tahun). Kami membiarkan dia main di rumah sama adiknya dan anak-anak tetangga, bebas. Hanya saja, dalam beberapa hal, kami bersepakat untuk meminta izin terlebih dahulu, misalnya bila hendak keluar agak jauh, dsb. Permainannya antara lain membuat robot-robotan, rumah-rumahan, kemah-kemahan, becak-becaan, dlsb dari balok lego, pasir atau dengan media lain yang disukainya. Kami hanya memantau. Terkadang mereka mengambar dan mewarnai sendiri, atau bersama adiknya. Kami hanya nyiapin kertas dan krayon.
Kami pikir, anak-anak itu kerjaannya hanya bermain. Belajar apapun, bisa sambil bermain. Tanpa dsadari, sebenarnya mereka sedang belajar.
Ya, hanya saja, yang (ngakunya) pusing dan khawatir malah adik-kakakku, sebagian saudara dan tetangga di kampung. “Kok belum disekolahin?!” begitu tanya mereka heran. Maklum, di kampung, anak baru berusia 2 tahun saja, sekarang ini sudah musimnya disekolahkan di PAUD. Padahal, secara historis, kronologisnya, ide pertama kali PAUD diadakan itu karena di Barat banyak ayah yang kerja di luar rumah dan ibunya juga menjadi wanita karier di luar rumah. Jadi, sekaligus dititipkan di TPA (tempat penitipan anak), mereka diajak bermain dan belajar oleh pengasuh. Lah, kalau di kampung, ibunya kan banyak yang jadi IRT.
"Tapi kita kan tak pernah makan bangku!" Kelakar mereka. Memangnya, ada yang doyan makan bangku?hehe..
Lah, anak usia 2-6 tahun mau diajarin apa?! Kenapa tidak diajak menemani masak, nyuci sambil main air, nyapu, belajar mandiri, berkebun, tanam bunga, siram bunga, dsb. Bukankah ini juga belajar?! Belikan buku cerita anak. Kan ibunya bisa baca toh. Bacakan dia cerita. Di Jerman, menurut penuturan Ayah Edy, anak usia di bawah 7 tahun tidak diterima di SD. Yang mau sekolah SD harus capai usia 7 tahun. Lah, di sini, anak balita sudah jadi pekerja dengan jadwal padat. Tak heran, bila ada anak balita stres..
Alhamdulillah, anak kami yang besar sudah hampir bisa baca. Doa-doa harian populer dan surah-surah pendek juga cukup lancar. Hampir setiap hari keduanya minta dibacain cerita. Saat santai dan jelang tidur, sebelum baca doa. Kami belum pernah meminta mereka menghafal doa ataupun surah-surah pendek. Kami hanya membaca bersama-sama mereka, memandu. Setiap hendak makan, tidur, dan melakukan aktifitas lainnya, kami ingatkan bila lupa. “Baca apa?” Dan mereka pun langsung baca doa dan diawali dengan basmalah. Alhamdulillah.
Taman bermain juga bisa jadi 'sekolah'nya, bagi kami. Mungkin sebagian orang menganggap bahwa belajar itu hanya di sekolah. Dan belajar itu cuma dengan buku pelajaran. Padahal, ke sawah dan kebun juga belajar. Kalau tidak berseragam dan bersepatu, dianggap bukan sekolah, bukan belajar. Padahal, yang berseragam dan bersepatu di sekolah belum tentu belajar. Bahkan bisa jadi sekolah menjadi lokasi pertemuan anak dengan kawanan gengnya, dan sepulang sekolah mereka tawuran antara pelajar. Miris bukan.
Bukan berarti sekolah tidak penting. Akan tetapi, sekolah saja tidak cukup. Harus pula diperhatikan apakah anak kita benar-benar belajar, dengan dan kepada siapa dia belajar. Ia juga harus tetap diperhatikan dan diberi perhatian yang cukup sepulang dia sekolah.
Beberapa ortu, anaknya yang masih kelas satu SD, sepulang sekolah masih harus disuruh les dan belajar privat, lagi. Jadwal hariannya sudah diatur orang tuanya, layaknya akademi militer saja. Belum lagi bila ada PR dari guru sekolahnya. Wuih. Pikir gurunya, kalau tidak diberi PR, anak tidak belajar di rumah..Hemmm
Ada pula ortu yang tidak sempat melihat anaknya di rumah, kecuali akhir pekan saja. Setiap hari, ia pergi bekerja, saat anaknya masih tidur, dan sampai di rumah sepulang kerja setelah anaknnya terbaring tidur malam. Yang menemaninya di rumah hanyalah pembantunya. Begitu pula yang antar jemput sudah ada tukang ojek. Kasihan sekali bukan!
Semoga bermanfaat.

Cirebon, 21 Maret 2015

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentar

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...