Saturday, November 2, 2013

“Perjuangan” kecil di Emperan Masjid

"Sebuah pengabdian dan upaya jembatan"Mungkin berlebihan bila sebuah pengajian kecil yang belum diakui sepenuhnya oleh beberapa kalangan, yang nebeng di sebuah masjid kampung belakang pejaten village (yang berdiri belakangan) dikatakan sebagai jembatan penghubung antara sebuah institusi pendidikan luar negeri se-level LIPIA dengan masyarakat sekitar secara umum. Namun, paling tidak, itulah salah satu misi suci “hiden agenda” dari pendirian TPQ al-Furqon oleh sejumlah mahasiswa yang terbingkai dalam organisasi HMI komisariat el-Himma LIPIA (tentu bekerjasama dengan tokoh masyarakat setempat, dalam hal ini takmir masjid yang bersangkutan), yang kemudian menjadi the one warisan HMI el-himma era 2005-2007an (mungkin salah).
Sebuah keyakinan yang menjadi spirit pendiri, paling tidak menurut saya pribadi (saya termasuk pendiri gak ya?!), bahwa akademik formal dan prestasi di kampus itu penting. Namun yang perlu diingat bahwa kita tidak sedang hidup di dunia akuarium, hidup dalam dunia kaca, yang penuh dengan diktat-diktat literal, ceramah dosen dan sederet daftar nilai yang tampak menjanjikan masa depan. Kita hidup di sebuah kehidupan yang nyata, dengan masyarakat sosial yang tidak mungkin bisa diabaikan dan dipandang sebelah mata. Keterdesakan kebutuhan akan sentuhan lembut jemari kita, uluran tangan yang ikhlas tanpa pamrih, senyuman manis bukan kecut masam, dan siraman embun sejuk salam sapa dalam harmoni kekeluargaan tidak dapat ditunda lagi. Dan di sisi lain, kita tentu tidak bisa lepas dari “pertolongan” baik mereka kepada kita, baik berupa sikap yang baik, atau bahkan hingga pada pemakaian tempat untuk sekedar melepas lelah atau berdiskusi.
Memang benar, tugas kita belajar dan tujuan kita datang ke sini (baca: di Jakarta) adalah untuk belajar (baca: kuliah), dan Allah menegaskan bahwa tugas berdakwah adalah setelah pulang kampung, setelah kita turun gunung.“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS At-Taubah [9]: 122).
Bisa jadi itulah “pembenar” yang paling legal bagi mereka yang asyik tidak mau peduli dengan apa yang ada di sekitarnya. Yang berlaku baginya hanya hukum apatisme, egoisme, cuekisme, dan konco-konconya. Yang penting saya bisa belajar. Yang penting saya di sini belajar, dan hanya untuk belajar. Saya akan berbagi ilmu nanti kalau sudah lulus. Belum saatnya.” Katanya.Tulisan ini tidak hendak mendiskusikan, apalagi mendebat, istidlal pada ayat tersebut. Karena itu lebih tepat jika dibahas dalam “forum” yang lebih ilmiah, yang nantinya membahasnya secara metodologis ushul fikih, asbabun nuzul, dan kontekstualisasi ayat.
Kembali pada persoalan TPQ, bahwa memang benar, bahwa belajar itu penting dan harus. Ilmu teoritis itu penting, namun menyikapi dunia nyata hanya dengan penggunaan literal teks pada diktat-dikat kuliah tentu tidak dapat dibenarkan. Teks itu akan tetap diam, dan perubahannya lebih lambat daripada perubahan dan perkembangan sosial manusia dunia nyata. Seringkali teks akademis tidak lebih berhasil menyelesaikan problem sosial daripada nalar praktis yang bersumber dari pengalaman. Akademisi, bahkan selevel profesor doktor tidak lebih pintar dan lihai daripada ketua RT yang hanya jebolan SD dalam menyelesaikan problem masyarakat. Karena pengalaman lebih baik dari sekedar teori. Meskipun teori itu penting untuk bekal penunjang gerakan. Dan lebih baik lagi bila teori dikawinkan dengan pengalaman, sehingga melahirkan amal yang terasah dengan lihai, dan tidak saklek dan kaku.  Meminjam istilah HMI, menuju insan cita. Yaitu manusia yang tercipta sebagai pengabdi, sebagaimana dalam tujuannya, yaitu terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung Jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. dan barangkali misi inilah yang menginspirasi pendiri untuk blusukan ke perkampungan, terjun ke masyarakat yang katanya “belum saatnya”.
Saya pribadi memaknai “pengabdian” kecil di emperan masjid itu sebagai pelatihan semacam PPL/ KKN (atau apalah istilahnya sekarang) yang real, menuju pengabdian yang sesungguhnya. Karena suatu saat nanti, kita akan menjadi pemimpin masyarakat (semoga), yang tentunya akan menghadapi problem yang lebih kompleks dan njelimet di sana. Paling tidak bekal sedikit dalam berinteraksi dengan masyarakat grass root akan banyak memberikan banyak input yang berarti bagi calon pemimpin masa depan, untuk mudah memahami bahasa rakyat, barupa jeritan, keluhan dan suara perut rakyat yang membutuhkan daya sensitifitas tinggi yang perlu untuk dipelajari, yang tentu tidak didapatkan bangku kuliah.Keberadaan TPQ diproyeksikan menjadi jembatan penghubung antara komunitas akademis kampus dengan warga sekiar kampus. Pejuang-pejuang kecil di TPQ bisa menjadi lidah kampus dengan bentuk wajah yang lebih “adem” (maaf kalau salah). Maksudnya, keberadaan kampus yang sudah kadung dicap sebagai markas pengkaderan wahabi oleh warga sekitar yang mayoritas tradisionalis NU menjadi “gunung uhud” yang harus dipikul di pundak kami. Di sinilah peran pejuang TPQ untuk membahasakan kampus dengan lebih arif dan tidak saklek. Sedikit membantu mencairkan ketegangan-ketegangan yang terkadang muncul di masyarakat. Memberikan pemahaman yang tepat dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam agama melalui momentum-momentum selipan. Dan, sebagai jembatan, tentu rela dan siap untuk diinjak-injak, maka pantaslah jika pejuang kecil itu sering menjadi sasaran tembak dan kecurigaan, baik dari masyarakat atau bahkan terkadang dari warga kampus, dalam hal ini sebagian mahasiswa yang saklek dan sebagian yang ingin mendapat tempat di hati kampus. Oleh mereka kita disebut wahabi, dan oleh mereka yang lain kita disebut pendukung bid’ah, bila mengikuti acara-acara di dalam masyarakat, tahlilan, yasinan, dan lain sebaginya. Namun, itu tidak mengapa, toh itu sebutan manusia.   
Biarlah dalil-dalil ayat diutarakan memperkuat argumentasi pembenaran, dan sungguh ini tidak bermaksud mengesampingkan ilmu dan teori, namun beramal yang nyata-lah yang ditunggu masyarakat, kebutuhan akan pencerahan tidak bisa ditunda lagi. Dan kenyataan akan menjadi saksi kebenaran sebuah argumentasi dan teori. Selamat merayakanlah pengabdian!! Wallahu a’lam.PPs IAIN Senja Cirebon, 04/06/2013
  

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentar

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...