Tuesday, September 29, 2015

Masih Tentang Menulis


Sebagai pendatang baru dalam dunia literasi, tulis-menulis, tentu bisa sangat kentara cita rasa hasil tulisanku yang serba ala kadarnya. Bukan hanya tak bermutu, tapi memang tak layak disebut tulisan. Namun itu wajar lah, karena memang masih pemula.

Pernah suatu ketika saya membaca sebuah tulisan. Dalam tulisannya, ditegaskan bahwa menulis adalah soal jam terbang. Semakin sering seseorang menulis, semakin bagus kualitas tulisannya, katanya. Selayaknya seorang pilot, lanjutnya, bisa peroleh ijin terbang saat ia telah berhasil terbangkan pesawat dengan aman sebanyak sekian kali, sebab diasumsikan ia telah lihai menerbangkan pesawat di udara. Benar² menerbangkan pesawat asli. Bukan cuma simulasi di game aplikasi ataupun pesawat mainan remote control, atau pula replika.

Begitu pula halnya dengan menulis. Katanya lagi, semakin sering menulis, maka semakin bagus hasil tulisannya. Seorang pemula, seperti saya ini, masihlah sebatas belajar menulis hal biasa dengan gaya tulisan yang sangat² biasa, bahkan bisa jadi tanpa makna dan guna. Just write lah. Masih belajar merangkai kata² yang terserak dalam otak. Mengumpulkan potongan² puzle yang berserakan tak beraturan. Jangankan orang tertarik untuk baca, lihat saja malas. Jangankah kasih apresiasi, ngasih komentar negatif saja ogah.

Berbeda dengan penulis beneran, yang sudah lihai dalam menulis, dengan jam terbang tinggi. Mereka bukan lagi berkutat pada bagaimana menulis, menuangkan ide agar dipahami, tapi bagaimana ide itu dirangkai dengan kata² yang menghibur, membikin takjub, membuat pembacanya tersenyum, tertawa, bahkan bisa juga menangis karena tersentuh hatinya. Katanya, sesuatu yang keluar dari hati akan sampai ke hati. Bisa jadi, perlu juga hati dilatih untuk masuk dalam tulisan, agar tulisantak hambar tak berasa. Tak mlempem layaknya krupuk lama kena angin, tapi renyah serasa keripik (bukan rokok) sukun atau bentol yang baru dientas dari penggorengannya.

Karena itu teruslah menulis wahai saya. Karena, katanya, sering² menulis akan membuat lihai menulis. Beristiqamahlah wahai saya, meski istiqamah itu sulit dan berat. Karena 'setan' dalam diri terus berkata,
"Ngapain nulis? Tulisanmu jelek dan gak bakalan bagus dan menarik. Kalau bagus, mengapa tulisan kau belum juganongol di media massa. Kalau bagus, kenapa yang baca blogmu tidak ada?"
"Ah, gak usah nulislah. Buat apa? Nambah masalah saja. Masalahmu udah banyak bro."
"Ah, ngapain kamu nulis? Ngabisin waktu saja. Tulisanmu gak laku. Tulisanmu gak bisa jadi duit. Sia² saja." Lanjut setan dalam diri.
Iya, ternyata. Menulis memang tidak bisa mengenyangkan. Hanya habiskan waktu. Karena itu, aku jarang menulis. Ternyata, selain ada setan yang membisik. Sekarang saya pun membenarkan bisikannya.

Silahkan menulis, bila mau. Tidak mau juga gak apa-apa. Dan, sebaiknya sekarang tidurlah. Biar esok bisa bangun pagi sebelum fajar tiba.

Cirebon, 29/09/2015

Sunday, September 20, 2015

Sungai Sampah Kedawung

Wajah Alam Kini

"Telah tampak kerusakan di muka bumi ini, darat dan laut, akibat ulah tangan jahil manusia." (Qur'an)

Gambar ini ingatkanku perjalanan sore tadi, terlepas benar-tidaknya isinya, bagaimana arah tujuan pengunggahnya dan sikap afiliasi politiknya. Gambar saya culik hanya sebatas sebagai permisalan untuk ilustrasi belaka.

Ya, sore ini, saya bersama istri jalan-jalan ke rumah seorang kawan di sebuah desa di Cirebon, tepatnya di desa Kedung Jaya, kecamatan Kedawung. Sayangnya, lupa nama blok/ kampungnya.

Melewati jalan Sultan Ageng Tirtayasa, dari arah Sumber ke Kedawung, di kanan kiri jalan raya tampak sawah dan kebun masih ada yang terbentang. Meski kebanyakan, sawah-ladang itu tidak lagi ditanami padi ataupun jagung, tapi telah berganti beton dan bebatuan, perumahan, mulai dari kelas menengah hingga cluster cukup mewah begitu subur menjamur. Tampaknya, itu lebih menjanjikan bagi kantong dan perut, daripada padi yang habiskan dana jutaan untuk penggarapan, pupuk dan perawatan, sementara untung belum tentu didapat, dan rugi di depan mata membayang.

Di bilangan jalan itu, tampak kantor Imigrasi Cirebon berdiri gagah. Hilir-mudik, para pengguna jalan ramai, entah apa yang dikejar. Sore itu, jalanan cukup ramai, jelang malam Ahad, begitu biasanya muda-mudi keluar dari sarang, jalan-jalan membunuh kegalauan pekan.

Dan, mari sebentar Kawan, kita menuju ke arah utara, beberapa ratus meter dari sana. Saat tiba di sebuah desa, Kedung Jaya namanya, di depan sebuah perumahan (timur jalan raya) beloklah ke kiri (barat), memasuki gang besar, muatlah satu mobil.

Tak jauh, motorku melenggang ke dalam perkampungan, aroma asing begitu kuat menusuk-nusuk hidung tak tertahankan. Kukira, dari kanan kiri jalan ada beberapa kandang ayam milik warga, memang. Namun, saat melewati sebuah jembatan yang cukup besar, tersadarlah kami, bahwa sumber aroma yang amat kejam itu dari bawah kami. Tumpukan sampah beraneka jenis itu menggunung memenuhi sungai yang sebenarnya cukup lebar. Namun, air tak jua tampak mengalir darinya.

Sungai yang terbentang malang selatan-utara itu terhambat aliran airnya oleh gunungan sampah. Entah berapa lama timbunan itu mengendap, hingga hidung pun tak lagi kuat menahan, meski kami berjalan dengan motor. Tak terbayangkan bila kami berhenti, turun dari motor untuk sekedar mengambil gambar, satu dua jepretan. Karena hidung tak lagi kuat menahan, bau busuk yang ingatkanku pada timbunan sampah yang bercampur air dan lama-lama tak diangkut. Anehnya, dan ini nyata, para warga sekitar sungai kok bisa kuat berlama-tinggal di sana?! Nyaman dengan kondisi yang begitu mengenaskan? Bagaimana suasana sarapan, makan siang dan makan malamnya? Apa mungkin hidung mereka, dan kepedulian mereka, telah tertutupi oleh masker apatisme dan kebiasan? Sehingga sensitiftas pun redup, terabaikan begitu saja?

Begitulah kondisi sungai itu. Sungai itu, berdasar hasil browsing internet, diperoleh info, namanya sungai Kedung Pane, satu dari empat sungai di Cirebon. Saat musim kemarau melanda, dan hujan belumlah turun menyapa alam sana. Sampah itu bisa jadi berakibat banjir bila hujan tiba, karena sungai tak lagi ramah dengan aliran air. Seorang kawan yang tinggal di sekitar situ sejak setahun yang lalu mengaku. Tampaknya, karena belum ada kesadaran dari warga sekitar. Ujar kawan saya.

Lantas, kira-kira, bisa tidak sungai itu alirkan air lagi, dan menjadi ruang bergerak para ikan dan anak-anak penghuni kampung?? Tentunya sangat mungkin, bila masyarakat sadar akan kebersihan dan kesehatan lingkungannya, dan tidak lagi apatis dan abai. Juga bila gerakan masyarakat dan pemerintah setempat diaktifkan. Apalagi disokong oleh aktifis LSM, pemuda karang taruna, ipnu-ippnu, Anshar, ketua rt, rw, aparat desa, serta kecamatan. Kalau perlu, bupati ikut turun tangan.

Bila main ke Cirebon, mainlah ke sana, Anda bisa buktikan sendiri, betapa anyirnya dan nestapanya kali itu. Wallahu a'lam.

Tuesday, September 15, 2015

Seribu Tanya

Seribu orang bertanya
tentang bagaimana menulis
Kujawab lah mereka:

Tulis
tulis
tulis

Ribuan teori kau pelajari
ribuan pelatihan kau ikuti
ribuan buku kau baca
ribuan perpus kau kunjungi
ribuan penulis kau temui
Ribuan eS-Ka-eS kau lumati

Bila kau tak menulis
tak jadilah kau penulis

Karena menulis itu aksi
bukan sebatas teori
apalagi sekedar nilai di rapor kosong isi

Tabarukan Sahur

Tabarukan dengan Sahur
Berburu Berkah dengan Sahur

Dalam sahur terdapat keberkahan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Rasulillah saw dalam sabda beliau berikut:

تسحروا فإن في السحور بركة
"Bersahurlah, sungguh dalam sahur terdapat keberkahan."

Apa itu berkah?

Dalam lisan Jawa Timuran, berkah sering disebut dengan istilah barokah. Istilah berkat juga kerap dipakai, dan masuk dalam tradisi literasi bahasa Indonesia. Kata "berkat" juga menjadi tradisi dalam kalangan Muslim (di) Jawa. Setelah syukuran atau kegiatan yang mendatangkan banyak orang, tetangga dan handai tolan, walimah atau kenduri (kondangan), mereka biasanya dapatkan tentengan bungkusan. Dahulu, semasih di kampung, berkat berbentuk bungkusan plastik kresek berisi nasi (namanya nasi pasti udah mateng), lengkap dengan lauk-pauknya, dan terkadang dengan jajanan yang dikenal dengan kata "apem". Kata apem, konon berasal dari kata "afuwwun", dari bahasa Arab yang berarti "maaf". So, biasanya, apem diselipkan dalam berkat yang diberikan sebagai tentengan untuk acara yang ditujukan untuk permintamaafan dari si shahibul hajat (tuan rumah) kepada Allah.

Istilah berkat ini sering diplesetkan oleh orang-orang dengan kepanjangan diBREKno terus diangKAT, yang artinya ditaruh oleh shahibul bait wal hajat, lantas diangkat oleh tamu yang diundang untuk dibawa pulang sebagai tentengan untuk keluarganya. Anak istri pun biasanya senang menunggu di rumah lantas makan bersama dalam satu wadah bancaan. Hanya saja, akhir-akhir ini, di beberapa kampung, berkat matang sudah diubah dengan sembako mentah; beras, gula, teh, mie instant, dsb. Mungkin karena pertimbangan agar lebih simpel, tidak perlu ribet masak, dsb.

Berkat, juga diartikan sebagai karunia Tuhan yang membawa kebaikan hidup manusia, dan juga diartikan sebagai doa restu dan pengaruh baik dari orang yang dihormati atau dianggap suci. Demikian dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi).

Kata berkah, barokah, barakah dan berkat, berasal dari bahasa Arab, yang kalau kata Guru Saya, AlMaghfurlah KH. Moh. Baqier Adelan, berarti bertambahnya kebaikan, "az-ziyadah fil khair". Dengan adanya berkah, kehidupan kita semakin tambah kebaikannya.

Dalam tradisi pesantren salaf (tradisional), berkah merupakan sesuatu yang paling dicari oleh santri dari Allah swt, via berbagai media (wasilah), di antaranya melalui sang Kiyai (guru). Memang, berkah kerap dianggap sebagai hal yang abstrak, tidak kongkrit dan sepintas tidak jelas kasat mata. Namun, bagi kebanyakan santri pesantren tradisional (baca: NU), berkah adalah hal abstrak yang nyata efeknya bagi kehidupannya. Santri yang meyakini berkah, rela siang malam khidmat (menjadi khadim/ pelayan) di ndalem (rumah Kiyai), membantu dalam berbagai kebutuhan sang Guru, mulai dari menyapu, mengepel, menguras bak mandi, memasak, menjadi pramusaji, berbelanja, mencucikan, menjaga toko, hingga angon kambing guru. Semua dilakukan dalam rangka mencari berkah, doa restu sang Guru. Banyak kisah nyata, santri yang selama di pesantrennya menjadi khadim, ngabdi, meskipun di sekolahnya, nilai akademiknya pas-pasan, jarang kelihatan belajar. Namun, sewaktu lulus, pulang kampung, dia menjadi rujukan masyarakat, berperan di masyarakat, punya pengajian dan pesantren. Ada pula yang bisa kuliah berbeasiswa ke luar negeri, hingga dapat gelar doktor, dan menjadi dosen dan berperan penting. Ini diyakini sebagai buah dari keikhlasan berkhidmat. Barangkali, meskipun tidak tampak belajar, tapi di rumah Kiyai ia dengarkan pengajian kitab setiap hari, atau di rumah Kiyai banyak didapatkannya ilmu realitas yang dialami dan contoh kongkrit dilihat secara langsung setiap hari, atau karena ia dapatkan ridha dan doa restu dari Sang Kiyai. Wallahu a'lam.

Kembali ke sahur. Dalam sahur terdapat keberkahan, tambahan kebaikan. Kebaikan itu berupa kekuatan fisik dan ruhani untuk menjalankan ibadah secara lebih fit dan bugar. Bila makan minum sahur secara sehat dan cukup, akan memberinya bekal gizi untuk menjalankan ibadah puasa dengan penuh produktifitas. Sehingga, berpuasa tidak lantas bermalas-malasan beraktifitas, karena lemas, lemah dan letih. Namun, ini denfan catatan cukup, tidak berlebihan. Bila berlebihan akan berefek ngantuk, lemas dan akhirnya tidur pagi selepas Subuh. Ini kutang baik bagi kesehatan, katanya. Ya syukur-syukur sudah shalat Subuh. Kalau belum? Hemmmmm

Di antara yang dianjurkan oleh Rasulullah saw dalam bersahur adalah mengakhirkan sedikit sahurnya. Artinya, tidak terlalu kemalaman, beberapa jam sebelum tiba waktu fajar, sehingga tidak terlalu banyak makanan yang dikonsumsi dan durasi puasanya lebih lama, mungkin. Tidak pula terlalu dekat dengan waktu fajar, sehingga belum juga rampung sahur, Adzan sudah berkumandang. Dari itu, para ulama memunculkan istilah "imsak", sebagai "alarm" waktu jeda selama sepuluh menit untuk segera berhenti makan, agar bisa berkumur, bersikat gigi dan berwudhu untuk persiapan shalat Subuh berjamaah. Tanpa ada imsak, kerap kita lalai, sehingga adzan subuh telah berkumandang, namun mulut masih mengunyah makanan. Sementara, waktu start puasa adalah mulai terbitnya fajar.

Berbagi Makan-Minum Sahur

Sangat masyhur di kalangan kita bahwa memberi minum-makanan berbuka (ifthar) sangat besar pahalanya, sebesar pahala puasa, tanpa mengurangi pahala pelaku puasa (shaim). Alasannya, selain karena ada hadisnya, juga karena ia telah menjadi perantara untuk dapatkan  kebahagiaan bagi orang yang berpuasa, lepaskan dahaga dan laparnya. Apalagi kalau yang berbuka memang fakir miskin, dua kebaikan diraih sekaligus. Namun, tahukah kita bahwa dalam memberikan makan sahur juga terdapat pahala besar?

Memang, gaung hadisnya tak begitu terdengar di telinga. Namun, bila melihat keberkahan sahur, yang menjadi bekal gizi, tentu menyediakan menu sahur juga berbuah berkah. Hal ini khususnya bagi para kaum papa, santri ataupun para JOMBLOWAN (sengaja diperbesar) yang belum ada yang bantuin nyiapin menu sahurnya. Niat hati mau sahur, peroleh berkah, apa daya, bangun-bangun tak sempat masaknya,  mau beli warung sulit mencarinya. Karena itu, sepatutnya, masjid-masjid yang biasa menggelar berbuka bersama, bisa adakan sahur bersama, khususnya bagi kaum fakir-miskin, baik miskin materi ataupun miskiiin (kasihan) deh belum ada yang bantu masakin. Ngenes memang. Wallahu a'lam. Sory kalau sad ending.

Cirebon, 19/06/2015

Cinta dan Panggilan Jiwa

Guru: Cinta dan Panggilan Jiwa
oleh Masyhari
Paul Suparno, dalam bukunya "Menjadi Guru Demokratis di Era Reformasi Pendidikan (MGDdERP)", menulis bahwa 'profesi' guru adalah berdasar panggilan jiwa. Ini yang mendorong adanya rasa ikhlas dalam hati. Melaku tanpa pamrih, hanya ingin berbagi, memberi, tak harap kembali. Karena jiwanya terpanggil untuk bergerak dan merasa bertanggung jawab atas orang lain di sekitarnya.
Mustahil, seorang guru akan melakukan 'tugas' mulianya dengan ringan tangan dan penuh ceria, bila tak ada panggilan jiwa, rasa tanggung jawab pribadinya, sebagai makhluk sosial, menjadi insan yang bermanfaat bagi sesama. Itulah bagian dari tujuannya. Ia yakin bahwa "berbagi" kebaikan adalah bagian dari sifat insan terbaik, khairunnas. Berbagi menjadi kebutuhannya. Inilah pengabdian itu.
Tentunya, panggilan jiwa ini akan memperkuat rasa cintanya terhadap aktifitas kependidikan, cinta terhadap ilmu pengetahuan, cinta pada siswa, cinta pada sesama guru, cinta pada sarana pendidikan, cinta pada buku, dan lain sebagainya.
Bagi seorang siswa, cinta akan menumbuhkan semangat belajarnya. Cinta itu bisa ditumbuhkembangkan di antaranya dengan memberikan pengertian dan penyadaran urgensi ilmu yang akan dipelajarinya. Bila ilmu diibaratkan sebagai makanan atau hidangan, maka belajar itu bisa diibaratkan dengan menyantap dan melahapnya (konsumsi). Bayangkan, bila seseorang dihidangkan makanan yang tidak disukainya, apa dia akan bergairah, bernafsu untuk menyantapnya? Alih-alih bisa masuk ke perut dan bergizi baginya, yang ada perutnya akan mulas dan kembali dimuntahkannya. Karena itu, menanamkan benih cinta, menyiram, memupuk dan merawat pohon cinta merupakan tugas utama, hal penting yang harus dilakukan seorang guru, sebelum melangkah pada tahapan lebih jauh.
Di antara yang bisa menumbuhkan cinta siswa dan gairah belajarnya yaitu ia mengetahui urgensi, segnifikansi dan kegunaan ilmu yang dipelajarinya. Bagi seorang mahasiswa fakultas Syariah, misalnya, bahasa Arab merupakan hal utama yang tidak bisa tidak dikuasainya, tanpa mengesampingkan bahasa lainnya. Bahasa Arab merupakan modal utama baginya. Mayoritas referensi utama hukum Islam berbahasa Arab; Al-Qur'an, As-Sunnah, kitab-kitab babon lainnya. Selain itu, penguasaan terhadap bahasa Inggris dan bahasa dunia internasional lainnya juga penting agar bisa membuka referensi bahan perbandingan, pengayaan dan bisa go internasional. Pun juga dengan bahasa lokal, setempat. Agar ia mampu mengkawinkan antara teks dengan realitas konteks, mampu menyelaraskan antara yang tersurat dan tersirat dengan kondisi dan transformasi zaman.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya untuk menumbuhkan cinta belajar pada ilmu adalah sosok gurunya. Betapa banyak, rasa cinta siswa terhadap ilmu atau bidang studi tertentu akan muncul dan redup, naik dan turun, seiring dengan guru yang mengampu bidang studi tersebut. Karena itu, sebagai guru, langkah awal yang dilakukan adalah berupaya dan berusaha agar menjadi guru yang dicintai siswa, syukur-syukur menjadi guru favorit. Kehadiran kita di kelas senantiasa ditunggu siswa.
"Kapan ya hari senin lagi, biar segera belajar fisika (misalnya). Asyik tahu, belajar sama Bapak guru A." 
Menyenangkan bukan? Bila siswa kita demikian merindukan kehadiran kita.

Bila sebaliknya, kita tidak menyenangkan, tidak "menggairahkan" siswa, bahkan killer, enggan tersenyum dan apatis terhadap siswa kita, maka bukan hanya kita tidak dicintai siswa, tapi ilmu atau bidang studi pun menjadi korbannya. Dan, siapa lagi yang paling bertanggung jawab atas ini semua, kalau bukan kita.
Itu semua karena siswa adalah manusia. Dan, manusia itu ingin cinta dan mencintai, ingin dihargai dan diapresiasi. Bila sekecilpun karya dan kreatifitasnya diapresiasi, ia akan semakin bersemangat. Sebab itu, kita harus menjadi manusia dan memahami karakter manusia. Meminjam istilah Munif Chatib, yaitu menjadi gurunya manusia. Sekian. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam..
Dari sebuah bilik kecil di dekat Stadion Bima Cirebon, 9/06/2015

Menulis Itu Proses

Pesan hari ini:

لا  كاتبَ فِيْ الأَرْضِ وُ لِدَ كاتِباً

"Tak ada seorang penulis pun di muka bumi ini yang terlahir sebagai penulis"

Artinya, menulis adalah proses dan aktifitas yang bisa dilakukan siapa saja yang mau menulis..
Bila ada yang mengatakan bahwa menulis itu bakat, adalah mitos yang tak punya sandaran "dalil" normatif maupun empiris satu pun, selain keputus-asaan dari yang berkata.

Seribu diklat kepenulisan kita ikuti, tapi kalau tak mau menulis, kita tidak akan pernah jadi penulis. Sebaliknya, andai tak satu pun pelatihan menulis yang kita ikuti, tapi kita rajin menulis, dengan diselingi rajin membaca dan bercengkrama dengan penulis, kita akan menjadi penulis, secara otomatis. Jadi, cara yang terbaik dan terampuh agar menjadi penulis adalah dengan MENULIS.

Menulis itu layaknya bicara atau naik sepeda. Tak butuh banyak teori. Untuk bisa bicara, anak kecil cukup punya telinga yang berfungsi, banyak mendengar dan lidah, lantas langsung berbicara.

Untuk bisa naik sepeda, cukup ada sepeda dan mulailah naik, pegang setirnya dan kayuh perdalnya. Bila jatuh, naik lagi. Bila tak mau jatuh, ambil bantuan roda dua samping kanan kirinya. Bila perlu, pinta kawan tuk pegang, sementara.

Dalam naik sepeda, jatuh-bangun itu biasa. Sakit? Itu tergantung, relatif. Bagi yang pengen banget bisa, jatuh, sakit pun tidak dirasa. Itu karena adanya rasa cinta.

Begitu pula dengan menulis. Saat tulisan kita hasilnya tidak enak dibaca, artinya kita perlu banyak lagi menulis. Saat tulisan kita berkali-kali ditolak media, buat tulisan lagi, lalu ajukan lagi. Yang namanya ditolak, sakit itu biasa. Tapi karena cinta, ya cinta menulis, sakit pun tidak dirasa. Bila tetap saja ditolak, move on saja! buat media 'tandingan', berupa blog, fb atau kalau perlu buat penerbitan sendiri. Tulisan kita pasti bisa lolos dan dinikmati pembaca..hehehe..

Tulisan tidak lolos di media atau penerbit, belum tentu karena tidak bagus atau menarik, tapi karena mungkin redaktur belum dapat hidayah..hehehe, maksudnya tulisan kita belum sesuai dengan selera media atau belum waktunnya, atau memang belum rezeki kita, karena ada tulisan lain yang lebih sesuai dengan selera penerbit atau media.

Artinya, banyak jalan menuju Mekkah, banyak jalan untuk bisa eksis di dunia tulis menulis. Dunia literasi yang kita cintai ini, pemirsa.

Maunya tadi mau nulis satu dua baris saja, eh keterusan sampai puluhan baris..hehe
Beginilah menulis, berdialog diri. Malas mulainya, kalau sudah jalan, susah menghentikannya.
Cirebon, 02/05/2015

Catatan Jumatan Hari ini

Ada beberapa catatanku untuk Jumatan hari ini.

Pertama, Jum'atan hari ini, di masjid sebuah komplek dekat tempat tinggal (baca: singgah) mungkin sebagaimana hari-hari sebelumnya, dan di tempat-tempat lainnya, masjid mengalami kepadatan, hingga pihak takmir masjid menggelar tikar tambahan di luar masjid.

Kedua, artinya, secara kuantitas, jumlah umat Muslim Indonesia kian hari kian bertambah, khususnya melalui peningkatan angka kelahiran. Ini belum termasuk para wanita Muslimahnya.bNamun, hal ini tidak diimbangi dengan perluasan area masjid. Tapi ini wajar, mengingat keterbatasan lahan, dan di luar Jumatan, yang berjamaah di masjid hanya beberapa baris saja.

Ketiga, peningkatan kuantitas ini bisa kita syukuri. Namun, tidak kalah pentingnya dari itu adalah peningkatan kualitas keberislaman, perbaikan mental-akhlak dan tradisi pembelajaran dan pendidikan. Ini bisa di lihat sepintas, misalnya seperti yang tadi saya lihat, tepat di depanku dan anakku duduk di barisan kedua (artinya, mereka di shaf pertama), tiga orang tua sebaya berusia 60an, masih asyik mengobrol sementara khatib begitu asyik dan luar biasa bersemangatnya dalam menyampaikan khutbahnya. Padahal ini hal yang bisa dikatan sebagai yang mafhum minaddin bidh dharurah, satu hal keagamaan yang seharusnya sudah diketahui masyarakat awam, bahwa berbicara saat khutbah membatalkan jumat itu sendiri, sia-sia. Tindakan mengingatkan mereka saat itu jelas juga terlarang. Sehingga..

Keemat, sepatutnya, sebelum khatib naik mimbar, pihak pengurus takmir masjid memberikan peringatan, dengan membacakan hadis riwayat Abu Hurairah ra yang teramat masyhur tentang urgensi menyimak khutbah dan akibatnya bila berbicara saat itu, berikut dengan artinya dalam bahasa setempat yang dipahami seluruh jamaah. Bila upaya ini telah dilakukan, namun tetap ada yang berbicara, biasalah yang namanya orang banyak. Yang terpenting, dari sekian banyak jamaah, pasti ada satu dua dan bahkan mayoritas mengindahkannya dan mengambil manfaatnya. Peringatan ini dianggap penting, karena manuasia punya sifat lupa.

Kelima, selain itu, semestinya, masjid dimaksimalkan dengan kegiatan-kegiatan pembinaan dan pendidikan masyarakat, khususnya terkait ilmu keislaman, baik yang bersifat vertikal ataupun horizontal. Sayang sekali bila sebuah masjid yang indah dan megah, namun tidak dimanfaatkan untuk pendidikan, pengajian dan kajian dalam rangka peningkatan kualitas keberislaman dan keilmuan para jamaah. Kajian bisa secara intensif seperti TPQ untuk anak-anak kecil, madrasah diniyah untuk remaja dan pengajian kitab untuk para orang tua/ dewasa.

Keenam, sebuah masjid, dikatakan nyaman bukan karena kemegahannya, namun juga bisa membuat betah para jamaah untuk berlama-lama di sana. Selain kebersihan dijaga dan ketertibannya, tempat wudhunya, seharya toilet dan kamar mandi yang bersih dan menadahi pun harus diperhatikan. Tidak elegan kan bila sebelum shalat atau ketika sedang i'tikaf di masjid, tiba-tiba pengen buang air, para jamaah kebingungan mencari tempat buang air kotornya. Akhirnya, masjid lain pun jadi pelariannya.

Ketujuh, kualitas khatib cukup segnifikan dalam pengaruhi suasana jamaah di tengah khutbah. Bila khatib pandai berorasi dan sampaikan khutbahnya, 30 menit pun tak terasa lama dan minim sekali yang tertidur. Antusiasme jamaah tergugah oleh indahnya khutbah, sayang bila terlewatkan percuma.

Kedelapan, masjid pun perlu menyediakan sebuah perpustakaan, minimal ada satu-dua rak berisi buku yang bergizi. Syukur-syukur bila dibuatkan satu ruangan khusus untuk perpustakaan yang nyaman bagi para jamaah untuk peningkatan kualitas keilmuannya.

#selamatMenunaikanIbadah

Cirebon, 11/06/2015

Langgar-Surau-Tajug (Mushalla) Khas Nusantara

Kata "mushalla" sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yang merupakan bentuk isim makan (kata benda yang menunjukkan tempat) dari kata 'shalla-yushallii-shalaatan'. Sehingga kata 'al-mushalla' berarti tempat shalat, sembah-Yang, tempat beribadah bagi umat Islam. Selain kata mushalla, di Nusantara dikenal juga istilah "langgar" (Jawa), "tajug" (Sunda), "surau" (Minang), dsb. Kesemuanya berarti masjid (kecil), tempat ibadah shalat lima waktu seperti masjid, hanya saja tidak dipakai untuk shalat Jum'at dan i'tikaf.

Kendatipun berasal dari bahasa Arab, sejumlah dosen saya di kampus cabang Arab Saudi, baik yang dari Arab Saudi maupun yang dari Mesir mengakui bahwa di Arab sana, istilah 'mushalla' tidak umum dipakai sebagaimana yang lumrah dikenal di Indonesia. Di sana tidak dikenal kata 'mushalla'. Di zaman ini, yang umum dipakai di Arab adalah masjid. Hanya saja, masjid diklasifikasikan menjadi dua, yaitu masjid jami' dan ghairu jami'. Masjid jami' adalah masjid yang bisa dipergunakan untuk i'tikaf dan shalat Jum'at. Sementara masjid ghairu jami' tidak bisa, hanya dipakai untuk shalat lima waktu dan kegiatan 'ibadah' lainnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa istilah 'mushalla' merupakan khazanah tradisi khas Islam Nusantara. Bisa dicek, apa di Eropa, Amrik, Afrika dan Australia istilah mushalla dipakai ataukah tidak? Bila ada, istilah mushalla di sana sbg tempat shalat khusus tampaknya belakangan ada. Wallahu a'lam.

Saya tidak tahu persis sejak kapan istilah mushalla, tajug, langgar dan surau ini muncul dan dipakai di Nusantara ini. Hanya saja, istilah 'mushalla' bisa kita dapati di alQuran surah al-Baqarah ayat 125, yaitu:
وإذ جعلنا البيت مثابة للناس وأمنا واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى...

Yang artinya kurang lebih, "Dan (ingatlah, wahai Nabi-Ku), tatkala Kami telah jadikan al-Bait (Baitullah/ Ka'bah) sebagai tempat berkumpul, bernaung dan keamanan bagi manusia (yang sedang berumroh atau haji), dan jadikanlah Maqam Ibrahim sebagai mushalla (tempat shalat)." (QS Al-Baqarah [2]: 125).

Maqam Ibrahim, yaitu sebuah tempat di sisi timur laut dekat Ka'bah, di dalamnya terdapat dua jejak telapak kaki Nabi Ibrahim saat berdiri membangun Ka'bah bersama Ismail. Sesaat setelah merampungkan thawaf tujuh kali putaran, seorang Muslim disunnahkan mendirikan shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim. Dan, saat melakukan thawaf disetiap putaran, kita membaca ayat tersebut di atas.

Selain itu, kata mushalla juga bisa ditemukan di dalam hadis Nabi saw, misalnya saja hadis tentang masjid pertama di dunia yang dimuat dalam Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan an-Nasai dan Sunan Ibnu Majah berikut:
... عن أبي ذر الغفاري قال:  قلت:  يا رسول الله، أي مسجد وضع أول؟ قال: "المسجد الحرام". قلت:  ثم أي؟ قال: "ثم المسجد الأقصى." قلت:  كم بينهما؟ قال: "أربعون عاما، ثم الأرض لك مصلى، فصل حيث ما أدركتك الصلاة."
Yang artinya kira-kira, "Diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari. Dia berkata, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, masjid apa yang pertama kali dibangun?" Rasulullah bersabda, "Masjidil Haram." Aku berkata, "Kemudian masjid apa?" Beliau bersabda, "Kemudian Masjidil Aqsha." Aku berkata, "Berapa jarak waktu antara keduanya?" Beliau menjawab, "Empat puluh tahun. Kemudian, boleh bagimu menjadikan permukaan bumi (lainnya) sebagai tempat shalat. Maka, shalatlah kapan pun dan di mana pun engkau masuk waktu shalat."

Selain itu, di sejumlah kitab fikih klasik berbahasa Arab, kata mushalla juga bisa ditemukan, dengan makna serupa dengan yang tersebut sebelumnya, yaitu tempat shalat.

Artinya, kata mushalla di Arab merujuk pada setiap tempat yang suci dari najis yang bisa dijadikan tempat shalat, di mana pun, tidak harus tempat khusus yang dibangun dan didirikan untuk tempat shalat, berupa bangunan, dinding, kayu, anyaman bambu, atau kamar, seperti tajug, langgar atau surau.

Sehingga, bisa dikatakan bahwa penggunaan istilah mushalla secara khusus berarti tajug, langgar dan surau ini bagian dari khazanah tradisi yang khas ada di dalam Islam Nusantara.

Di kampung-kampung di Indonesia, dalam sebuah desa, bisa ada beberapa mushalla (langgar) kecil yang dipakai untuk shalat lima waktu. Namun, dalam satu desa, biasanya hanya ada satu masjid (jami'). Dan ini sudah mafhum di kalangan muslim Nusantara. Kendatipun demikian,  bisa jadi, sebuah mushalla di Indonesia, oleh orang Arab akan disebutnya sebagai masjid. Karena mereka tidak mengenal istilah tempat khusus untuk shalat selain masjid. Wallahu a'lam

Cirebon, Ramadhan 1436 H

Relatifitas-Subyektifitas

Sebuah Renungan

Lembaran uang rupiah berwarna biru, bagi sebagian orang bisa dianggap besar, bisa buat makan sepekan. Bagi sebagian lain, duit gocap (50rb itu) sangat kecil tak begitu bernilai, hanya cukup untuk makan seporsi di resto langganannya.

Uang 50rb itu tentunya sangat kecil bila dibawa ke Mall. Uang segitu, ke mall belum dapat apa-apa. Namun, entah kenapa, bila dibawa ke masjid, berhadapan dengan kotak infak yang sedang lewat di depan mata, lah kok jadi besar. Bagi yang pelit seperti saya, begitu ceritanya. Tapi bagi Anda, duit 50rb bukan seberapa lah, sebab yang Anda bayangkan mau dapat tiket surga. Sebab, Anda biasa keluarkan uang kertas warna merah pecahan 100rb, cepek, dengan begitu ringannya, tinggal gesek, keluarlah.

Itu karena Anda hafal dan memahami betul sejumlah ayat sedekah dan infak, yang menyebut bahwa salah satu ciri orang yang bertakwa adalah menginfakkan sebagian rezekinya. Surat al-Baqarah ayat 3 misalnya. Kita garis bawahi kata SEBAGIAN. Mungkin, sebagian orang ada yang memahami itu adalah sebagian kecil. Namun tidak bagi Anda yang dermawan, akan memahaminya sebagai sebagian besar. Ya, ungkapannya mutlak, SeBaGiAn, bila tidak disertai kata kecil/besar, maka yang menafsirkan adalah hati dan pikiran sesuai dengan tingkat keimanan dan kedermawanan.

Nominal Rp 20.000/bulan dalam SPP anak di TPQ atau Madrasah Diniyah bagi sebagian orang tua dirasa besar. Padahal itu hanya cukup untuk rokok ayahnya sehari, ya sehari. Makan di kebanyakan warung dengan menu standar hanya dapat satu porsi. Meski begitu, tak jarang loh yang nunggak bayar uang SPP. Aneh kan? Padahal, itu uang yang diberikan untuk infak atau spp pengajian adalah untuk kebaikannya di akhirat, dan dunianya juga. Kelak, anak itu akan menjadi anak yang shalih, pandai mengaji, ilmu agama, berbakti dan berdoa. Setiap bacaan alQuran sang anak, otomatis kan terkirim pahalanya untuknya. Ilmu yang diamalkannya, doa yang dipanjatkannya dan baktinya kepada ortunya semasih hidupnya tak ternilai harganya. Berharap begitu? Jangankan 20rb/bulan, 100rb/bulan pun tak terasa, selayaknya buang air.

Ini berbeda saat berhadapan dengan bimbel jelang UAN, jutaan rupiah pun rela dikeluarkan ortu untuk bayar uang kursus, dengan harapan bisa lulus UAN atau masuk Universitas unggulan.

Untungnya, hiburan janji surga dan wejangan keikhlasan senantiasa dipegang oleh para guru ngaji. Andai tidak, TPQ dan pondok pesantren dengan nama "al-ikhlas" akan bubar ditelan zaman. Soal ikhlas, memang cukup aneh. Di saat guru-guru diminta ikhlas dalam mengajar, orang tua ternyata tidak ikhlas menyerahkan pendidikan anaknya. Semoga, keikhlasan tidak diidentikkan dengan mengajar tanpa gaji, atau mengajar dengan gaji rendah. Ikhlas urusan hati. Gaji urusan amplop yang diterima.

Semoga kita semua sadar. Amiin.

Catatan Tadarus Zhuhur
15 Ramadhan 1436 H

Main ke Prof Chozin Nasuha

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan bersilaturrahim ke kediaman guru kami Prof. Dr. Chozin Nasuha di Arjawinangun-Cirebon, atas 'undangan' dadakan beliau via telp. Cukup panjang obrolan kami, dari jam 2an hingga jelang Maghrib, dipotong rehat shalat Ashar.

Rumah beliau yang pensiunan pns dosen di UIN Bandung ini terbilang sangat sederhana. Jabatan rektor isif, sebuah kampus swasta di Cirebon hingga saat ini tidak mengubah gaya hidup beliau yang terbilang sederhana. Profesor bidang tafsir al-Quran yang saat ini masih diberdayakan sebagai dosen di Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini, bila ke kampus masih sangat asyik dengan naik angkot, tak bermobil pribadi, dan tampaknya tak suka merepotkan orang lain.

Meski usia sudah sepuh, sudah beranak-cucu, tapi semangat dan jiwa beliau: masih muda. Penuh gairah perubahan dan 'anti' kemapanan. Istilah "kepruki" yang kerap muncul dari lisan beliau menjadi semacam ikon kritisisme yang mendarah daging dan mengejawantah dalam kelas2 yang beliau ampu atau forum seminar yang beliau narasumberi.

'Undangan' ini terkait urusan pribadi beliau yang akan berbesan dengan orang dari Deket, sebuah kecamatan di Lamongan. Ya, sebatas cari info ttg peta Lamongan. Kabarnya, beberapa waktu lagi beliau akan sulaturrahim ke sana. Setelah saya tanya, rombongan sama keluarga? Naik apa?

Beliau jawab, sendirian saja, naik kereta. "Ma syaAllah! Sesepuh ini. Sederhana sekali." Ucap saya dalam hati.

Selain tujuan utama, seperti biasa, kita ngobrol bebas, mulai dari yang ringan, hingga yang berat. Mulai soal desa tempat tinggal yang bersebelahan dengan Makam Sunan Drajat, hingga tentang problem relatifitas dan subjektifitas sejarah. Bahwa dari dulu, sejarah punya beragam versi. Ia akan (selalu) memihak pada penulis dan penguasa. Bahkan 'serat' (risalah) itu konon ditulis atas pesanan 'penguasa' kolonial.

Obrolan juga masih menyinggung problem  formali(n)sasi, yang menyisakan marginalisasi kaum minoritas. Sebut saja umat Ahmadiyah di Manis Lor dan Agama Cigugur Kuningan yang terzhalimi oleh otoritasi penguasa setempat. Efek fatwa dan regulasi yang tidak toleran. Karena negara yang via undang2 yang hanya mengakui Islam "lurus", juga pembatasan agama, ternyata berdampak pada kezhaliman secara sipil, dimana karena aliran dan agama belum dapat "sertifikasi", akhirnya otoritas KUA setempat tidak mencatat peristiwa nikah, lahir, dsb, dan akhirnya akta/ surat nikah mereka sulit, bahkan tidak didapatkan. Padahal, dalam UUD 45 pasal 29 jelas menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk berkepercayaan. Toh, mereka juga berketuhanan YME. Selain itu, deklarasi negara Madinah sarat akan nilai toleransi. Bahkan, Islam menegaskan dalam "la ikraha fid diin", tak ada paksaan dalam beragama. Saat seseorang, individu tercatat sebagai warga negara, maka negara berkewajiban menunaikan haknya sebagai warga. Tak pandang apa agama dan kepercayaan yang dianutnya. Pemerintah tak berhak intervensi, mengarahkan, apalagi memaksakan soal ini. Sepanjang tidak mengganggu warga lain.

Selain itu, problem akademis-ilmiah (orientasi pendidikan) juga menjadi tema obrolan kami. Dewasa ini, insan 'akademis' sudah terseret pada industrialisasi dan matrialisme 'pendidikan'. Kampus dan sekolah tidak 'bervisi' mencetak insan akademis, tapi mencetak 'buruh', mesin industri modern. (Ke)banyak(an) siswa/ mahasiswa masuk dunia pendidikan hanya untuk selembar kertas ijasah, kejar sertifikat. Dunia pendidikan hanya untuk gaya-gayaan, menaikkan kelas sosial. Dan, kampus pun selaras, menjadi semacam mesin percetakan, institusi formalitas penerbit sertifikat, tidak lebih. Penelitian ilmiah, pengkajian, pengajian, dan kegiatan akademik lainnya, kalau ada, masih sebatas tuntutan formalitas, proyek dan penggugur kewajiban semata. Kampus/sekolah belum berperan sebagai lembaga yang membuat insan pembelajar, cinta membaca, menulis, meneliti, dsb. Telah d2an tengah terjadi disorientasi pendidikan. Indikasinya, di antaranya, munculnya istilah jurusan basah dan jurusan kering. Fakultas/jurusan 'tak menjanjikan masa depan' dunia modern (orientasi materi duniawi), ditinggalkan peminatnya.

Selain itu, di meja beliau ada sebuah buku berbahasa Arab yang beliau sarankan untuk diterjemah. Buku bertema pembaruan (lebih tepatnya: keterbaruan) ushul fikih ini merupakan sebuah disertasi doktoral di sebuah Universitas di Maroko (kalau tidak salah). Meskipun baru sebatas pengantar deskriptif dan hanya berisi pemaparkan sejarah ushul fikih, minim analisis kritis,  pengembangan dan pencetusan hal baru, namun cukup lengkap dan layak diterjemahkan. Judul bukunya, lebih kurang, "Tathawwur Ushul Fiqh Wa Tajadduduhu..." (Perkembangan dan Keterbaruan Ushul Fikih). Tema ini masih lebih ringan dari yang beliau selama ini gaungkan, yaitu pembaruan Ushul Fikih, tajdid. Namun, ini bisa menjadi semacam pemantik, pengantar sebuah pintu, bahwa ushul fikih sebagai sebuah ilmu yang tidak 'mati', absolut, sebuah hasil ijtihad manusia (ulama) dan produk zaman. Ia bisa tumbuh dan berkembang, dan kondisi zaman bisa menjadi salah satu bahan atau faktor yang mempengaruhinya.

Sebenarnya masih ada satu-dua hal lainnya. Kita cukupkan dulu. Wallahu a'lam.

Dari sebuah bilik kecil di Kalikoa-Kedawung (Stadion Bima), 07/06/2015

Surat Gus Mus

Surat Gus Mus

Di waktu Muktamar NU di Jombang Jawa Timur (1-5 Agustus 2015)

Bismillahirrahmanirrahim

Hadhratil afadhil sadatil masyayikh ahlul halli wal 'aqdi al-a'izza' -hafizhakumullah

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Wa ba'du..

Seperti kita ketahui muktamar kita sekarang ini diwarnai oleh sedikit kisruh yang bersumber dari adanya dua kelompok yang masing2 menginginkan jagonya yang menjadi rois 'am. Satu berusaha mempengaruhi muktamirin untuk memilih A, satunya lagi B dan sistem "ahlul halli wal 'aqdi" pun dianggap sebagai alat oleh salah satu kelompok tersebut.

Oleh karena itu, demi kemaslahatan Jam'iyyah dan sekaligus mengayomi kedua belah pihak yang bersaing tersebut, sebaiknya ahlul halli wal 'aqdi tidak memilih dua nama yang dicalonkan kedua belah pihak tersebut (A maupun B).

Jabatan rois 'am biarlah diserahkan kepada salah satu dari ahlul halli wal 'aqdi yang paling mendekati kriteria (afqahuhum wa akbaruhum.....).

Sedangkan untuk ketua umum Tanfidziyyah biarlah rais 'am terpilih merestui semua calon, agar muktamirin bisa bergembira memilih pilihannya sendiri2.

Terima kasih dan mohon maaf.

[Gus Mus]

Monday, September 14, 2015

Soal Hadis Ahkam

Soal UTS matkul hadis ahkam
stid albiruni Babakan Ciwaringin Cirebon

1. Sebutkan dan jelaskan apa saja model atau cara penentuan awal dan akhir bulan hijriyah, dan bagaimana menurut pendapat Anda disertai dengan argumentasi dan dalilnya?

2. Jelaskan bagaimana pendapat para ulama tentang hukum memegang alQuran bagi yang berhadas, serta masing2 dalilnya, dan bagaimana menurut Anda?

3. Menurut Anda, bolehkah berzakat fitrah dengan mata uang, mengapa? Jelaskan disertai dengan argumentasi dan dalil.

Selamat mengerjakan, semoga sukses.

Soal UAS Hadis Ahkam

Soal UAS Hadis Ahkam prodi PMI Stid alBiruni Babakan Ciwaringin

1. Apa yang Anda ketahui ttg nikah mut'ah? Menurut Anda apa hukumnya? Berikan alasan dan argumentasi!

2. Bolehkah seorang wanita yang sedang haid ikut belajar membaca alQur'an di majelis taklim? Berikan alasan dan argumentasi!

3. Tuliskan esai berisi pandangan Anda tentang kafaah dlm pernikahan, kaitannya dengan hadits berikut!

تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها. فاظفر بذات الدين تربت يداك..

Friday, September 11, 2015

Mau Nulis, Tapi Mulai dari Mana?

Seorang kawan bilang bahwa ia sebenarnya pengen sekali menulis. Hanya saja, setiap kali hendak menulis, jari-jemarinya berhenti, alur logikanya tersendat, macet. Ia tak tahu harus memulai dari mana, bingung mau nulis apa, apa kata pertama yang harus ditulisnya untuk memulai paragrafnya.

Mungkin kamu pernah mengalami hal serupa. Belum sempat menuliskan satu kata, sudah khawatir nanti tulisan saya tidak menarik, diksi pilihan katanya salah dan tidak enak dibaca. Kuatir tulisan saya nanti tidak sesuai dengan EYD, dan sederet kekhawatiran dan ketakutan lainnya. Maunya yang sempurna tulisannya. Padahal, kesempurnaan hanya milik Allah swt. Tak ada tulisan yang benar-benar sempurna, kecuali Kalam Allah dan Rasul-Nya.

Bagaimana mau nulis, belum apa-apa sudah kuatir dan takut duluan. Ibarat seorang anak yang hendak belajar naik sepeda. Ia harus berani untuk memegang setir, menginjak perdal dan mengayuh. Bisa jadi, sebagai permulaan ia bisa dituntun dan diberi roda kecil bantuan di bagian belakang, untuk sejenak sekedar melatih keseimbangan. Namun, alangkah baiknya bila ia langsung mencoba sejengkal demi sejengkal, selangkah demi selangkah mengayuh, terjatuh, bangun, terjatuh, bangun lagi dan seterusnya.

Andai saja, saat pertama kali mengayuh sepeda dan terjatuh, lantas kamu kapok, trauma dan takut, khawatir nanti jatuh lagi, niscaya Kamu tidak akan bisa naik sepeda selamanya. Namun, kamu sadar, bahwa dalam berlatih naik sepeda, terjatuh sekali dua kali itu wajar. Bahkan, seorang juara pembalap sepeda motor pun pernah merasakan sakitnya terjatuh. Begitu pula dengan menulis. Bisa jadi, di awal permulaan kita seperti terhuyung-huyung berjalan, tidak tentu arah dan alurnya, tidak jelas. Yang pasti kamu tidak peduli dan terus saja menulis, hingga puluhan, ratusan bahkan ribuan kata tertulis, hinga lelah tangan menuliskan, sementara teko otak enggan untuk berhenti mengalirkan kata-kata, harus segera dituangkan ke dalam cangkir putih menawan. Seorang penulis hebat sekalipun, pada awalnya juga terlahir sebagai amatiran dan pemula. Bahkan, saat seorang penulis hebat sedang dalam masa emasnya, bisa jadi ia pernah mengalami hal serupa.   

Sebenarnya, saat hendak menulis ini, saya sendiri tidak terlalu menganggap penting, harus mulai dari mana dan apa kata pertama yang harus saya tulis. Yang terpenting adalah saya harus menulis, dan topik dan misi dari tulisan saya bisa sampai pada pembaca. Lihat saja alur tulisan ini. biasa saja, mengalir apa adanya, bagi air dari hulu bengawan Solo menuju Ujung Pangkah hilirnya. Juga tidak terlalu penting, tulisan saya menarik atau tidak, diksinya salah atau benar, enak dibaca atau tidak, sesuai dengan tata aturan bahasa Indonesia yang baik dan benar atau tidak. Saat mulai menulis, tulis saja sesuatu yang ingin disampaikan dan apa misi tujuan tulisan kamu. Tujuan tidak harus sesuatu yang penting dan besar. Hal yang kecil dan sederhana cukup untuk sebuah misi tulisan. Sebab, soal diksi dan tata aturan bahasa bisa dipoles saat proses editing, koreksi dan penyelarasan bahasa, saat tulisan telah rampung.

Suatu saat, ada saja ide yang masuk, bahkan banyak bertebaran di otak kita. Bila kita menunda untuk menuliskannya, dan katanya akan ditulis nanti. Dalihnya, masih dalam proses perangkaian sistematika kata dalam otak, belum matang untuk dituangkan. Yang terjadi, kemungkinan, tulisan itu akan benar-benar dituliskannya rampung, setelah diendapkan dan dimasaknya dalam otak, lantas dituliskan out-linenya dalam scarik kertas atau di layar hape. Tapi, tidak menutup kemungkinan, ide bagus dan luar biasa itu akan sirna ditelan waktu, hilang percuma, sia-sia. Sebab nanti lain waktu bisa jadi tidak ada kesempaan untuk menulis. Setiap kesempatan ada momennya tersendiri. Setiap waktu, bisa jadi banyak ide bertebaran, lalu lalang berlarian, mengantre untuk dituliskan.

Karena itulah, tidak perlu bingung mau menulis dari mana dan dengan kata pertama apa? Tuliskan saja apa yang ingin kamu tulis, apa saja. Sekarang menulislah!

Cirebon, 10/09/2015

Thursday, September 10, 2015

Penyetaraan Ijazah LIPIA dan Luar Negeri

Mukaddimah

Bisa kuliah di kampus luar negeri merupakan nikmat dan kesempatan yang amat berharga, tidak semua orang bisa mendapatkannya. Apalagi bila berbeasiswa, gratis uang pendidikan dan diktatnya, plus dapat uang saku bulanan. Ya, memang, (ke)banyak(an) kampus di luar negeri, baik di Eropa, Australia, Amerika, Asia, Arab Timteng, memberikan beasiswa, alias kuliah dengan free (majanan), tanpa uang sepeserpun, khususnya timur tengah.  Semoga negeri ini makin sejahtera, terbebas dari lilitan hutang dan bayang-bayang antek asing, dan dipimpin oleh yang adil, beradab dan bijaksana, bukan hanya bijak sini. Sehingga, seluruh bea pendidikan dan institusi kesehatan bisa gratis, khususnya bagi warga miskin. Ämïn.

Sebut saja misalnya Al-Azhar University Kairo Mesir memberikan banyak beasiswa untuk mahasiswa luar negeri dari dana wakaf, katanya hanya untuk jurusan keagamaan saja, sementara kedokteran dlsb berbayar. Di seluruh Universitas di Saudi Arabia, yang saya dengar gratis semua, dan mendapatkan uang saku. Dana berasal dari kas negara yang katanya kebanyakan dari hasil minyak, dan mungkin dari pariwisata. Mekkah-Madinah magnet umat Islam seluruh dunia. Ya, beasiswa tak didapat oleh semua. Fa-bi ayyi äläi rabbikumä tukadzdzibän. "Nikmat mana lagi yang kalian berdua (hai jin dan manusia) dustakan?! (QS ar Rahmän). Banyak alumni SMA/Aliyah yang memimpikannya, paling tidak, konon kuliah di luar negeri itu menaikkan grade prestise diri, katanya.hehe Padahal sih, biasa saja.

Adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), satu dari sederet kampus yang memberikan beasiswa itu. Selain buku biaya studi, buku diktat, uang gedung, fasilitas perpus, mahasiswa juga memperoleh uang saku bulanan, meski tak seberapa. Kampus ini meskipun berdiri di atas tanah air Indonesia, bumi Nusantara, dimana saat ini masih ngontrak di sebuah gedung kaca biru tua di jalan Buncit Raya Ragunan (seberang Pejaten Village), namun dianggap sebagai kampus luar negeri.

Kampus tersebut merupakan cabang dari Universitas Islam el-Imam Muhammad Bin Saud di Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia. Sehingga ijazah (strata satu fakultas Syariah) yang diterbitkannya dianggap ijazah luar negeri yang diharuskan untuk dilakukan penyetaraan di institusi negeri ini. Memang, katanya, sudah ada penyetaraan ijazah S1 LIPIA dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat, namun secara individual, mahasiswa alumni harus mengupayakannya sendiri untuk mendapatkan Surat Penyetaraan ijazah. Tentunya, sebagai mahasiswa sangat bersyukur bila seandainya proses ini tidak perlu dilakukan, dan cukup kampus yang membereskannya. Tapi bagaimana lagi, kenyataannya tidak begitu.hehehe

Untuk Apa Disetarakan?

Sebenarnya, tulisan ini dibuat karena pesanan seorang kawan penulis (ini saya yang penulis atau kawan saya yang penulis?hehe) seangkatan di LIPIA, Denis Arifandi (nama penanya DA Pakih Sati), meskipun sebenarnya sudah lama saya sendiri ingin menuliskannya. Tapi ragu, untuk apa dituliskan dan apa pula gunanya ijazah ini disetarakan? Toh, mau ngisi kajian di majelis taklim, di sekolah Islam, jadi khatib, berbisnis, apalagi menulis, tidak diperlukan selembar ijazah, apalagi SK yudisium. Ya toh! Kecuali bila mau lanjutkan studi formal di S2 dan S3.

Meskipun demikian, zaman sudah berubah, berbeda. Kita berada di zaman yang serba birokratis dan formalitas, zaman tulisan, zaman kertas, dimana selembar kertas menjadi begitu penting. Apapun harus ditulis dan dibuktikan dengan selembar kertas, tak terkecuali ijazah. Terkait dengan ijazah yang dikeluarkan luar negeri ada kebijakan regulasi, dimana semua ijazah terbitan luar negeri, bila mau dianggap sah untuk dipergunakan di dalam negeri harus disetarakan terlebih dahulu. Penggunaan itu misalnya untuk daftar PNS, kelengkapan berkas sertifikasi, daftar S2 dalam negeri, dlsb.
Sebenarnya, penyetaraan ijazah ini bukan suatu keharusan. Tapi sebatas kebutuhan dan hak pemegang ijazah luar negeri, agar ijazahnya teregistrasi di dinas pemerintahan dan diakui oleh institusi-institusi di dalam negeri, baik institusi pendidikan, maupun profesi. Artinya, kalau seorang alumni PTLN (Perguruan Tinggi Luar Negeri) ingin bekerja di luar negeri, penyetaraan ini tidak terlalu penting, tampaknya.

Lantas, Kemana Mengurusnya?

Berdasarkan pengalaman pribadi penulis mengurus ijazah sendiri sekitar tahun 2011 dan sebelumnya sekitar tahun 2009 juga sempat diminta bantuan oleh senior, ini diurus di kantor pusat Kementrian Agama. Nama ruangnya lupa saya, tapi kalau sudah berada di lantai 7 atau 8, bisa ditanyakan di sana.
Selain LIPIA, tampaknya alumni kampus-kampus Islam di Timur Tengah juga ada mengurus di ruang itu. Saat mengurus ijazah saya, tampak beberapa ijazah alumni al-Azhar Mesir, Libia, Sudan, Suria, dlsb. Ada sedikit catatan tidak begitu penting, bila dalam ijazah Strata Satu alumni al-Azhar terlulis titel "License" (Lc), di ijazah alumni LIPIA tertulis titel " Bachelor" (Bakalorius). Saya sendiri belum begitu ngeh, apa bedanya? Namun, entah kenapa pada nama-nama alumni LIPIA diberi titel Lc. Ya, mungkin karena wes kadung (sudah terlanjur begitu terkenalnya. Seakan, semua alumni S1 timteng bertitel Lc. Entahlah.hehehe

Kembali ke topik ya. Udah oot nih. Oya, beberapa waktu lalu, ada seorang kawan di kampus pascasarjana, alumni Universitas Al-Azhar Mesir, yang punya info berbeda yang juga based on pengalaman. Katanya, ia mengurus penyetaraan ijazahnya di dikti, di bawah Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Info serupa juga saya dapatkan dari kawan alumni LIPIA, ia mengurus penyetaraan ijazahnya di dikti. Katanya prosesnya lebih cepat, 2-7 hari kerja.

Setelah saya googling terkait info tersebut, ternyata benar, bahwa selain di kemenag, penyetaraan ijzah luar negeri juga bisa di dikti Kemendiknas, selengkapnya bisa dibaca di ijazahluarnegeri.dikti. (untuk kepastiannya, googling sendiri ya!).

Bagaimana Prosedurnya?

A. Di Kemenag
Sebenarnya, dengan kita datang langsung ke kantor Kemenag di jalan Lapangan Banteng lt. 7 akan dijelaskan prosedur teknisnya. Kita akan diberi selembar kertas kecil berisi syarat-syaratnya, bila tidak diberi bisa minta. Namun, ada baiknya bila kita telah menyiapkan segala berkas yang dipersyaratkan sebelum ke sana, sehingga di sana tinggal menyerahkan berkas. Apalagi bila kita tidak lagi tinggal di DKI Jakarta.

Di antara berkas yang dipersyaratkan yaitu:

Pertama, Pas photo berwarna. Siapkan ukuran 3x4. Tidak ada salahnya jika kita juga menyiapkan yang 4x6. Berapa lembar banyaknya, ya, sebanyak-banyaknya, sekedar buat persiapan. Kalau kuatir gak muat dompetnya, bawa minimal 6 lembar.

Kedua, surat permohonan penyetaraan ijazah Perguruan Tinggi Islam luar negeri. Surat ini kita buat sendiri, bisa pakai tulisan tangan atau ketikan komputer, disertai tanda tangan.
Oya, bila kita tidak bisa datang sendiri mengurusnya, bisa menitipkan pengurusan ke teman atau kenalan kita (itu kalau dia mau dan tidak keberatan. Jangan lupa dikasih uang transport dan jasa, sebagai bentuk nyata dari manusia waras dan sadar, bersyukur). Bila nitip, jangan lupa buat SURAT KUASA kepada yang kita tunjuk sebagai penerima kuasa, disertai tanda tangan pemberi kuasa di atas materai 6 ribu (oya, harga materai di kantor pos biasanya Rp 7rb.).

Ketiga, foto copy ijazah SD-SMA atau sederajat yang sudah dilegalisir, sebanyak 7 (tujuh) rangkap. Dan jangan lupa bawa aslinya untuk diperlihatkan. Namun, berdasarkan pengalaman bantu menguruskan punya kawan pada awal Oktober 2015, untuk foto copy ijazah SD-SMA tidak dilegalisir pun diterima oleh petugas (Bpk Simon). Pun, ternyata, saat itu hanya diminta 2 (dua) rangkap.

Keempat, foto copy ijazah S1 luar negeri dan transkip nilai, beserta terjemahannya, dan jangan lupa bawa aselinya.

Untuk ijazah dan terjemahannya diperbanyak 7 lembar. Namun, saat Oktober 2015, saya hanya diminta 2 (dua) rangkap.
Untuk terjemahannya melalui penerjemah resmi atau yang mendapat stempel resmi dari kampus Anda. Untuk yang pertama, biasanya saya mengurusnya di Penerjemah Zen alHadi di Kramat Jati, perlembar sekitar Rp 50.000-75.000 (tampaknya, kita yang alumni kampus Arab pantas untuk menghandle soal ginian. Menurut info yang masuk ke telinga saya, setiap tahun, lembaga bahasa UI membuka pendaftaran ujian penerjemah resmi tersumpah. Ikutlah kita, agar bisa jadi penerjemah resmi). Hanya saja, sayangnya, menurut info resmi dari edaran penyelenggara, ujian tersebut hanya diperuntukkan bagi pemegang KTP DKI Jakarta. Alasannya, karena ini proyek kerjasama Pemda DKI dengan Universitas Indonesia. Ya, semoga nantinya bisa diperluas untuk seluruh warga Nusantara. Amiin.

Transkip nilai yang diterjemah dan diperbanyak adalah dari semester 1-8. Tapi, pengalaman pribadi, kita serahkan yang semester satu dan delapan pun bisa diterima. Lagi pula, kalau transkip seperti di LIPIA yang 8 lembar diterjemah semua, bisa habis banyak duit kita. Lain cerita bila langsung satu lembar untuk 8 semester.

Kelima, membayar biaya Rp 50.000 (dulu, sekitar th 2011). Dulu saya diminta uang segitu oleh petugas. Uang ini bukan biaya penyetaraan ijazah, tapi uang legalisir 10 rangkap setelah SK yudisium keluar.
Setelah diserahkan berkas tersebut, kita tanya petugas, kapan selesai dan bisa diambil. Waktu itu petugas menjelaskan bahwa sesuai dengan jadwal sidang yudisium yang dalam setahun dilakukan dua kali, dan kita akan diberi info soal ini. Dan, jangan lupa minta nomor telepon atau hape petugas.
Bila sudah tiba waktu yang dijanjikan, jangan lupa telpon petugas yang bersangkutan. Jangan menunggu info dari petugas.

B. Di Dikti Kemendiknas

Setelah membuka situs penyetaraan ijazah luar negeri di dikti, di sana disebutkan kalau pendaftaran bisa onlen dan pengurusan lebih cepat, tidak sampai 7 hari. Maka, saat diminta bantu uruskan penyetaraan ijazah LIPIA punya kawan, pada awal Oktober 2015 saya pun coba mengurusnya di sana.

Letak gedung dikti berada di sebelah barat menghadap bersebrangan dengan istora Senayan. Gedung ini sebenarnya masih di dalam pagar komplek Kemendiknas yang berdekatan dengan Ratu Plaza Jakarta Selatan. Setelah saya lewati bagian FO di pintu lobi gedung dikti, saya langsung diarahkan ke atas, bagian penyetaraan ijazah luar negeri, dan setelah ditanya petugas kalau saya sudah melakukan registrasi online. Karena petugas tidak mau terima tanpa register secara onlen terlebih dahulu dan lakukan janji datang secara online juga, deng bawa kertas berisi nomor dan jadwal yang kita print-out sendiri.

Sampai di sana, saya bertemu petugas. Saat itu petugasnya seorang ibu berusia 50 tahunan tak bertudung. Setelah baca kertas yang saya bawa, dia cek di komputernya yang online. Lantas dia minta ijazah aseli, transkip nilai aseli dan terjemahannya ke bahasa Inggris, serta paspor (berikut visanya) sebagai bukti bahwa nama yang bersangkutan pernah studi di luar negeri. Karena ijazah kawan saya dari LIPIA, dan sebagaimana mafhum bahwa proses perkuliahannya di dalam negeri (Jakarta), maka dikti tidak mengakui ijazah semacam itu. Dikti hanya mengakui ijazah luar negeri yang proses studinya dilakukan di luar negeri, dibuktikan dengan paspor dan visa. Begitu kata petugasnya.

Dengan demikian, untuk LIPIA, berdasarkan pengalaman itu, tidak bisa disetarakan di dikti-kemendikti, tapi ke Kemenag. Berbeda dengan yang proses perkuliahannya langsung dilakukan di Saudi Arabia, Mesir, Sudah, Malaysia, Qatar, Australia, Yaman, Amerika, Jerman, Perancis, dsb. dimana proses penyetaraannya lebih simpel dilakukan di dikti.

Kendatipun demikian, untuk alumni LIPIA ada kabar angin segar. Sejak Januari 2015, Program Studi Sarjana Ilmu Syariah LIPIA Jakarta sudah terakreditasi A oleh BAN-PT. Artinya, menurut sumber yang cukup bisa dipercaya, bahwa dengan menyertakan Foto Copy Sertifikat Akreditasi tersebut, ijazah Fakultas Syariah LIPIA sudah tidak harus peroleh SK Yudisium dari Kemenag, tentunya dengan tetap menyertakan terjemahan ijazah dan transkip nilainya. Syukur-syukur bila ke depan pihak rektorat kampus LIPIA berkenan untuk mengeluarkan ijazah dan transkip nilai versi bahasa Indonesia, serta permudah alumninya dalam proses legalisir ijazah. Semoga saja. Amiin.
Sekian, semoga bermanfaat.

Cirebon, 10 September 2015 dan diupdate 30 Nopember 2015

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...