Budaya
diskusi perlu untuk dilestarikan dan diberdayakan oleh insan di kolong langit
ini, terlebih lagi insan akademis yang setiap hari bergelut dalam dunia
intelektual atau mondar-mandir di kampus, berkelana.
Diskusi, menurut hematku, sangat bermanfaat, di
antaranya; tidak membiarkan otak beku. Jadi, diskusi adalah mensyukuri nikmat
Allah swt berupa otak, pikiran, lisan dan lain-lainnya. Dengan diskusi kita
melatih berpikir dan sekaligus mengutarakan gagasan secara sistematis dan
teratur, serta melatih kita untuk mempertahankan pendapat yang kita anggap
benar dengan menggunakan hujjah, argumentasi atau dalil yang logis, ilmiah dan
dapat dipertanggungjawabkan. Kendatipun, kadang seringkali terjadi perdebatan
yang kelihatan tak teratur dan cenderung menghantam lawan diskusi. Sebagai
sebuah proses belajar, hal semacam ini wajar-wajar saja. Asalkan tidak
berlanjut pada bentrok fisik atau membawa perseteruan hingga di luar forum
diskusi. Untuk diskusi yang berakhir permusuhan, sungguh bukan hal yang etis
dan tidak patut ditiru.
Diskusi, dalam bahasa Islam, biasa disebut tukar
pendapat, share,
munaqashah atau musyawarah. Hanya saja, tujuan diskusi lebih mengutamakan
kelapangan dada, legawa menerima masing-masing pendapat yang dishare, meskipun
tidak setuju. Diskusi terkadang tidak menghasilkan kesimpulan dari hal yang
didiskusikan. Sementara musyawarah (rapat), biasanya untuk menyelesaikan suatu
problem, atau dengan kata lain, untuk mencari solusi yang tepat. Namun, intinya
keduanya hampir sama.
Dalam diskusi, budaya yang dikedepankan adalah sikap
menghormati dan menghargai pendapat orang lain, meskipun berlawanan dengan
pendapat kita, ataupun kita anggap salah. Sebab, tak menutup kemungkinan,
pendapat yang berlawanan dengan kita malah yang benar.
Ingat kawan, kita hanya manusia biasa.Benar kata Imam
Syafi’i, “pendapat saya benar, tapi mengandung kemungkinan salah,
dan pendapat orang lain salah, tapi mengandung kemungkinan benar.”
Jadi, hendaknya dalam wilayah diskusi yang menuntut
keterbukaan itu bisa dibudayakan sikap legawa dan lapang dada, serta
menghindari rasa ingin menang sendiri. Diskusi bukanlah tempat untuk mencari
kemenangan dengan memaksakan kehendak. Akan tetapi, bagaimana –selain mendapat
kebenaran- belajar bertukar ide dan mau menerima dengan lapang dada pendapat
yang berbeda.
Beda itu biasa. Keragaman adalah niscaya. Sebab diskusi
adalah ladang toleransi, bukan meja hijau untuk menghakimi ataupun untuk
mengklaim yang paling benar sendiri.
Sebab, yang paling benar adalah Allah swt. Kebenaran
mutlah hanya milik-Nya. sedangkan kebenaran pendapat manusia adalah nisbi
(relatif). Wallahu a’lam.
Ciputat, malam Jumat, 05 Mei 2005
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar