Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan bersilaturrahim ke kediaman guru kami Prof. Dr. Chozin Nasuha di Arjawinangun-Cirebon, atas 'undangan' dadakan beliau via telp. Cukup panjang obrolan kami, dari jam 2an hingga jelang Maghrib, dipotong rehat shalat Ashar.
Rumah beliau yang pensiunan pns dosen di UIN Bandung ini terbilang sangat sederhana. Jabatan rektor isif, sebuah kampus swasta di Cirebon hingga saat ini tidak mengubah gaya hidup beliau yang terbilang sederhana. Profesor bidang tafsir al-Quran yang saat ini masih diberdayakan sebagai dosen di Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini, bila ke kampus masih sangat asyik dengan naik angkot, tak bermobil pribadi, dan tampaknya tak suka merepotkan orang lain.
Meski usia sudah sepuh, sudah beranak-cucu, tapi semangat dan jiwa beliau: masih muda. Penuh gairah perubahan dan 'anti' kemapanan. Istilah "kepruki" yang kerap muncul dari lisan beliau menjadi semacam ikon kritisisme yang mendarah daging dan mengejawantah dalam kelas2 yang beliau ampu atau forum seminar yang beliau narasumberi.
'Undangan' ini terkait urusan pribadi beliau yang akan berbesan dengan orang dari Deket, sebuah kecamatan di Lamongan. Ya, sebatas cari info ttg peta Lamongan. Kabarnya, beberapa waktu lagi beliau akan sulaturrahim ke sana. Setelah saya tanya, rombongan sama keluarga? Naik apa?
Beliau jawab, sendirian saja, naik kereta. "Ma syaAllah! Sesepuh ini. Sederhana sekali." Ucap saya dalam hati.
Selain tujuan utama, seperti biasa, kita ngobrol bebas, mulai dari yang ringan, hingga yang berat. Mulai soal desa tempat tinggal yang bersebelahan dengan Makam Sunan Drajat, hingga tentang problem relatifitas dan subjektifitas sejarah. Bahwa dari dulu, sejarah punya beragam versi. Ia akan (selalu) memihak pada penulis dan penguasa. Bahkan 'serat' (risalah) itu konon ditulis atas pesanan 'penguasa' kolonial.
Obrolan juga masih menyinggung problem formali(n)sasi, yang menyisakan marginalisasi kaum minoritas. Sebut saja umat Ahmadiyah di Manis Lor dan Agama Cigugur Kuningan yang terzhalimi oleh otoritasi penguasa setempat. Efek fatwa dan regulasi yang tidak toleran. Karena negara yang via undang2 yang hanya mengakui Islam "lurus", juga pembatasan agama, ternyata berdampak pada kezhaliman secara sipil, dimana karena aliran dan agama belum dapat "sertifikasi", akhirnya otoritas KUA setempat tidak mencatat peristiwa nikah, lahir, dsb, dan akhirnya akta/ surat nikah mereka sulit, bahkan tidak didapatkan. Padahal, dalam UUD 45 pasal 29 jelas menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk berkepercayaan. Toh, mereka juga berketuhanan YME. Selain itu, deklarasi negara Madinah sarat akan nilai toleransi. Bahkan, Islam menegaskan dalam "la ikraha fid diin", tak ada paksaan dalam beragama. Saat seseorang, individu tercatat sebagai warga negara, maka negara berkewajiban menunaikan haknya sebagai warga. Tak pandang apa agama dan kepercayaan yang dianutnya. Pemerintah tak berhak intervensi, mengarahkan, apalagi memaksakan soal ini. Sepanjang tidak mengganggu warga lain.
Selain itu, problem akademis-ilmiah (orientasi pendidikan) juga menjadi tema obrolan kami. Dewasa ini, insan 'akademis' sudah terseret pada industrialisasi dan matrialisme 'pendidikan'. Kampus dan sekolah tidak 'bervisi' mencetak insan akademis, tapi mencetak 'buruh', mesin industri modern. (Ke)banyak(an) siswa/ mahasiswa masuk dunia pendidikan hanya untuk selembar kertas ijasah, kejar sertifikat. Dunia pendidikan hanya untuk gaya-gayaan, menaikkan kelas sosial. Dan, kampus pun selaras, menjadi semacam mesin percetakan, institusi formalitas penerbit sertifikat, tidak lebih. Penelitian ilmiah, pengkajian, pengajian, dan kegiatan akademik lainnya, kalau ada, masih sebatas tuntutan formalitas, proyek dan penggugur kewajiban semata. Kampus/sekolah belum berperan sebagai lembaga yang membuat insan pembelajar, cinta membaca, menulis, meneliti, dsb. Telah d2an tengah terjadi disorientasi pendidikan. Indikasinya, di antaranya, munculnya istilah jurusan basah dan jurusan kering. Fakultas/jurusan 'tak menjanjikan masa depan' dunia modern (orientasi materi duniawi), ditinggalkan peminatnya.
Selain itu, di meja beliau ada sebuah buku berbahasa Arab yang beliau sarankan untuk diterjemah. Buku bertema pembaruan (lebih tepatnya: keterbaruan) ushul fikih ini merupakan sebuah disertasi doktoral di sebuah Universitas di Maroko (kalau tidak salah). Meskipun baru sebatas pengantar deskriptif dan hanya berisi pemaparkan sejarah ushul fikih, minim analisis kritis, pengembangan dan pencetusan hal baru, namun cukup lengkap dan layak diterjemahkan. Judul bukunya, lebih kurang, "Tathawwur Ushul Fiqh Wa Tajadduduhu..." (Perkembangan dan Keterbaruan Ushul Fikih). Tema ini masih lebih ringan dari yang beliau selama ini gaungkan, yaitu pembaruan Ushul Fikih, tajdid. Namun, ini bisa menjadi semacam pemantik, pengantar sebuah pintu, bahwa ushul fikih sebagai sebuah ilmu yang tidak 'mati', absolut, sebuah hasil ijtihad manusia (ulama) dan produk zaman. Ia bisa tumbuh dan berkembang, dan kondisi zaman bisa menjadi salah satu bahan atau faktor yang mempengaruhinya.
Sebenarnya masih ada satu-dua hal lainnya. Kita cukupkan dulu. Wallahu a'lam.
Dari sebuah bilik kecil di Kalikoa-Kedawung (Stadion Bima), 07/06/2015
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar