TPQ Al-Furqon berdiri pada Februari 2006 atas prakarsa beberapa mahasiswa LIPIA Jakarta yang tergabung dalam HMI Komisariat LIPIA Jakarta bekerjasama dengan takmir masjid jami Al-Furqon Jatipadang Pasar Minggu, dan pada malam Senin tanggal 16 April 2006, TPQ Al-Furqon dilaunching secara resmi oleh ketua Dewan Masjid Kelurahan Jatipadang.
Dalam hal pengajaran baca al-Quran, pada awalnya, TPQ Al-Furqon belum menggunakan satu metode tertentu, masih comot sana comot sini, mencari dan mencoba formulasi-formulasi yang ada di beberapa lembaga pendidikan al-Qur'an sekitar Jatipadang dan Jakarta Selatan. Sehingga bisa dikatakan, KBM di TPQ ini masih berjalan secara tidak maksimal. Hal ini bisa dimaklumi, karena selain masih baru, para pengajar yang notabene para mahasiswa/mahasiswi LIPIA tidak bisa masuk sepekan penuh (dikurangi hari libur), namun mayoritas pengajar hanya bisa masuk 2 kali sepekan. Konsekuensinya, dalam satu kelas gurunya berganti-ganti, dan ini tidak ideal dalam pembelajaran Al-Quran. Kemampuan baca Al-Qur’an anak didik pun sulit berkembang.
Keadaan semacam itu berjalan kurang lebih 2 tahun. Dari hari ke hari, bulan ke bulan, para dewan guru ada yang keluar, ada yang masuk, dan bila liburan kuliah musim shaifiyyah (akhir tahun pelajaran) yang sekitar 2 bulan lebih tiba, KBM di TPQ pun ikut libur, karena para pengajar kebanyakan pulang ke kampung halaman masing-masing.
Pada awal tahun 2008, para guru yang merupakan mahasiswa LIPIA Jakarta banyak yang mengundurkan diri, dengan alasan yang bermacam macam; ada yang pulang kampung karena sudah tidak aktif kuliah di LIPIA, ada juga yang keluar karena sibuk dengan urusan yang lain. Sehingga pada waktu itu, dewan guru yang masih aktif tinggal 4 orang; 2 dari penduduk setempat, yaitu Salamah dan Yuyun, dan 2 lagi dari kalangan mahasiswa, yaitu Masyhari dan Atoillah.Sebagian dari dewan pengajar yang masih bertahan merasa bahwa jika KBM dengan metode yang tidak jelas begini terus berjalan, TPQ ini pun akan sulit maju, dan bila kami mendapatkan kesulitan dalam mendidik anak-anak dan metode pengajaran, kami pun tidak tahu harus merujuk ke mana. Jalan buntu-lah yang kami dapati, kami pun merasa tidak puas. Berawal dari ketidakpuasan itu, kami berniat untuk mencari metode yang tepat, berkwalitas dan sudah mapan, yang bisa jadi rujukan bila menghadapi kesulitan dan problem pengajaran.
Salah satu pengajar yang sudah memiliki syahadah Qiraati berinisiatif melakukan silaturrahim ke ustadz Abdus Salam di Ciputat selaku pentashih Qiraati se-JADEBOTABEKA. “Syaratnya mudah kalau mau benar-benar make Qiraati. Minimal ada 2 guru yang bersyahadah, dan mengikuti aturan Qiraati.” Begitu kata beliau setelah kami tanyakan tentang syarat penggunaan metode ini.Ketika ditanyakan bagaimana dengan Syahadah yang didapat dari luar Jakarta sekitar 4 tahun yang lalu, apakah bisa dipakai di Jakarta sekarang?”, Ustad salam menjawab, “Syahadah Qiraati bisa berlaku di seluruh cabang Qiraati (baik Nasional maupun Internasional). Tentang kualitas bacaan bisa ditest lagi. Kalau ada kekurangan, tinggal ikut bimbingan sebentar. Apalagi ada satu lagi pengajar TPQ yang sudah lulus tashih dan telah mengikuti metodologi pengajaran, tinggal mengikuti PPL dan mendapatkan syahadah.
Akan tetapi, sebelum kami mantap menggunakan metode Qiraati, salah satu pengajar yang satu lagi juga mencari, dan kemudian mendapatkan sebuah metode baru di Bekasi. Metode ini diprakarsai oleh Ustadz Najib, seorang alumni Tabah Kranji di lamongan Jatim. Namun, setelah bertemu beliau dan bertanya sekitar metode barunya, kita kurang puas. Karena, selain masih baru dan belum lama teruji, metodenya juga belum mempunyai peraturan, metodologi dan sistem pengkaderan bagi calon guru, sehingga kami rasa tidak sesuai dengan harapan kami.
Mantap Menggunakan Qiraati
Akhirnya, setelah menimbang-nimbang, kemudian bermusyawarah dengan dewan guru yang lain. Maka pada Maret 2008, kami-pun sepakat untuk mengadakan kunjungan ke Qiraati Koordinator Jakarta Selatan (TPQ Al-Ihsan) yang berlokasi di Gang Satria Pela Mampang Prapatan. Di sana, kami bertemu langsung dengan Ustadz Zainuri selaku koordinator Jaksel. Setelah mendapatkan penjelasan tentang Qiraati dari beliau, kami pun mantap untuk menggunakan Qiraati.Pada pekan berikutnya, tepatnya pada Rabu tanggal 2 April 2008 TPQ mengadakan Tes penjajakan kemampuan mengaji para santri, untuk penempatan jilid Qiraati. Pengetesan langsung ditangani oleh Ustadz Drs. Zainuri. Beliau masih bisa menyempatkan diri untuk datang dari Bangka ke TPQ Al-Furqon Jatipadang dengan motornya, di tengah kesibukan beliau yang padat.Alhamdulillah, pada kamis tanggal 03 April 2008, TPQ Al-Furqon sudah bisa menggunakan metode Qiraati dengan menginduk koordinator kecamatan Jaksel. Kelas dalam TPQ Al-Furqan terbagi menjadi empat kelas, disesuaikan dengan jilid. Karena kami hanya berdua, maka diberlakukan jam KBM dua sesi, sesi pertama dimulai pukul 14.00 hingga ashar, dan sesi kedua dimulai setelah ashar hingga pukul 17.00 WIB. Mayoritas yang masih kanak-kanak masuk diterima di jilid 1, ada yang jilid 2, ada yang jilid 3, dan ada yang jilid 4. KBM dilaksanakan sebanyak 4 hari setiap pekan; Senin, Selasa, Kamis dan Jumat.
Pada bulan pertama menggunakan Qiraati, TPQ Al-Furqon hanya menggunakan buku jilid pegangan santri, dan belum mendapatkan alat peraga untuk sistem klasikal, sehingga kami masih mengalami banyak kesulitan untuk menerapkan metode ini. Alat peraga baru kami dapatkan pada bulan Mei 2008, karena beberapa hal. Alhamdulillah, setelah adanya alat peraga, penerapan metode ini semakin mudah dan lancar. Pada bulan ini, beberapa santri mengalami banyak kemajuan dan sudah siap mengikuti tes kenaikan jilid. Akhirnya, pada hari Rabu tanggal 28 Mei 2008, TPQ pun sudah bisa mengadakan tes kenaikan jilid. Karena masih baru, maka tes kenaikan jilid pun masih harus ditangani oleh Korcam. Kami pun mengundang beliau untuk mengetes santri naik jilid, dan beliau pun menyempatkan diri untuk ke TPQ Al-Furqon.
Kendala yang dihadapi TPQ AL-FURQON sejak tahun 2008 antara lain; Pertama, Kurangnya perhatian dan dukungan tokoh keagamaan setempat. Kedua, kurangnya jumlah tenaga pengajar (dan sulitnya mencari guru baru), terutama yang bersyahadah Qiraati. Ketiga, Belum adanya donatur tetap. Keempat, Takmir masjid seakan menutup mata dan tidak peduli kelanjutan dan perkembangan TPQ.Meski dengan berbagai kendala yang ada, Alhamdulillah TPQ masih bisa bertahan hingga saat ini, bi’aunillah, dan setelah sekitar 2 tahun berjalan, TPQ al-Furqon bisa mengirimkan 3 santrinya untuk mengikuti TAS (Tashih Akhir Santri), dan alhamdulillah semuanya lulus, meskipun ada materi yang harus HER (doa harian), maklumlah baru pertama. Dan pada hari Ahad 11 April 2010, kami bisa mengadakan Syukuran, Khatmul Qur’an dan Imtihan Santri angkatan I, dan pada tahun berikutnya, tepatnya pada Ahad 01 Mei 2011 M bertepatan dengan tanggal 27 Jumada Al-Ula 1432 H kami bisa melaksanakan syukuran, khatmul Quran dan Imtihan untuk angkatan II sebanyak 2 santri.
Jumlah Santri
Dari tahun ke tahun, dari bulan ke bulan, jumlah santri yang mengaji di TPQ Al-Furqon bersifat fluktuatif, dan fluktuasinya menurun. Pada bulan Juli ini jumlah santri (anak-anak) sebanyak 30 anak. Hal ini sesuai dengan jumlah tenaga guru bersyahadah yang ada (yaitu 3 guru kelas dan 1 Amanah Tashih), dan karena mereka adalah para mahasiswa, belum ada penduduk setempat yang bersyahadah. Sehingga sebagaimana prinsip yang cukup populer di Qiraati, “Jangan menambah murid bila tidak mau menambah jumlah guru.”
Antara SPP dan Kotak Infak
Pada awal pendiriannya, the founding fathers memutuskan bahwa pembelajaran di TPQ ini dilaksanakan dengan cuma-cuma, dan para pengajarnya tidak mendapatkan gaji bulanan, alias suka rela. Sehingga, TPQ tidak memungut se-Rupiah pun dari wali santri, karena TPQ didirikan atas dasar pengabdian, khidmah lillahi ta'ala wal ummah, mencerdaskan bangsa. Namun, karena kebutuhan administrasi dan peralatan KBM, dan tidak adanya donatur untuk menyokong kegiatan TPQ, akhirnya ada usulan untuk membuat kartu infak, yaitu dengan batas minimal 10.000 kemudian sekarang menjadi 15.000. Kebijakan ini juga dengan pertimbangan bahwa pada kenyataannya, karena gratis, anak-anak seenaknya bisa keluar masuk TPQ dan terasa kurang ada penghargaan terhadap pengajian Al-Quran. Sebab banyak yang masih memiliki pandangan “YANG PENTING NGAJI”, bukan “NGAJI ITU PENTING”. Dan, alhamdulillah, bulan November & Desember 2011 TPQ dapet "suntikan" dana dari seorang donatur.
Seiring perjalan waktu, menghadapi berbagai problem yang terjadi dalam SPP, kendati betatapun kecil jumlahnya, ternyata tidak sedikit terjadi penunggakan, dari dua bulan hingga ada yang enam bulan. Renungan demi renungan, sharing demi sharing, silaturrahim demi silaturrahim, juga persinggungan pengalaman dengan beberapa lembaga dan pesan the miracle of infaq, akhirnya, mulai bulan Pebruari 2012, kami memutuskan PENGHAPUSAN SPP, karena selain tidak efektif, juga ada efek negatif yang ditimbulkan. SPP terkesan sebagai iuran wajib yang menjadi momok sebagian pihak. Dan sebagai gantinya, kami menerapkan sistem infak sukarela, setiap kelas diberi kotak infak. Banyak hal positif yang bisa diperoleh, selain akan memberikan pelajaran pembiasaan santri dalam berinfak, ternyata secara perolehan, bisa direka-reka, tentu akan jauh lebih besar daripada kartu SPP. Infaq, secara nominal unlimited, tidak terbatas, bisa 500, 1000, bahkan tidak menutup kemungkinan, bisa terjadi, satu anak akan infaq 5000 dalam suatu hari, atau bisa jadi lebih. Tergantung kondisi keuangan, tingkat kedermawanan, tingkat keimanan, juga kondisi fluktuasi hati.
Semoga para pejuang bisa terus istiqamah, juga selalu berada di garda depan dalam berinfaq. Amiin.
Jakarta, Juli 2012
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar