Berhukum dengan Selain Hukum Allah
Oleh: Masyhari, Lc., M.H.I
Bagi yang pernah sekolah. Di sekolah, lembaga pendidikan, baik formal, informal ataupun non formal, biasanya dibuat sebuah peraturan dan tata tertib. Aturan-aturan itu biasanya dibuat oleh sekolah demi terwujudnya kebaikan bersama, agar kegiatan belajar-mengajar bisa berjalan dengan tertib dan teratur. Inilah yang dimaksud dengan kemaslahatan bersama. Aturan itu misalnya, mengatur jadwal pelajaran, berseragam, waktu dan hari masuk, dan lain sebagainya. Sebagai catatan, aturan-aturan yang ada biasanya tidak mengambil dari Alqur'an ataupun Alhadis.
Begitu pula halnya di kelas. Mulai dari pemilihan ketua kelas. Lantas, pimpinan kelas pimpin pembuatan tata tertib kelas, dengan bimbingan wali kelas. Aturan dibuat demi ketertiban dan keteraturan kelas. Misalnya saja, dalam memilih ketua kelas, bisa jadi guru kelas akan memilih salah seorang, secara otoritatif dengan pertimbangannya sendiri. Bisa jadi, akan memilih berdasarkan usulan dari anggota kelas. Bisa jadi, wali kelas melakukan voting tertutup, atau terbuka, setelah atau tanpa adanya pencalonan. Dalam tata tertib kelas, misalnya aturan adanya jadwal piket kebersihan, iuran kas kelas, ketertiban kelas.
Biasanya, aturan-aturan kelas itu secara tekstual tidak diambilkan dari Alquran ataupun Alhadis. Namun, diputuskan bersama dalam musyawarah mufakat. Dan, tak jarang, sebagai motivasi, aturan tersebut dibumbuhi dengan hadiah (reward) atau sanksi (punishment).
Secara umum, orang tua, siswa, dan semua warga sekolah (stake-holder) sekolah menyetujui tata tertib tersebut, dan jarang yang protes dengan dalih aturan tersebut bukan bersumber dari Alqur'an dan hadis. Toh, selama tidak ada poin yang berisi hal buruk atau bertentangan dengan nilai-nilai Alquran dan alhadis. Meskipun, pernah terdengar, ada sepercik oknum yang sering melanggar aturan atau lebih memilih DO dari lembaga tersebut, berdalih aturan yang ada tidak bersumber dari Alquran dan Alhadis. Ia punya keyakinan, bahwa haram hukumnya berhukum dg selain hukum Allah, dan baginya mengikuti aturan-aturan itu tak ada kebaikannya, karena bukan bersumber dari Allah. "Aturan manusia bisa salah. Bisa saja dilanggar, toh tak berdosa," katanya.
.
Sebenarnya, tak ada bedanya, antara menjadi seorang murid atau orang tua murid di dalam sekolah, dengan menjadi rakyat di dalam sebuah negara. Selama aturan atau perundang-undangan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Alqur'an dan Alhadis, dibuat dengan tujuan yang baik, demi terwujudnya kemaslahatan dan kedamaian bersama, maka tidak perlu mempersoalkan aturan tersebut. Sebab, "almuslimun a'ala syuruthihim", artinya -wallahu a'lam- seorang muslim itu terikat dengan syarat dan ketentuan (MoU) yang dibuat oleh antara mereka. Selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Alquran ataupun Alhadis.
Pembahasan dalam hal ini ada di dalam kajian Ushul Fikih, yang membahas metodologi penggalian hukum Islam, yang berkaitan dengan tindak perilaku seorang mukallaf (muslim), dilengkapi dengan pendalaman tentang akhlak, nilai-nilai dan melihat tujuan-tujuan (maksud) serta hikmah ditetapkannya syariat, yang jamak dikenal dengan istilah maqashid syariah, yaitu dalam rangka mencapai kemaslahatan dan menolak kerusakan (jalb mashalih wa dar' mafasid). Lantas, ada kaidah "dar' almafasid muqaddam 'ala jalb mashalih", artinya menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada menggapai kebaikan, khususnya bila terjadi kontradiksi antara keduanya.
Kemasalahatan yang dimaksud, oleh Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, dan pernah disinggung oleh gurunya Imam Al Haramain Al Juwaini, kemudian diperjelas oleh Abu Ishaq Asy Syathibi seorang ulama dari Granada, Andalusia (kini-Spanyol), secara berurutan, kemaslahatan itu terbagi menjadi tiga. Menempati urutan pertama, dan yang paling utama untuk didahulukan yaitu adh-dharuriyyat. Dharuriyyat itu sesuatu yang paling esensial dan mendasar (primer), dimana tanpanya, kehidupan akan goyang dan tidak bisa tegak. Yang kedua yaitu hajjiyyat (sekunder), dan menempati tingkatan ketiga yaitu tahsiniyyat, atau pelengkap.
Ketiga kemaslahatan itu, utamanya dharuriyyat, berputar pada penjagaan terhadap lima hal, yaiatu untuk menjaga agama (hifzh ad diin), akal (hifzh 'aql), jiwa (hifzh an nafs), harta benda (hifzh al maal) dan menjaga keturunan atau kehormatan (hifzh nasab atau 'irdh). Oleh karena itu kerap disebut dengan Adh-Dharuriyyat Al-Khams atau Al-Kulliyyat Al-Khams. Meskipun, pada giliran berikutnya, banyak para sarjana muslim kontemporer terkemuka yang memperluas dan mengebangkannya tidak terbatas pada kelima bidang tersebut. Dan, meskipun dalam periode klasik, di antara ulama tak jarang yang silang pendapat dalam kelima hal tersebut, mana yang didahulukan.
Namun belakangan, kelima hal tersebut mana yang didahulukan, bukan dilihat secara mutlak-mutlakan, tapi dilihat apakah ia termasuk dharuriyyat, hajjiyat ataukah sekedar tahsiniyyat. Pertimbangan lainnya yaitu kondisi, tradisi, situasi, waktu dan tempat yang meliputi, manakah yang lebih maslahat. Karena itu, muncullah kaidah-kaidah maqashid syariah yang bisa jadi panduan dalam mendahulukan antar kemaslahatan, khususnya bila terjadi kontradiksi. Ya, di antaranya kaidah "dar'ul mafasid muqaddam 'ala jalb al mashalih", dan lain sebagainya.
Dengan demikian, tak selalu, suatu aturan itu harus diambil secara letterlijk dari teks Alqur'an dan As Sunnah. Akan tetapi, selama suatu aturan atau pelaksanakan suatu amalan itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum Allah, dan secara umum terdapat kebaikan, dimana itu merupakan hal yang diperintahkan oleh agama, mengapa tidak harus ditaati. Jadi, masih tak mau pakai helm saat naik motor di jalan raya, dengan dalih "aturan itu tidak ada di dalam Alquran maupun Alhadis"?!
Kesambi, 13 Ramadhan 1438 H_21:22