Ada beberapa catatanku untuk Jumatan hari ini.
Pertama, Jum'atan hari ini, di masjid sebuah komplek dekat tempat tinggal (baca: singgah) mungkin sebagaimana hari-hari sebelumnya, dan di tempat-tempat lainnya, masjid mengalami kepadatan, hingga pihak takmir masjid menggelar tikar tambahan di luar masjid.
Kedua, artinya, secara kuantitas, jumlah umat Muslim Indonesia kian hari kian bertambah, khususnya melalui peningkatan angka kelahiran. Ini belum termasuk para wanita Muslimahnya.bNamun, hal ini tidak diimbangi dengan perluasan area masjid. Tapi ini wajar, mengingat keterbatasan lahan, dan di luar Jumatan, yang berjamaah di masjid hanya beberapa baris saja.
Ketiga, peningkatan kuantitas ini bisa kita syukuri. Namun, tidak kalah pentingnya dari itu adalah peningkatan kualitas keberislaman, perbaikan mental-akhlak dan tradisi pembelajaran dan pendidikan. Ini bisa di lihat sepintas, misalnya seperti yang tadi saya lihat, tepat di depanku dan anakku duduk di barisan kedua (artinya, mereka di shaf pertama), tiga orang tua sebaya berusia 60an, masih asyik mengobrol sementara khatib begitu asyik dan luar biasa bersemangatnya dalam menyampaikan khutbahnya. Padahal ini hal yang bisa dikatan sebagai yang mafhum minaddin bidh dharurah, satu hal keagamaan yang seharusnya sudah diketahui masyarakat awam, bahwa berbicara saat khutbah membatalkan jumat itu sendiri, sia-sia. Tindakan mengingatkan mereka saat itu jelas juga terlarang. Sehingga..
Keemat, sepatutnya, sebelum khatib naik mimbar, pihak pengurus takmir masjid memberikan peringatan, dengan membacakan hadis riwayat Abu Hurairah ra yang teramat masyhur tentang urgensi menyimak khutbah dan akibatnya bila berbicara saat itu, berikut dengan artinya dalam bahasa setempat yang dipahami seluruh jamaah. Bila upaya ini telah dilakukan, namun tetap ada yang berbicara, biasalah yang namanya orang banyak. Yang terpenting, dari sekian banyak jamaah, pasti ada satu dua dan bahkan mayoritas mengindahkannya dan mengambil manfaatnya. Peringatan ini dianggap penting, karena manuasia punya sifat lupa.
Kelima, selain itu, semestinya, masjid dimaksimalkan dengan kegiatan-kegiatan pembinaan dan pendidikan masyarakat, khususnya terkait ilmu keislaman, baik yang bersifat vertikal ataupun horizontal. Sayang sekali bila sebuah masjid yang indah dan megah, namun tidak dimanfaatkan untuk pendidikan, pengajian dan kajian dalam rangka peningkatan kualitas keberislaman dan keilmuan para jamaah. Kajian bisa secara intensif seperti TPQ untuk anak-anak kecil, madrasah diniyah untuk remaja dan pengajian kitab untuk para orang tua/ dewasa.
Keenam, sebuah masjid, dikatakan nyaman bukan karena kemegahannya, namun juga bisa membuat betah para jamaah untuk berlama-lama di sana. Selain kebersihan dijaga dan ketertibannya, tempat wudhunya, seharya toilet dan kamar mandi yang bersih dan menadahi pun harus diperhatikan. Tidak elegan kan bila sebelum shalat atau ketika sedang i'tikaf di masjid, tiba-tiba pengen buang air, para jamaah kebingungan mencari tempat buang air kotornya. Akhirnya, masjid lain pun jadi pelariannya.
Ketujuh, kualitas khatib cukup segnifikan dalam pengaruhi suasana jamaah di tengah khutbah. Bila khatib pandai berorasi dan sampaikan khutbahnya, 30 menit pun tak terasa lama dan minim sekali yang tertidur. Antusiasme jamaah tergugah oleh indahnya khutbah, sayang bila terlewatkan percuma.
Kedelapan, masjid pun perlu menyediakan sebuah perpustakaan, minimal ada satu-dua rak berisi buku yang bergizi. Syukur-syukur bila dibuatkan satu ruangan khusus untuk perpustakaan yang nyaman bagi para jamaah untuk peningkatan kualitas keilmuannya.
#selamatMenunaikanIbadah
Cirebon, 11/06/2015
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar