Ke-Maha-Adil-an Allah:
Renungan atas Firman Allah QS An Nisä [4]: 40
Renungan atas Firman Allah QS An Nisä [4]: 40
|| Oleh: Masyhari, Lc, MHI
بسم الله الرحمن الرحيم: "إن الله لا يظلم مثقال ذرة، وإن تك حسنة يضاعفها ويؤت من لدنه أجرا عظيما"
Artinya, “Sungguh, Allah tidak berbuat zalim barang sekecilpun. Jika ada suatu perbuatan baik, Allah akan melipat-gandakannya dan memberikan pahala yang amat besar atasnya dari sisi-Nya.” (QS An Nisa [4]: 40)
Artinya, “Sungguh, Allah tidak berbuat zalim barang sekecilpun. Jika ada suatu perbuatan baik, Allah akan melipat-gandakannya dan memberikan pahala yang amat besar atasnya dari sisi-Nya.” (QS An Nisa [4]: 40)
Segala puji bagi Allah atas segala kemurahannya. Allah Maha Kasih-Pengasih dan Maha Penyayang. Allah Maha Adil, dan sedikitpun tidak, sama sekali tidak pernah dan tidak akan pernah berbuat aniaya terhadap makhluk-Nya. Karena itulah adil merupakan salah satu sifat dan nama baik Allah (asmaul husna). Keadilan Allah di atas segala keadilan.
Sebagai bagian dari keadilan-Nya, Dia utus seorang Rasul, Nabi Muhammad SAW, seorang nabi yang adil, yang menyampaikan ajaran-ajaran-Nya, mengajarkannya kepada umat manusia dan membimbing mereka dengan penuh kesabaran, menuju rida dan surga-Nya. Sehingga, tidaklah Allah menghancurkan suatu kaum, karena mereka telah berbuat dosa dan kerusakan di muka bumi, sebagai balasan atas mereka, kecuali Dia telah mengutus kepada mereka seorang rasul atau nabi yang memberikan penjelasan, kabar gembira dan peringatan dari-Nya.
Makna Adil
Sebenarnya, kata adil berasal dari bahasa Arab (al-‘adl dan al-‘adil), namun sudah diserap dan masuk ke dalam bahasa Indonesia. Di dalam KBBI, kata adil diartikan dengan “sama berat”, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya dan tidak sewenang-wenang. Ringkasnya, adil berarti “memberikan sesuatu sesuai dengan hak dan kewajibannya”, yang benar dibilang benar dan yang salah dibilang salah, apa adanya. Di dalam bahasa Arab, kata adil juga berarti al-qisth, yang berarti seimbang, tidak berat sebelah dalam timbangan.
Seorang hakim yang adil, memutuskan perkara yang dihadapinya secara obyektif, tanpa pandang bulu, tidak melihat pangkat dan kedudukan seseorang, tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas, tidak membeda-bedakan berdasarkan suku, agama, ras, dan status sosialnya. Seorang pedagang yang adil, apabila menimbang atau menakar, ia tidak berbuat curang, dengan mengurangi beratnya.
Kata adil di dalam bahasa Arab diantonimkan dengan kata “zhalim”. Meskipun kata zalim sudah menjadi bagian dari bahasa lisan dan tulisan (literasi) kita. Sayangnya, penulis belum menemukan deskripsi artinya di KBBI. Kendatipun demikian, kata zalim seringkali diartikan lalim, aniaya, berat sebelah, tidak adil dan tidak sama berat. Bila adil diartikan menempatkan sesuatu sesuai tempatnya, maka zalim berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Sehingga bisa dikatakan, adil berarti menghukumi dan menyikapi sesuatu sesuai dengan yang semestinya. Yang baik diberikan balasan atas kebaikannya, dan yang berbuatan buruk diberikan balasan atas keburukannya, sama rata. Yang berprestasi diberi hadiah, dan yang berbuat salah dihukum, sesuai amal perbuatan. Demikianlah keadilan dalam rumus manusia.
Keadilan Allah
Rumus keadilan Allah tidak sama dengan rumus keadilan manusia. Keadilan Allah tidak sebanding dengan keadilan manusia. Bila keadilan manusia memberikan balasan secara setimpal, dimana kebaikan dibalas dengan kebaikan dan keburukan dibalas keburukan, seimbang dan setimbang, maka berbeda dengan keadilan dalam rumus Allah. Keadilan Allah senantiasa memihak pada keuntungan bagi makhluk-Nya, bermuara pada kebaikannya.
Di dalam ayat 40 QS an-Nisaa di atas disebutkan bahwa Allah SWT tidak sedikitpun (mitsqala dzarrah) berbuat aniaya. Kata “mitsqala” berarti seberat. Sedangkan kata “dzarrah”, sebagian mengartikannya dengan biji sawi. Sebagian lagi, misalnya Jalaluddin al-Mahalli, dalam Tafsir al-Jalalain, mengartikannya “ashgharu namlatin” (semut terkecil). Sementara itu, Ibnu ‘Asyur mengartikannya dengan telur semut dan sesuatu yang terbang dari debu bila ditiup. Ada pula yang mengartikan “dzarrah” dengan atom, yaitu unsur kimia terkecil (setelah nuklir) yang dapat berdiri sendiri dan bersenyawa dengan yang lain. Thahir bin Asyur dalam “at-Tahrir wa at-Tanwir” menjelaskan bahwa kata seberat dzarrah hanyalah metafora, taksiran atas sesuatu yang amat kecil, dimana Allah tidak akan membalas orang yang berbuat buruk lebih dari keburukan yang dilakukannya.
Artinya, Allah Maha Adil, sama sekali Allah tidak pernah dan tidak akan berbuat zalim terhadap makhluk-Nya, dengan mengurangi timbangan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan makhluk-Nya atau melebihkan timbangan keburukan yang telah dilakukannya.
Tetapi sebaliknya, Allah memberikan balasan dengan sempurna tas kebaikan yang dilakukan, tanpa sedikitpun menguranginya, bahkan melipat-gandakannya, mulai dari sepuluh kali hingga lebih dari tujuh ratus kali lipat. Dari jumlah sekian banyak itu, Allah membalasnya dengan pahala yang teramat besar, balasan yang tidak mungkin diberikan oleh selain-Nya. Demikian penjelasan dari Jalaluddin al-Mahalli. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi SAW: “Sungguh, kebaikan setara dengan sepuluh kali lipatnya."
Artinya, Allah Maha Adil, sama sekali Allah tidak pernah dan tidak akan berbuat zalim terhadap makhluk-Nya, dengan mengurangi timbangan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan makhluk-Nya atau melebihkan timbangan keburukan yang telah dilakukannya.
Tetapi sebaliknya, Allah memberikan balasan dengan sempurna tas kebaikan yang dilakukan, tanpa sedikitpun menguranginya, bahkan melipat-gandakannya, mulai dari sepuluh kali hingga lebih dari tujuh ratus kali lipat. Dari jumlah sekian banyak itu, Allah membalasnya dengan pahala yang teramat besar, balasan yang tidak mungkin diberikan oleh selain-Nya. Demikian penjelasan dari Jalaluddin al-Mahalli. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi SAW: “Sungguh, kebaikan setara dengan sepuluh kali lipatnya."
Selain itu, firman Allah SWT terkait dengan infak dan sedekah dengan gamblang memperjelasnya.
Bahkan, kebaikan yang belum dilakukan, masih dalam niatan dan rencana, oleh Allah sudah dicatat sebagai kebaikan dan layak mendapatkan balasan pahala. Namun, tidak demikian dengan keburukan. Allah tidak mencatat keburukan yang masih dalam niatan, baru direncanakan, lantas urung dilaksanakan. Bila telah dilakukan, Allah tidak mencatatnya kecuali hanya satu keburukan, tidak melebihkan. Karena Allah Maha Pemaaf dan Pengampun (al-‘Afuww & al-Ghafur). Demikian itu sebagaimana jelas dalam hadis qudsi, Allah berfirman:
Bahkan, kebaikan yang belum dilakukan, masih dalam niatan dan rencana, oleh Allah sudah dicatat sebagai kebaikan dan layak mendapatkan balasan pahala. Namun, tidak demikian dengan keburukan. Allah tidak mencatat keburukan yang masih dalam niatan, baru direncanakan, lantas urung dilaksanakan. Bila telah dilakukan, Allah tidak mencatatnya kecuali hanya satu keburukan, tidak melebihkan. Karena Allah Maha Pemaaf dan Pengampun (al-‘Afuww & al-Ghafur). Demikian itu sebagaimana jelas dalam hadis qudsi, Allah berfirman:
"إذا هم عبدي بسيئة، فلم يعملها؛ فاكتبوها له حسنة، فإن عملها؛ فاكتبوها له سيئة، فإن تاب منها؛ فامحوها عنه، وإذا هم عبدي بحسنة فلم يعملها؛ فاكتوبها له حسنة، فإن عملها؛ فاكتبوها بعشرة أمثالها إلى سبعمئة ضعف". (رواه ابن حبان عن أبي الدرداء)
Artinya, “Apabila seorang hamba-Ku (dalam pikirannya terbersit akan melakukan) sebuah keburukan, lantas ia urung melakukannya, tulislah baginya (wahai para malaikat) sebagai sebuah kebaikan. Jika ia melakukannya, tulislah baginya satu keburukan. Jika ia bertaubat darinya, menyesalinya, hapuslah catatan keburukan itu darinya. Apabila hamba-Ku (dalam pikirannya terbersit akan melakukan) satu kebaikan, lantas ia urung melakukannya, tulislah satu kebaikan baginya. Jika ia melakukan kebaikan itu,tulislah baginya sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat.” (HR Ibnu Hibban dari Abu ad-Darda’).
Artinya, “Apabila seorang hamba-Ku (dalam pikirannya terbersit akan melakukan) sebuah keburukan, lantas ia urung melakukannya, tulislah baginya (wahai para malaikat) sebagai sebuah kebaikan. Jika ia melakukannya, tulislah baginya satu keburukan. Jika ia bertaubat darinya, menyesalinya, hapuslah catatan keburukan itu darinya. Apabila hamba-Ku (dalam pikirannya terbersit akan melakukan) satu kebaikan, lantas ia urung melakukannya, tulislah satu kebaikan baginya. Jika ia melakukan kebaikan itu,tulislah baginya sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat.” (HR Ibnu Hibban dari Abu ad-Darda’).
Oleh karena itu, patutlah kita renungkan kembali makna keadilan Allah. Lantas kita mengaca diri, sudahkah kita berbuat adil, minimal dalam rumus manusia, dan berusaha untuk bisa meneladani sifat adil dalam rumus-Nya, yaitu melebihkan bagian kebaikan orang lain, dan memaafkan keburukan yang dilakukan orang lain. Sehingga kita menjadi pribadi yang pemaaf bagi sesama, bukan pendendam. Meskipun membalas keburukan dengan keburukan itu sah sah saja.
Dalam konteks lingkungan hidup, sikap adil bukan hanya tidak membuang sampah di sungai, tetapi juga ikut serta menjaga keindahan dan kebersihan sungai, dengan membersihkan sungai dari sampah, mencegah siapapun yang hendak mengotori dan membuang limbah ke sungai, memberikan pemahaman dan sosialisasi tentang pentingnya menjaga kebersihan sungai, serta menanam pohon bakau di pinggiran sungai demi kelestarian ekosistem. Sehingga, aliran air sungai yang jernih bukan hanya menjadi tempat hidup bagi ikan-ikan yang beraneka ragam, namun juga menjadi pelipur-lara bagi manusia yang gundah-gulana. Setiap saat, anak-anak kampung sekitar sungai bisa menikmati air yang bersih dan jernih dengan riangnya, mandi dan berenang di sana. Air sungai yang sehat bisa menjadi sumber irigasi bagi pertanian, tambak dan kebutuhan rumah tangga warga sekitarnya.[]
Ditulis di Cirebon, 08/10/2015
Ditulis di Cirebon, 08/10/2015