Wajah Alam Kini
"Telah tampak kerusakan di muka bumi ini, darat dan laut, akibat ulah tangan jahil manusia." (Qur'an)
Gambar ini ingatkanku perjalanan sore tadi, terlepas benar-tidaknya isinya, bagaimana arah tujuan pengunggahnya dan sikap afiliasi politiknya. Gambar saya culik hanya sebatas sebagai permisalan untuk ilustrasi belaka.
Ya, sore ini, saya bersama istri jalan-jalan ke rumah seorang kawan di sebuah desa di Cirebon, tepatnya di desa Kedung Jaya, kecamatan Kedawung. Sayangnya, lupa nama blok/ kampungnya.
Melewati jalan Sultan Ageng Tirtayasa, dari arah Sumber ke Kedawung, di kanan kiri jalan raya tampak sawah dan kebun masih ada yang terbentang. Meski kebanyakan, sawah-ladang itu tidak lagi ditanami padi ataupun jagung, tapi telah berganti beton dan bebatuan, perumahan, mulai dari kelas menengah hingga cluster cukup mewah begitu subur menjamur. Tampaknya, itu lebih menjanjikan bagi kantong dan perut, daripada padi yang habiskan dana jutaan untuk penggarapan, pupuk dan perawatan, sementara untung belum tentu didapat, dan rugi di depan mata membayang.
Di bilangan jalan itu, tampak kantor Imigrasi Cirebon berdiri gagah. Hilir-mudik, para pengguna jalan ramai, entah apa yang dikejar. Sore itu, jalanan cukup ramai, jelang malam Ahad, begitu biasanya muda-mudi keluar dari sarang, jalan-jalan membunuh kegalauan pekan.
Dan, mari sebentar Kawan, kita menuju ke arah utara, beberapa ratus meter dari sana. Saat tiba di sebuah desa, Kedung Jaya namanya, di depan sebuah perumahan (timur jalan raya) beloklah ke kiri (barat), memasuki gang besar, muatlah satu mobil.
Tak jauh, motorku melenggang ke dalam perkampungan, aroma asing begitu kuat menusuk-nusuk hidung tak tertahankan. Kukira, dari kanan kiri jalan ada beberapa kandang ayam milik warga, memang. Namun, saat melewati sebuah jembatan yang cukup besar, tersadarlah kami, bahwa sumber aroma yang amat kejam itu dari bawah kami. Tumpukan sampah beraneka jenis itu menggunung memenuhi sungai yang sebenarnya cukup lebar. Namun, air tak jua tampak mengalir darinya.
Sungai yang terbentang malang selatan-utara itu terhambat aliran airnya oleh gunungan sampah. Entah berapa lama timbunan itu mengendap, hingga hidung pun tak lagi kuat menahan, meski kami berjalan dengan motor. Tak terbayangkan bila kami berhenti, turun dari motor untuk sekedar mengambil gambar, satu dua jepretan. Karena hidung tak lagi kuat menahan, bau busuk yang ingatkanku pada timbunan sampah yang bercampur air dan lama-lama tak diangkut. Anehnya, dan ini nyata, para warga sekitar sungai kok bisa kuat berlama-tinggal di sana?! Nyaman dengan kondisi yang begitu mengenaskan? Bagaimana suasana sarapan, makan siang dan makan malamnya? Apa mungkin hidung mereka, dan kepedulian mereka, telah tertutupi oleh masker apatisme dan kebiasan? Sehingga sensitiftas pun redup, terabaikan begitu saja?
Begitulah kondisi sungai itu. Sungai itu, berdasar hasil browsing internet, diperoleh info, namanya sungai Kedung Pane, satu dari empat sungai di Cirebon. Saat musim kemarau melanda, dan hujan belumlah turun menyapa alam sana. Sampah itu bisa jadi berakibat banjir bila hujan tiba, karena sungai tak lagi ramah dengan aliran air. Seorang kawan yang tinggal di sekitar situ sejak setahun yang lalu mengaku. Tampaknya, karena belum ada kesadaran dari warga sekitar. Ujar kawan saya.
Lantas, kira-kira, bisa tidak sungai itu alirkan air lagi, dan menjadi ruang bergerak para ikan dan anak-anak penghuni kampung?? Tentunya sangat mungkin, bila masyarakat sadar akan kebersihan dan kesehatan lingkungannya, dan tidak lagi apatis dan abai. Juga bila gerakan masyarakat dan pemerintah setempat diaktifkan. Apalagi disokong oleh aktifis LSM, pemuda karang taruna, ipnu-ippnu, Anshar, ketua rt, rw, aparat desa, serta kecamatan. Kalau perlu, bupati ikut turun tangan.
Bila main ke Cirebon, mainlah ke sana, Anda bisa buktikan sendiri, betapa anyirnya dan nestapanya kali itu. Wallahu a'lam.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar