Monday, March 9, 2015

Aku Tidak Tahu

Yuk Kita Cari Tahu

Beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan pertanyaan dari seorang kawan yang berasal dari Tana Toraja, sebuah kabupaten di Indonesia Timur dengan pemeluk Islam minoritas (hanya sekitar 12 %). Sebut saja namanya Aina (bukan nama sebenarnya). Nama aslinya......?! kepo banget sih! Mau tahu aja atau mau tahu banget? hehe). Dia pemeluk Islam sedari kecil. Sementara itu, ibunya seorang muallaf dan sebagian dari keluarga besarnya non-Muslim.

Kawan ini kerap bertanya-tanya dalam dirinya sendiri. Terkadang, ia juga ditanya oleh orang-orang terdekatnya, yang non Muslim. Pertanyaan-pertanyaan ini kerap muncul di kepalanya, dan menggangu pikirannya, meskipun ia sendiri terkadang berupaya menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan itu. Pasalnya, dia belum menemukan orang yang berkenan dengan pertanyaannya. Termasuk kawan-kawannya, bahkan yang Muslim sekalipun. Alih-alih menanggapi dan menjawab pertanyaannya, mereka kerap menganggapnya orang ‘aneh’, kurang waras, kerasukan jin, sehingga disuruh diruqyah. Bahkan, seorang kawannya menyarankannya banyak beristigfar, mohon ampun, barangkali atas pertanyaan-pertanyaan “nyleneh”nya itu. Beberapa waktu yang lalu, pertanyaan tersebut disampaikannya padaku. Tahukah Anda apa pertanyaannya? Wajarkah pertanyaannya? Mari kita simak dan cermati pertanyaannya berikut ini. Oh ya, menurutnya, pertanyaan ini baru prolog. Masih ada beberapa pertanyaan lainnya yang siap diluncurkan.

Pertanyaan tersebut yaitu: pertama, mengapa kita harus shalat? kedua, mengapa shalat harus 5 kali sehari? Ketiga, mengapa formasinya harus 2, 4, 4, 3, 4, bukan yang lain?Keempat, mengapa ada berdiri, rukuk dan sujud, apa makna gerakan shalat dan bacaannya?

Menurutku, pertanyaannya masih dalam batas kewajaran, alamiah dan sangat bisa dimaklumi. Ini adalah pertanyaan penting, filosofis dan esensial dalam beragama. Sebagai manusia yang dikaruniakan akal, wajar bila mempertanyakan hal-hal esensial seperti itu. Mengapa dan untuk apa? Mungkin, lebih halus lagi, apa hikmahnya? Pertanyaan ini malah bisa menjadi inspirasi untuk membuat sebuah buku. Bahkan, dalam menulis karya ilmiah, semisal skipsi, tesis, disertasi, dsb harus dimulai dengan rumusan masalah yang berupa pertanyaan.

Sebagai orang tua (ortu, maksudnya) dan pernah mencicipi menjadi guru, aku juga kerap mendapatkan pertanyaan serupa dari anak-anakku, dan bisa jadi Anda juga pernah mendapatkan pertanyaan yang sama dari anak-anak atau murid-murid. Seorang ibu, tetangga di Jakarta suatu ketika pernah dibuat bingung oleh pertanyaan anaknya:
“Mengapa rambutku kalau dicukur tumbuh lagi?”
"Allah itu dimana sih bu?”
“Mengapa kita ini dan mengapa harus begitu?", dan lain sebagainya.

Saat ditanya demikian, sebagai orang tua, guru atau orang yang lebih senior tentu tidak sepantasnya mencibirnya dan melabelinya macam-macam, padahal sejatinya hanya sebagai alibi untuk menutupi ketidaktahuan dan ketidakmampuan kita untuk menjawabnya. Bisa jadi, sebagian dari kita terperanjat, lantas mengatakan, “Oh, aku kaget! Astagfirullah nak, istighfar, tobat, tobat.”

Kita semestinya berupaya menjelaskan kepada anak kita dengan penjelasan yang gamblang dan tentunya sesuai dengan kapasitas anak-anak, dengan bahasa dan nalar logika yang mudah dicerna mereka. Cibiran dan penghentian anak dari pertanyaan menimbulkan efek yang tidak positif bagi masa depan anak. Anak akan enggan dan tidak berani bertanya. Sementara pertanyaan adalah bagian dari kunci ilmu pengetahuan. Rasa dan sikap kritis pada anak pun lambat-laun akan pudar. Andai pun kita belum tahu atau masih shock. Kita bisa mengatakan “oh, ayah belum tahu, nak. Besok kita cari bersama-sama, yuk!

Malu?

Mengapa harus malu? Tidak alasan untuk malu. Siapa kita? Alim bukan, kiyai bukan, ustadz juga bukan. Lantas, kenapa harus malu, jika memang tidak tahu. Malu itu baik, tapi jika pada tempatnya. Bahkan, sebagaimana dilansir oleh Imam An-Nawawi (wafat 676 H/1278 M) dalam Adab Al-Fatwa(Darul Fikr, 1408: 15-16), sejumlah orang alim, para sahabat, imam Mazhab dalam Islam saja tidak malu mengatakan “tidak tahu”. 

Konon, Ibnu Abbas ra dan Muhammad bin ‘Ajlan pernah mengatakan, “Jika seorang alim lupa mengatakan “aku tidak tahu”, terancamlah nyawanya.” Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H/ 814 M) dan Abdussalam Sahnun (wafat 240 H/ 854 H) berkata, “Orang yang paling gegabah dalam mengeluarkan fatwa adalah yang paling sedikit ilmunya.” Apabila Muhammad bin Idris, alias Imam Asy-Syafi’i (150-204 H/ 767-820 M), ditanya dan belum bisa menjawab, beliau mengatakan, “Sampai aku tahu apakah aku harus diam ataukah menjawab.

Al-Atsram mengisahkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/ 780-855 M) sering mengatakan “aku tidak tahu”. Al-Haitsam bin Jamil suatu ketika pernah melihat Imam Malik (93-179 H/ 712-795 M) ditanya tentang 48 permasalahan, namun beliau hanya bisa menjawab 16 soal saja. Sementara 32 soal sisanya dijawab dengan “Aku tidak tahu.” Bahkan, di lain kesempatan Imam Malik ditanya 50 pertanyaan, dan tidak satu pun darinya beliau jawab, karena prinsip kehati-hatian dan kekhawatiran. Tatkala sang Imam menjawab “tidak tahu”, lantas ada yang berkata “Ah, ini masalah sepele, remeh-temeh dan mudah”, beliau pun marah dan mengatakan “tidak ada ilmu yang remeh.” 
Imam Asy-Syafi’i rh pernah berkata, “Aku tidak mengetahui seorangpun yang dikarunikan Allah metode berfatwa sebagaimana pada diri Sufyan bin Uyainah, namun pengetahuan itu malah yang membungkamnya dari berfatwa.”

Dan banyak sekali kisah para ulama lainnya. Ketika mereka mendapatkan pertanyaan yang belum diketahui jawabannya, mereka tidak malu mengatakan, “Aku tidak tahu.” Sebab, yang maha tahu segalanya hanya Allah subhanahu wata’ala. Tiada ilmu melainkan Allah-lah yang memberitahukannya pada kita. Semoga kita tidak termasuk orang yang gegabah. Oh ya, terkait tanggapan pertanyaan tersebut, rencananya akan ditulis pada kesempatan yang lain. Semoga diberikan kesempatan oleh Allah.[]

Cirebon, 05-07/03/2015

2 comments:

  1. Bagus, saya nunggu bukunya, Ustadz Masyhari.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih, Kang Ustadz Yanto. Doakan semoga segera ditulis dan rampung. Salam hangat.

    ReplyDelete

Jangan lupa komentar

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...