Seorang kawan bilang bahwa ia sebenarnya pengen sekali menulis. Hanya saja, setiap kali hendak menulis, jari-jemarinya berhenti, alur logikanya tersendat, macet. Ia tak tahu harus memulai dari mana, bingung mau nulis apa, apa kata pertama yang harus ditulisnya untuk memulai paragrafnya.
Mungkin kamu pernah mengalami hal serupa. Belum sempat menuliskan satu kata, sudah khawatir nanti tulisan saya tidak menarik, diksi pilihan katanya salah dan tidak enak dibaca. Kuatir tulisan saya nanti tidak sesuai dengan EYD, dan sederet kekhawatiran dan ketakutan lainnya. Maunya yang sempurna tulisannya. Padahal, kesempurnaan hanya milik Allah swt. Tak ada tulisan yang benar-benar sempurna, kecuali Kalam Allah dan Rasul-Nya.
Bagaimana mau nulis, belum apa-apa sudah kuatir dan takut duluan. Ibarat seorang anak yang hendak belajar naik sepeda. Ia harus berani untuk memegang setir, menginjak perdal dan mengayuh. Bisa jadi, sebagai permulaan ia bisa dituntun dan diberi roda kecil bantuan di bagian belakang, untuk sejenak sekedar melatih keseimbangan. Namun, alangkah baiknya bila ia langsung mencoba sejengkal demi sejengkal, selangkah demi selangkah mengayuh, terjatuh, bangun, terjatuh, bangun lagi dan seterusnya.
Andai saja, saat pertama kali mengayuh sepeda dan terjatuh, lantas kamu kapok, trauma dan takut, khawatir nanti jatuh lagi, niscaya Kamu tidak akan bisa naik sepeda selamanya. Namun, kamu sadar, bahwa dalam berlatih naik sepeda, terjatuh sekali dua kali itu wajar. Bahkan, seorang juara pembalap sepeda motor pun pernah merasakan sakitnya terjatuh. Begitu pula dengan menulis. Bisa jadi, di awal permulaan kita seperti terhuyung-huyung berjalan, tidak tentu arah dan alurnya, tidak jelas. Yang pasti kamu tidak peduli dan terus saja menulis, hingga puluhan, ratusan bahkan ribuan kata tertulis, hinga lelah tangan menuliskan, sementara teko otak enggan untuk berhenti mengalirkan kata-kata, harus segera dituangkan ke dalam cangkir putih menawan. Seorang penulis hebat sekalipun, pada awalnya juga terlahir sebagai amatiran dan pemula. Bahkan, saat seorang penulis hebat sedang dalam masa emasnya, bisa jadi ia pernah mengalami hal serupa.
Sebenarnya, saat hendak menulis ini, saya sendiri tidak terlalu menganggap penting, harus mulai dari mana dan apa kata pertama yang harus saya tulis. Yang terpenting adalah saya harus menulis, dan topik dan misi dari tulisan saya bisa sampai pada pembaca. Lihat saja alur tulisan ini. biasa saja, mengalir apa adanya, bagi air dari hulu bengawan Solo menuju Ujung Pangkah hilirnya. Juga tidak terlalu penting, tulisan saya menarik atau tidak, diksinya salah atau benar, enak dibaca atau tidak, sesuai dengan tata aturan bahasa Indonesia yang baik dan benar atau tidak. Saat mulai menulis, tulis saja sesuatu yang ingin disampaikan dan apa misi tujuan tulisan kamu. Tujuan tidak harus sesuatu yang penting dan besar. Hal yang kecil dan sederhana cukup untuk sebuah misi tulisan. Sebab, soal diksi dan tata aturan bahasa bisa dipoles saat proses editing, koreksi dan penyelarasan bahasa, saat tulisan telah rampung.
Suatu saat, ada saja ide yang masuk, bahkan banyak bertebaran di otak kita. Bila kita menunda untuk menuliskannya, dan katanya akan ditulis nanti. Dalihnya, masih dalam proses perangkaian sistematika kata dalam otak, belum matang untuk dituangkan. Yang terjadi, kemungkinan, tulisan itu akan benar-benar dituliskannya rampung, setelah diendapkan dan dimasaknya dalam otak, lantas dituliskan out-linenya dalam scarik kertas atau di layar hape. Tapi, tidak menutup kemungkinan, ide bagus dan luar biasa itu akan sirna ditelan waktu, hilang percuma, sia-sia. Sebab nanti lain waktu bisa jadi tidak ada kesempaan untuk menulis. Setiap kesempatan ada momennya tersendiri. Setiap waktu, bisa jadi banyak ide bertebaran, lalu lalang berlarian, mengantre untuk dituliskan.
Karena itulah, tidak perlu bingung mau menulis dari mana dan dengan kata pertama apa? Tuliskan saja apa yang ingin kamu tulis, apa saja. Sekarang menulislah!
Cirebon, 10/09/2015
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar