Friday, March 13, 2015

Cerita Pagi di Kampung Pesantren

Siluet mentari pagi dari arah timur mulai menyelinap malu-malu ke dalam gubuk kami. Melalui tepi-tepi jendela, seberkas cahaya kecil hinggap di wajah si kecil Keysa, membangunkannya dari rahat malamnya. Ia mulai membuka matanya, pelan sambil menggeliat, namun masih enggan bangkit dari ranjangnya.
Sementara sang kakak masih terbaring di kasur. Bibirnya tertutup rapat, ditarik oleh kedua sisi pipi kanan kirinya, tersenyum ringan, sementara matanya masih terpejam, tampaknya enggan untuk memutus indah mimpinya. Jarum jam bulat pipih yang menempel di dinding kamar menunjuk pada angka enam.
Soang-soang sudah bertebaran di halaman depan rumah dengan suara khasnya. Beberapa burung dara putih milik tetangga sebelah pun hinggap di beranda rumah, cecelingukan. Tampaknya mereka sedang menunggu anak-anak. Sudah beberapa hari terakhir ini, anak-anak suka meminta ibunya segenggam beras. Sambil bermain-main dengan burung-burung yang lebih mirip dengan merpati itu. Pemiliknya pernah bercerita, kalau itu memang burung dara, bukan merpati. Dahulunya hanya dua ekor. Sekarang sudah berjumlah puluhan ekor.  
“Dedek, mau jalan-jalan ta?” ucapku memancingnya agar ia segera terbangun dan beranjak dari kasurnya.
“Iya. Mau ayah. Tapi dedek masih ngantuk nih!” balasnya, sambil masih berlemas-lemas tubuh.
“Dedek bangunin mas Nabil dulu,” tawarku padanya.
“Mas, bangun yuk. Mau jalan-jalan ta?”
“Ya, dedek. Yuk.” Jawab Nabil, sambil mengucek-kucek matanya, mencoba untuk membuka matanya, berat.

Harga Sebuah Nasi Lengko

Jumat pagi ini, kami sekeluarga kecil jalan-jalan. Ya, jalan-jalan kecil. Ke dalam kampung pesantren Babakan. Sekedar untuk mencari sarapan. Sang istri sedang ingin sarapan nasi lengko. Nasi sederhana khas daerah Cirebon ini hanya ditaburi irisan kecil tempe goreng hambar tanpa garam dan mentimun dicacah, tak berbumbu. Hanya baluran kecap dan sambal merah yang membuatnya cukup terasa nikmat di lidah.
Untuk empat bungkus nasi dan enam potong gorengan, kami hanya mengeluarkan gocek sebesar Rp 14.000. Sebungkus nasi lengko di desa Babakan ini dijual dengan harga Rp 2.500. Harga ini sudah lebih tinggi dari pada setahun yang lalu. Sebelum BBM naik, harganya hanya Rp 2000. Di sini, beberapa makanan khususnya nasi dan gorengan masih terbilang sangat murah. Untuk makan sehari, 10 ribu sudah cukup. Ini bisa dimaklumi, karena mayoritas konsumennya yaitu santri-santri pesantren salaf (tradisional). Desa kerap disebut dengan desa pesantren, sebab lebih dari 40 buah pesantren berdiri di desa ini, mulai dari yang hanya berisi 10 santri hingga ribuan santri. Mulai dari yang hanya tinggal di gubuk sang Kiyai, hingga yang memiliki sekolah formal, bahkan perguruan tinggi, bervariasi.
Tidak hanya nasi lengko, ternyata, nasi goreng juga bisa didapat dengan harga santri, yaitu 4000 dengan telur. Bila tanpa telur cukup tiga ribu. Harga ini hampir merata di beberapa warung makan di dalam desa ini. Bahkan, masih ada semangkuk bakso dengan harga tiga ribu.   

Sebatas Investasi Akhirat

Terkadang, aku tidak habis pikir, kok bisa semurah itu harga bahan makanan matang di desa ini, di tengah perekonomian negeri yang sedang tidak menentu ini. Harga BBM naik, anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Paman Sam hingga menembus di atas angka 13 ribu, serta naiknya harga bahan pokok, termasuk beras secara drastis. Namun ‘bisnis’ mereka tetap saja bertahan. Tidak lantas gulung tikar. Sehiangga, biaya hidup di sini, masih sangat murah dan tidak menghabiskan banyak biaya, bila hanya memenuhi kebutuhan dan tidak banyak ke sana ke mari naik kendaraan umum.
Cukup berat langkah nalarku untuk memasuki fenomena langka ini. Namun setelah merenung sejenak, lambat-laut mulai terbersit ada apa di sebaliknya, meskipun hanya sebatas kesimpulan prematur (spekulatif-hipotetik).
Aku membaca bahwa para pemilik warung di sini hanya memosisikan diri sebagai pelayan santri. Mereka rela bertahan dengan harga yang sangat murah, dengan tujuan agar dompet santri-santri mampu menjangkaunya. Pernah, suatu ketika, aku menanyakan apakah ada lauk ayam. Sang ibu penjual nasi pun menggeleng, sambil mengutarakan bahwa telur goreng mata sapi pun sudah hal yang mewah bagi kebanyakan santri. Kuatir, kalau kemahalan, santri-santri yang kebanyakan dari pedesaan ini keberatan.
Semua ini, tiada lain motivasi akhirat lah yang mendorong mereka. Ya, mereka berjualan sekaligus berinvestasi akhirat dan berharap barakah (tabarruk). Dengan konsumen langganannya santri berharap rejeki dan hidupnya barokah. Sebab, santri adalah penuntut ilmu yang didoakan para malaikat dan para kiyai, dan tidak menutup kemungkinan, warung-warung yang menghidupi mereka juga kecipratan doa ini. Selain itu, para santri ini suatu ketika akan menjadi tokoh agama, kiyai, dan lain sebagainya. Para pedagang di sini sepertinya memiliki keyakinan bahwa sisa keuntungan yang tidak dirupiahkan itu akan menjadi sedekah jariyah, yang senantiasa mengalir bersama darah di dalam tubuh para santri saat mereka memimpin pesantren-pesantren di kemudian hari. Ya, keberhasilan mereka saat itu ada sumbangsih dari para pedagang nasi.
* Sambil diiringi beberapa lantunan sajak merdu Musyari Rasyid
Babakan, 13 Maret 2015




No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentar

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...