Yuk Kita Cari Tahu
Beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan pertanyaan dari seorang
kawan yang berasal dari Tana Toraja, sebuah kabupaten di Indonesia Timur dengan
pemeluk Islam minoritas (hanya sekitar 12 %). Sebut saja namanya Aina (bukan
nama sebenarnya). Nama aslinya......?! kepo banget sih! Mau
tahu aja atau mau tahu banget? hehe). Dia pemeluk Islam sedari kecil. Sementara
itu, ibunya seorang muallaf dan sebagian dari keluarga
besarnya non-Muslim.
Kawan ini kerap bertanya-tanya dalam dirinya sendiri. Terkadang,
ia juga ditanya oleh orang-orang terdekatnya, yang non Muslim.
Pertanyaan-pertanyaan ini kerap muncul di kepalanya, dan menggangu pikirannya,
meskipun ia sendiri terkadang berupaya menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan
itu. Pasalnya, dia belum menemukan orang yang berkenan dengan pertanyaannya.
Termasuk kawan-kawannya, bahkan yang Muslim sekalipun. Alih-alih menanggapi dan
menjawab pertanyaannya, mereka kerap menganggapnya orang ‘aneh’, kurang waras,
kerasukan jin, sehingga disuruh diruqyah. Bahkan, seorang kawannya
menyarankannya banyak beristigfar, mohon ampun, barangkali atas
pertanyaan-pertanyaan “nyleneh”nya itu. Beberapa waktu yang lalu, pertanyaan
tersebut disampaikannya padaku. Tahukah Anda apa pertanyaannya? Wajarkah
pertanyaannya? Mari kita simak dan cermati pertanyaannya berikut ini. Oh ya,
menurutnya, pertanyaan ini baru prolog. Masih ada beberapa pertanyaan lainnya
yang siap diluncurkan.
Pertanyaan tersebut yaitu: pertama, mengapa kita
harus shalat? kedua, mengapa shalat harus 5 kali sehari? Ketiga, mengapa
formasinya harus 2, 4, 4, 3, 4, bukan yang lain?Keempat, mengapa
ada berdiri, rukuk dan sujud, apa makna gerakan shalat dan bacaannya?
Menurutku, pertanyaannya masih dalam batas kewajaran, alamiah
dan sangat bisa dimaklumi. Ini adalah pertanyaan penting, filosofis dan
esensial dalam beragama. Sebagai manusia yang dikaruniakan akal, wajar bila
mempertanyakan hal-hal esensial seperti itu. Mengapa dan untuk apa? Mungkin,
lebih halus lagi, apa hikmahnya? Pertanyaan ini malah bisa menjadi inspirasi
untuk membuat sebuah buku. Bahkan, dalam menulis karya ilmiah, semisal skipsi,
tesis, disertasi, dsb harus dimulai dengan rumusan masalah yang berupa
pertanyaan.
Sebagai orang tua (ortu, maksudnya) dan pernah mencicipi menjadi
guru, aku juga kerap mendapatkan pertanyaan serupa dari anak-anakku, dan bisa
jadi Anda juga pernah mendapatkan pertanyaan yang sama dari anak-anak atau
murid-murid. Seorang ibu, tetangga di Jakarta suatu ketika pernah dibuat
bingung oleh pertanyaan anaknya:
“Mengapa rambutku kalau dicukur tumbuh lagi?”
"Allah itu dimana sih bu?”
“Mengapa kita ini dan mengapa harus begitu?", dan lain
sebagainya.
Saat ditanya demikian, sebagai orang tua, guru atau orang yang
lebih senior tentu tidak sepantasnya mencibirnya dan melabelinya macam-macam,
padahal sejatinya hanya sebagai alibi untuk menutupi ketidaktahuan dan
ketidakmampuan kita untuk menjawabnya. Bisa jadi, sebagian dari kita
terperanjat, lantas mengatakan, “Oh, aku kaget! Astagfirullah nak, istighfar,
tobat, tobat.”
Kita semestinya berupaya menjelaskan kepada anak kita dengan
penjelasan yang gamblang dan tentunya sesuai dengan kapasitas anak-anak, dengan
bahasa dan nalar logika yang mudah dicerna mereka. Cibiran dan penghentian anak
dari pertanyaan menimbulkan efek yang tidak positif bagi masa depan anak. Anak
akan enggan dan tidak berani bertanya. Sementara pertanyaan adalah bagian dari
kunci ilmu pengetahuan. Rasa dan sikap kritis pada anak pun lambat-laun akan
pudar. Andai pun kita belum tahu atau masih shock. Kita bisa mengatakan “oh,
ayah belum tahu, nak. Besok kita cari bersama-sama, yuk!
Malu?
Mengapa harus malu? Tidak alasan untuk malu. Siapa kita? Alim
bukan, kiyai bukan, ustadz juga bukan. Lantas, kenapa harus malu, jika memang
tidak tahu. Malu itu baik, tapi jika pada tempatnya. Bahkan, sebagaimana dilansir oleh Imam An-Nawawi (wafat 676 H/1278
M) dalam Adab Al-Fatwa(Darul Fikr, 1408: 15-16), sejumlah orang
alim, para sahabat, imam Mazhab dalam Islam saja tidak malu mengatakan “tidak
tahu”.
Konon, Ibnu Abbas ra dan Muhammad bin ‘Ajlan pernah mengatakan,
“Jika seorang alim lupa mengatakan “aku tidak tahu”, terancamlah nyawanya.”
Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H/ 814 M) dan Abdussalam Sahnun (wafat 240 H/ 854
H) berkata, “Orang yang paling gegabah dalam mengeluarkan fatwa adalah yang
paling sedikit ilmunya.” Apabila Muhammad bin Idris, alias Imam Asy-Syafi’i
(150-204 H/ 767-820 M), ditanya dan belum bisa menjawab, beliau mengatakan,
“Sampai aku tahu apakah aku harus diam ataukah menjawab.
Al-Atsram mengisahkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/
780-855 M) sering mengatakan “aku tidak tahu”. Al-Haitsam bin Jamil suatu
ketika pernah melihat Imam Malik (93-179 H/ 712-795 M) ditanya tentang 48
permasalahan, namun beliau hanya bisa menjawab 16 soal saja. Sementara 32 soal
sisanya dijawab dengan “Aku tidak tahu.” Bahkan, di lain kesempatan Imam Malik
ditanya 50 pertanyaan, dan tidak satu pun darinya beliau jawab, karena prinsip
kehati-hatian dan kekhawatiran. Tatkala sang Imam menjawab “tidak tahu”, lantas
ada yang berkata “Ah, ini masalah sepele, remeh-temeh dan mudah”, beliau pun
marah dan mengatakan “tidak ada ilmu yang remeh.”
Imam Asy-Syafi’i rh pernah berkata, “Aku tidak mengetahui
seorangpun yang dikarunikan Allah metode berfatwa sebagaimana pada diri Sufyan
bin Uyainah, namun pengetahuan itu malah yang membungkamnya dari
berfatwa.”
Dan banyak sekali kisah para ulama lainnya. Ketika mereka
mendapatkan pertanyaan yang belum diketahui jawabannya, mereka tidak malu
mengatakan, “Aku tidak tahu.” Sebab, yang maha tahu segalanya hanya Allah subhanahu
wata’ala. Tiada ilmu melainkan Allah-lah yang memberitahukannya pada
kita. Semoga kita tidak termasuk orang yang gegabah. Oh ya, terkait tanggapan
pertanyaan tersebut, rencananya akan ditulis pada kesempatan yang lain. Semoga
diberikan kesempatan oleh Allah.[]
Cirebon, 05-07/03/2015
Bagus, saya nunggu bukunya, Ustadz Masyhari.
ReplyDeleteTerima kasih, Kang Ustadz Yanto. Doakan semoga segera ditulis dan rampung. Salam hangat.
ReplyDelete