Guru: Cinta dan Panggilan Jiwa
oleh Masyhari
Paul Suparno, dalam bukunya "Menjadi Guru Demokratis di Era Reformasi Pendidikan (MGDdERP)", menulis bahwa 'profesi' guru adalah berdasar panggilan jiwa. Ini yang mendorong adanya rasa ikhlas dalam hati. Melaku tanpa pamrih, hanya ingin berbagi, memberi, tak harap kembali. Karena jiwanya terpanggil untuk bergerak dan merasa bertanggung jawab atas orang lain di sekitarnya.
Mustahil, seorang guru akan melakukan 'tugas' mulianya dengan ringan tangan dan penuh ceria, bila tak ada panggilan jiwa, rasa tanggung jawab pribadinya, sebagai makhluk sosial, menjadi insan yang bermanfaat bagi sesama. Itulah bagian dari tujuannya. Ia yakin bahwa "berbagi" kebaikan adalah bagian dari sifat insan terbaik, khairunnas. Berbagi menjadi kebutuhannya. Inilah pengabdian itu.
Tentunya, panggilan jiwa ini akan memperkuat rasa cintanya terhadap aktifitas kependidikan, cinta terhadap ilmu pengetahuan, cinta pada siswa, cinta pada sesama guru, cinta pada sarana pendidikan, cinta pada buku, dan lain sebagainya.
Bagi seorang siswa, cinta akan menumbuhkan semangat belajarnya. Cinta itu bisa ditumbuhkembangkan di antaranya dengan memberikan pengertian dan penyadaran urgensi ilmu yang akan dipelajarinya. Bila ilmu diibaratkan sebagai makanan atau hidangan, maka belajar itu bisa diibaratkan dengan menyantap dan melahapnya (konsumsi). Bayangkan, bila seseorang dihidangkan makanan yang tidak disukainya, apa dia akan bergairah, bernafsu untuk menyantapnya? Alih-alih bisa masuk ke perut dan bergizi baginya, yang ada perutnya akan mulas dan kembali dimuntahkannya. Karena itu, menanamkan benih cinta, menyiram, memupuk dan merawat pohon cinta merupakan tugas utama, hal penting yang harus dilakukan seorang guru, sebelum melangkah pada tahapan lebih jauh.
Di antara yang bisa menumbuhkan cinta siswa dan gairah belajarnya yaitu ia mengetahui urgensi, segnifikansi dan kegunaan ilmu yang dipelajarinya. Bagi seorang mahasiswa fakultas Syariah, misalnya, bahasa Arab merupakan hal utama yang tidak bisa tidak dikuasainya, tanpa mengesampingkan bahasa lainnya. Bahasa Arab merupakan modal utama baginya. Mayoritas referensi utama hukum Islam berbahasa Arab; Al-Qur'an, As-Sunnah, kitab-kitab babon lainnya. Selain itu, penguasaan terhadap bahasa Inggris dan bahasa dunia internasional lainnya juga penting agar bisa membuka referensi bahan perbandingan, pengayaan dan bisa go internasional. Pun juga dengan bahasa lokal, setempat. Agar ia mampu mengkawinkan antara teks dengan realitas konteks, mampu menyelaraskan antara yang tersurat dan tersirat dengan kondisi dan transformasi zaman.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya untuk menumbuhkan cinta belajar pada ilmu adalah sosok gurunya. Betapa banyak, rasa cinta siswa terhadap ilmu atau bidang studi tertentu akan muncul dan redup, naik dan turun, seiring dengan guru yang mengampu bidang studi tersebut. Karena itu, sebagai guru, langkah awal yang dilakukan adalah berupaya dan berusaha agar menjadi guru yang dicintai siswa, syukur-syukur menjadi guru favorit. Kehadiran kita di kelas senantiasa ditunggu siswa.
"Kapan ya hari senin lagi, biar segera belajar fisika (misalnya). Asyik tahu, belajar sama Bapak guru A."
Menyenangkan bukan? Bila siswa kita demikian merindukan kehadiran kita.
Bila sebaliknya, kita tidak menyenangkan, tidak "menggairahkan" siswa, bahkan killer, enggan tersenyum dan apatis terhadap siswa kita, maka bukan hanya kita tidak dicintai siswa, tapi ilmu atau bidang studi pun menjadi korbannya. Dan, siapa lagi yang paling bertanggung jawab atas ini semua, kalau bukan kita.
Itu semua karena siswa adalah manusia. Dan, manusia itu ingin cinta dan mencintai, ingin dihargai dan diapresiasi. Bila sekecilpun karya dan kreatifitasnya diapresiasi, ia akan semakin bersemangat. Sebab itu, kita harus menjadi manusia dan memahami karakter manusia. Meminjam istilah Munif Chatib, yaitu menjadi gurunya manusia. Sekian. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam..
Dari sebuah bilik kecil di dekat Stadion Bima Cirebon, 9/06/2015
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar