Sebuah catatan pagi
Salam Hangat Kopi Pagi
Pagi ini, seorang pengurus masjid membawa satu bundel berisi
selebaran ‘maklumat’. Sejatinya,
selebaran itu sudah disebarkan kemarin sebelum shalat Jum'at. Namun tampaknya,
para pengurus menyadari bahwa bila disebarkan, ini akan menimbulkan fitnah dan
kekacauan di kalangan masyarakat. Demikian, keluh salah
seorang pengurus takmir masjid Baiturrahman To' Kaloko Makale Tana Toraja. Satu bundel selebaran itu, oleh sang pengurus akan dibawa pulang untuk disimpan.
Segera aku minta selembar. Setelah kubaca dan kuamati, ternyata
selebaran tersebut dikeluarkan oleh HTI [bukan] Hizbut Tahlil Indonesia, tapi
Hizbut Tahrir Indonesia. Selebaran setebal dua halaman tersebut bertajuk "Hukum Pemilu Presiden". Di bagian bawah halaman kedua tertera alamat kantor DPD
HTI Sulsel dan Barat. Sudah bisa dipastikan, bahwa selebaran "provokatif" itu mereka keluarkan dalam rangka "menyambut" pilpres 9 Juli 2014 nanti. Dari pemaparan tulisan setebal 2 halaman tersebut, bisa aku tarik beberapa simpulan, khususnya terkait logika yang mereka bangun untuk menolak demokrasi pada umumnya, dan pilpres beberapa hari mendatang khususnya, yaitu:
1 Pertama, seorang pemimpin wajib mempraktikkan hukum Islam.
2 Kedua, di antara hukum Islam tersebut adalah kewajiban mendeklarasikan
sistem khilafah.
3 Ketiga, Tidak ada dari kedua calon presiden, yang akan
mendeklarasikan khilafah.
4 Kongklusinya: TIDAK BOLEH MEMILIH SIAPAPUN DARI MEREKA sebagai
kepala negara.
5 Alasannya: berpartisipasi dalam pemilu presiden yang
bersistem “sekular”, dengan penguasa yang berkomitmen menjaga sistem “sekular”
dan bersumpah atasnya, berarti ikut berpartisipasi dalam menjaga konstitusi
buatan manusia, menjaga pengaruh asing, menjaga kerusakan, dan membantu dalam
berhukum selain hukum Allah.
Namun, ternyata terdapat inkonsistensi pada logika mereka, dimana pada paragraf terakhir dari selebaran tersebut, terdapat pernyataan yang bertentangan dengan pernyataan tersebut, yaitu “Anda semua adalah pemilik
kekuasaan yang sebenarnya".
Terkait dengan poin pertama
dan kedua, sebaiknya pihak negara, dalam hal ini Kementrian Agama dan MUI,
mengundang mereka untuk berdiskusi membahas masalah ini dalam sebuah seminar
atau lokakarya, sehingga ditemukan titik kesepahaman. Karena kenyataannya, MUI
dan NU, dan sebagian besar ormas Islam Indonesia telah sepakat dan mengeluarkan
fatwa, bahwa NKRI telah sah dan demokrasi tidaklah bertentangan dengan
nilai-nilai Islam, sebagimana difatwakan oleh Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi dan
para ulama lainnya.
Bila selebaran-selebaran
semacam ini terus disebarkan dan diedarkan di kalangan masyarakat grass root,
dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan. Karena, ini adalah semacam gerakan
“separatisme” yang akan merongrong kesatuan NKRI yang [semoga] aman dan damai,
serta memprovokasi masyarakat untuk golput, dan secara implisit memprovokasi
untuk membuat kekacauan.
Begitu pula dengan pihak
HTI, agar tidak menyebarkan selebaran provokatif semacam ini di kalangan
masyarakat awam, karena akan muncul semacam kebingungan dan kekacauan. Alangkah
lebih baik bila mereka menyampaikan gagasannya kepada pemerintah dan para ulama
yang berwenang.
Kecuali bila HTI dan
warganya ingin ber”hijrah” dari negeri “sekular” ini. Ambivalensi lain, di satu
sisi, HTI menganggap negeri ini sebagai negeri sekular yang kafir, namun di
sisi yang lain, mereka tidak mau hengkang dari negeri ini. Karena bila tetap bertahan,
bisa jadi akan menjadi onak dalam daging yang mengganggu ketentraman dan bahkan
membahayakan.
Bila ada anggota HTI yang
tidak terima, silahkan kalian berdiskusi dengan Kemenag-RI dan atau MUI pusat.
Atau laporkan saya ke polisi. Namun, itu tak akan terjadi. Karena mereka tidak
mengakui keabsahan polisi, bahkan keabsahan NKRI ini. semoga bermanfaat. Wallahu
a’lam. []
Tana Toraja,
28/06/2014
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar