Monday, March 23, 2015

Bertemu Keluarga Guru Pesantren

Berawal dari sebuah pesan singkat
Wajah langit kampung pesantren Babakan siang itu sedikit diselimuti mendung. Hari sabtu itu tidak seperti sabtu biasanya. Aku tidak bertugas di kampus, sebab sedang libur tanggal merah. Setelah istirahat siang, ponselku yang tergeletak di atas meja lipat itu berbunyi, “tuing”. Tampaknya, ada sebuah pesan masuk via inbox ‘messenger’.
“Kang, saya dapat undangan menjadi juri pidato bahasa Arab di SMA Al-Azhar 5 Cirebon. Acaranya besok. Saya tidak bisa memenuhinya, karena ada kegiatan lain yang tidak bisa saya tinggalkan. Bila berkenan dan punya waktu luang, Njenengan bisa menggantikan saya.” 
Begitu kira-kira isi pesan dari seorang kawan. Secara tiba-tiba tawaran itu datang. Dan setelah dialog dan mendapatkan penjelasan beberapa hal terkait acara, saya pun mengiyakan.
Keesokan harinya, mentari pagi tampak begitu cerah. Ia mulai menampakkan cahayanya dari ufuk timur, saat jarum jam di dinding menunjuk pukul 6 tepat. Sepertinya ia sedang menyambutku hangat dan penuh suka cita. Mendung hitam yang kemarin memadati petala langit tampaknya sengaja menyingkir, menuju peristirahatanya. Seakan mempersilahkanku untuk menyambut pagi dengan penuh ceria. Hari itu aku berangkat pagi-pagi, sebab katanya acara akan dimulai sekitar pukul 8 pagi. Pukul 7:35 alhamdulillah saya sudah di tempat untuk persiapan dan memahami petunjuk teknisnya.
Sampai di arena perlombaan, aku bertemu dengan juri lainnya. Saat itu, ada dua juri lagi selainku. Salah satunya dari luar sekolah tersebut. Sambil menunggu dimulainya acara, kami terlibat perbincangan ringan, sekedar perkenalan dan seputar aktifitas sehari-hari. 
“Ana Ahmad Musyaffa’.” Dengan berbahasa Arab fasih kawan ini memperkenalkan diri. Saat ini, kawan yang mengaku sudah memiliki tiga anak ini tinggal di Kedawung-Cirebon, tidak jauh dari tempat kami sedang duduk berbincang. Katanya, dekat dengan rumah ustadz Abu Khoiruddin, koordinator Qiraati cabang Cirebon. Putra pertamanya, yang kini berusia 4,5 tahun bersekolah di TKQ milik ustadz Abu Khoiruddin.
Kawan ini alumni Gontor dan S1 Al-Azhar Mesir. Sempat ia melanjutkan kuliah S2 di sana, namun di akhir tahun kedua, ia pulang, karena kondisi Mesir saat itu sedang berkecamuk. Tak lama setelah itu, ia mengambil kuliah S2 di Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon prodi PAI, dan lulus tahun 2013, setahun sebelum kelulusanku di kampus yang sama. Setelah lulus, ia diminta Bapak Sumanta Hasyim untuk menjadi asdosnya, dan sampai saat ini ia mengajar sepekan sekali di IAIN Cirebon. Ia cukup kenal akrab dengan Bapak Sumanta setelah tesisnya dibimbing oleh doktor yang saat ini menjabat sebagai Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Kronologi yang sedikit sama dengan kisahku saat masuk ke PPB (Program Pengembangan Bahasa) di IAIN tersebut. Doktor ini juga yang menjadi salah satu pembimbing tesisku.  
Selain itu, menurut pengakuan kawannya, seorang guru SMA al-Azhar 5 Cirebon yang mengundangnya menjadi juri, ustadz Musyaffa’ ini adalah ketua KNRP (Komisi Nasional untuk Rakyat Palestina) perwakilan Cirebon. Ia termasuk kader PKS, dan istrinya saat ini bertugas sebagai anggota DPRD kabupaten Cirebon dari fraksi PKS.  

Ternyata, dunia ini sempit ya...
Lebih lanjut, setelah aku memperkenalkan diri bahwa aku dari Lamongan, kawan ini langsung antusias. Dari wajahnya tersirat senyum ringan dan tampak ingin bertanya lebih lanjut.
“Lamongan mana?” Tanya kawan ini, semakin penasaran.
“Paciran.” Jawabku, sambil tanda tanya di dalam hati, ada apa gerangan yang membuatnya cukup antusias.
“Paciran mana? Saya punya keluarga di Paciran. Tepatnya di Kranji.”
“Ya. Bahkan, saya dari desa itu.” Jawabku. Setelah aku tanyakan siapa yang dimaksud, ia menjawab,
“Itu, yang punya pesantren Tarbiyatut Tholabah yang diasuh Syekh Muhammad Baqier Adelan.”
“Lah, saya alumni pesantren itu. Bahkan dari TK hingga Aliyah saya sekolah di sana.”
“Kenal Ulin Nuha? Ia teman saya sewaktu kuliah di Al-Azhar Mesir.”
“Oh, kenal. Dia kakak kelas saya di sana.” Balasku.
Mendengar pengakuannya, aku pun ikut antusias untuk melanjutkan obrolan. Apalagi, hingga pukul 8:30 acara belum juga dimulai, panitia masih menunggu semua peserta berkumpul di arena perlombaan. Dan, saat itu acara baru dimulai sekitar pukul 09, ada satu jam kami berbincang.
Kawan ini, dengan bahasa Arab fasih menjelaskan bahwa Mbah Kyai Mushthofa pendiri pesantren Tarbiyatut Tholabah itu putra Mbah Yai Abdul Karim Tebuwung, Dukun, Gresik. Selain Kyai Musthofa, Kyai Abdul Karim memiliki beberapa putra dan putri, di antaranya bernama Kyai Murtadho. Begitu pengakuannya seingatku. Kyai Abdul Karim adalah pendiri pesantren Al-Karimi Tebuwung. Sementara Kiyai Musthafa hijrah ke Kranji, Kyai Murtadho tetap di Tebuwung dan selanjutnya menjadi pengasuh pesantren Al-Karimi sepeninggal abahnya. 
Kawan yang kutemui ini adalah keturunan Mbah Yai Murtadho bin Abdul Karim, Tebuwung. Mendengar pengakuannya, aku langsung terperanjat,
“Subhanallah, idzan sauqabbil yadak (tampaknya, aku harus mencium tanganmu).” Ujarku sambil bercanda, dengan hati berbunga.
Setelah melakukan penelusuran via internet, aku mendapati informasi bahwa Mbah Kyai Abdul Karim Tebuwung ini terlahir di desa Drajat Paciran, dari pasangan KH. Abdul Qohhar dan Nyai Sarwilah. Kyai Abdul Karim dua kali menikah, dari istri pertama terlahir Kyai Zaid (Tebuwung), Kh. Ishaq (Pendiri Pesantren Sidodadi Surabaya) dan Nyai Halimun Nur. Sementara dari istri yang kedua, terlahir KH. Musthofa (pendiri Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji)Nyai AlimahNyai MuthiahNyai ZainabKH. Murtadlo , penerus Pengasuh Pondok Pesantren Al Karimi). Awalnya, pesantren Al-Karimi dikenal dengan Pondok Bendo, karena terletak di hutan bendo, Tebuwung. Nama al-Karimi ini diambil dari nama ayah nama pendirinya yang pertama kali.
Ternyata dunia sempit sekali. Tak dinyana, aku bertemu dengan tetangga di acara yang sama sekali tidak aku rencanakan sebelumnya. Ya, sebagai juri pengganti mempertemukanku dengan salah seorang keluarga Pesantren tercinta, di kota Cirebon ini. Kupikir, di Cirebon ini masih jarang orang Lamongan-Gresik yang berkecimpung di dunia akademik. Memang banyak warga Lamongan yang tinggal di Cirebon, bahkan hampir di setiap desa di Cirebon ini ada orang Lamongan. Namun, mereka berprofesi sebagai pedagang warung tenda Pecel Lele, yang setiap sore hingga malam mangkal di kanan kiri jalan raya sepanjang Kabupaten dan Kota Cirebon. Bahkan, menurut seorang pedagang Pecel Lele yang pernah kusinggahi, sudah ada organisasi semacam koperasi yang beranggotakan para pedagang pendatang dari Lamongan yang tinggal di Wilayah III Cirebon (Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kab. Kuningan, Kab. Indramayu dan Kab. Majalengka).
Ya, dunia ini terasa sempit. Kerap, kita mencari sesuatu ataupun orang, lama sekali, bertahun-tahun, tak jua kita temukan rimbanya. Namun, terkadang tanpa kita cari, bahkan rencanakan sebelumnya, peristiwa dan kejadian hebat terjadi begitu saja, sebagai sebuah suratan takdir yang di luar batas kemampuan manusia. Allah lah yang memiliki dan menguasai takdir itu. betapa banyak manusia yang telah berusaha mencari calon pasangannya menikah, namun ia jua tak mendapatinya. Namun, sebaliknya, ada seorang yang sedang santai, hanya bersiap diri, tiba-tiba datang seorang Kyai, ustadz atau dermawan yang menawarinya untuk dinikahkan dengan anaknya.
Banyak pula pasangan suami-istri yang telah berusaha dan berdoa agar diberikan keturunan. Namun, sekian tahun lamanya, mereka belum jua diberikan karunia anak. Seakan, pucuk usaha dan doa telah dikerahkannya. Sebaliknya, banyak orang yang baru saja menikah, beberapa bulan sudah positif hamil istrinya. Lancar dan subur sekali, kata orang. Bahkan hingga mereka  ikut KB untuk menyiasati jarak kelahiran. Meskipun tak jarang ada yang masih juga kebobolan. Begitulah takdir, rahasia. Manusia hanya mengusahakan dan berdoa. Selanjutnya, tawakkal, berserah diri kepada-Nya.
Selain melalui kejadian-kejadian semacam di atas, dunia sekarang ini sebagaimana kita semua tahu semakin sempit, dengan keberadaan teknologi modern, internet dan smartphone dengan segala aplikasi cerdasnya. Globalisasi, begitu kebanyakan orang menyebutnya. Berbeda kondisinya dengan beberapa tahun silam, sebelum ada hape, sms, sementara akses internet masih terbatas di kota-kota besar saja.

Dunia ini luas, loh...
Kita sering menyebut dunia ini sempit. “Ternyata, dunia ini sempit, ya!” Seperti yang kusebut di atas. Namun, ternyata lain dengan ibarat yang diungkapkan oleh Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa bumi ini luas, “Mereka berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian bisa berhijrah di dalamnya.” (QS An-Nisa [4]: 97).
Lantas, mana yang benar dan yang salah? Menyikapi suatu hal di dunia ini, tak jarang ada di antara kita yang langsung menghukumi hitam-putih, benar-salah, lurus-sesat, surga-neraka, dan lain sebagainya. Padahal, ada perspektif lain yang bisa dipakai untuk melihatnya. Ya, kacamata untuk mendamaikan dan menguraikan sesuatu agar tidak saling berhadap-hadapan dan bertikai. Ahli hukum Islam dan ilmu Hadits kerap menyebutnya dengan istilah al-jam’u wa at-taufiq (memadukan dan mendamaikan). Memang, secara kasat mata berbeda dan bertentangan. Namun, bila mau diperhatikan dan direnungkan untuk dicarikan titik lain dan solusi dalam rangka mendamaikan, ternyata ada saja. Langkah memadukan harus diutamakan dan didahulukan, sebelum langkah lainnya. Begitu kaidahnya. Tentu ini bila memungkinkan. Bila pun tidak bisa, dalam titik tertentu. Di titik lain pasti ada poin yang bisa mempertemukan. Begitulah. Sebab memang dunia diciptakan dengan perbedaan. Tak ada yang sama persis di muka bumi ini. Tujuannya adalah untuk saling mengenal, memahami, dan akhirnya saling toleransi. Dialog dan tutur sapa bisa ditempuh untuk ini.
Selain itu, teori relativitas bisa juga dipakai untuk membaca hal ini. Dunia, dalam satu perspektif bisa menjadi sempit, dan dalam perspektif lain bisa jadi luas. Bagi sebagian orang, dunia ini terasa sempit, dan bagi sebagian yang lain, ia terasa luas. Karena itu, dalam ayat lain Al-Qur’an menyebutkan,
“Dan atas ketiga orang yang ditangguhkan, shingga tatkala dunia terasa sempit bagi mereka, padahal sejatinya bumi itu luas nan lapang, dan terasa sempit pula diri mereka (akibat tekanan psikologis)...” (QS At-Taubah : 118)
Memang, makna sempit-luas dalam ayat ini agak berbeda rasa dan maksud dengan sempit-luas dalam pernyataan sebelumnya. Yang satu secara lahiriyah dan maknawiyah (bathiniyyah). Namun, yang hendak digarisbawahi dari ayat tersebut yaitu tentang relatifitas bumi. Bagi sebagian orang, yang sedang berduka, gundah gulana dan galau menghadapi problematika, goncangan kehidupan dan krisis, dunia ini terasa sempit, seakan tembok besar berdiri kokoh memagari sekelilingnya. Padahal sejatinya, bumi Allah yang bisa ditapaki dan cakrawala kehidupan yang bisa dijajaki teramat luas. Sehingga, manusia bisa mencari tempat lain yang lebih sesuai dan layak baginya, mendapatkan solusi yang membuatnya keluar dari krisis. Ada jalan atas setiap masalah. Setelah kesulitan, ada kemudahan. Bila ada jalan untuk berseteru, tentu ada pula jalan untuk bersatu-padu.
Dalam sebuah pernikahan, perbedaan malah menjadi syarat sahnya pernikahan. Pernikahan sama (jenis) jelas dilarang dan bahkan terlaknat. Perbedaan sifat dan kecenderungan antara pasangan juga sebuah keniscayaan. Kesamaan sifat dan kesukaan bukan pula sebuah tanda kecocokan dan kejodohan antara pasangan. Bahkan, perbedaan inilah yang semakin memperkuat ikatan, tentu dengan saling mengenali, memahami dan menghargai masing-masing perbedaan. Diskusi dan perbincangan akan mencairkan suasana yang terkadang tegang. Dan, akhirnya sempit ataukah luas, itu tergantung sudut pandang. Wallahu a’lam.
Cirebon, 23 Maret 2015


No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentar

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...