Tuesday, September 15, 2015

Relatifitas-Subyektifitas

Sebuah Renungan

Lembaran uang rupiah berwarna biru, bagi sebagian orang bisa dianggap besar, bisa buat makan sepekan. Bagi sebagian lain, duit gocap (50rb itu) sangat kecil tak begitu bernilai, hanya cukup untuk makan seporsi di resto langganannya.

Uang 50rb itu tentunya sangat kecil bila dibawa ke Mall. Uang segitu, ke mall belum dapat apa-apa. Namun, entah kenapa, bila dibawa ke masjid, berhadapan dengan kotak infak yang sedang lewat di depan mata, lah kok jadi besar. Bagi yang pelit seperti saya, begitu ceritanya. Tapi bagi Anda, duit 50rb bukan seberapa lah, sebab yang Anda bayangkan mau dapat tiket surga. Sebab, Anda biasa keluarkan uang kertas warna merah pecahan 100rb, cepek, dengan begitu ringannya, tinggal gesek, keluarlah.

Itu karena Anda hafal dan memahami betul sejumlah ayat sedekah dan infak, yang menyebut bahwa salah satu ciri orang yang bertakwa adalah menginfakkan sebagian rezekinya. Surat al-Baqarah ayat 3 misalnya. Kita garis bawahi kata SEBAGIAN. Mungkin, sebagian orang ada yang memahami itu adalah sebagian kecil. Namun tidak bagi Anda yang dermawan, akan memahaminya sebagai sebagian besar. Ya, ungkapannya mutlak, SeBaGiAn, bila tidak disertai kata kecil/besar, maka yang menafsirkan adalah hati dan pikiran sesuai dengan tingkat keimanan dan kedermawanan.

Nominal Rp 20.000/bulan dalam SPP anak di TPQ atau Madrasah Diniyah bagi sebagian orang tua dirasa besar. Padahal itu hanya cukup untuk rokok ayahnya sehari, ya sehari. Makan di kebanyakan warung dengan menu standar hanya dapat satu porsi. Meski begitu, tak jarang loh yang nunggak bayar uang SPP. Aneh kan? Padahal, itu uang yang diberikan untuk infak atau spp pengajian adalah untuk kebaikannya di akhirat, dan dunianya juga. Kelak, anak itu akan menjadi anak yang shalih, pandai mengaji, ilmu agama, berbakti dan berdoa. Setiap bacaan alQuran sang anak, otomatis kan terkirim pahalanya untuknya. Ilmu yang diamalkannya, doa yang dipanjatkannya dan baktinya kepada ortunya semasih hidupnya tak ternilai harganya. Berharap begitu? Jangankan 20rb/bulan, 100rb/bulan pun tak terasa, selayaknya buang air.

Ini berbeda saat berhadapan dengan bimbel jelang UAN, jutaan rupiah pun rela dikeluarkan ortu untuk bayar uang kursus, dengan harapan bisa lulus UAN atau masuk Universitas unggulan.

Untungnya, hiburan janji surga dan wejangan keikhlasan senantiasa dipegang oleh para guru ngaji. Andai tidak, TPQ dan pondok pesantren dengan nama "al-ikhlas" akan bubar ditelan zaman. Soal ikhlas, memang cukup aneh. Di saat guru-guru diminta ikhlas dalam mengajar, orang tua ternyata tidak ikhlas menyerahkan pendidikan anaknya. Semoga, keikhlasan tidak diidentikkan dengan mengajar tanpa gaji, atau mengajar dengan gaji rendah. Ikhlas urusan hati. Gaji urusan amplop yang diterima.

Semoga kita semua sadar. Amiin.

Catatan Tadarus Zhuhur
15 Ramadhan 1436 H

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentar

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...