Gapyak
Romo Kyai
Oleh Hari M Ngaidin
S
|
ang mentari kembali ke
peraduannya, ke arah
barat menuju Bait-Nya. Bayangan benda pun telah condong ke arah timur, sedikit
lebih tinggi dari wujud aslinya. Tanda siang hampir merendah. Cericit kicau
burung gereja terdengar nyaring di atas dahan-dahan pohon besar di halaman
pesantren Tabah. Pohon yang terlalu besar untuk buah-buah kecil mungil dengan
rasa kecut tiada tara. Kami, santri-santri sering menyebutnya kecacil. Bila
musimnya berbuah, tak jarang, anak-anak kecil iseng melemparkan batu-batu kecil
ke dahan-dahan pohon ini, berharap ada buah yang jatuh ke tanah. Dan bila
sebuah tembakan batu itu mengenai sasaran, riuh suara teriakan mereka yang
saling memperebutkannya. Meskipun tak jarang, daun yang jatuh ternyata lebih
banyak daripada buah yang diharapkan.
Berbeda dengan anak-anak, santri-santri mukim di pesantren lebih senang
dengan kluweh yang pohonnya tak jauh dari kecacil itu. Bila tiba musimnya
berbuah, tak jarang santri yang duduk bersantai di serambi mushalla, berharap
buah kluweh akan jatuh dari pohonnya. Bahkan, tampaknya suara khas jatuhnya
sudah dikenal hampir oleh semua santri. Karena memang itulah saat-saat yang
mereka tunggu. Kemudian, mereka saling berkejaran, layaknya atlit peserta lari
maraton olimpiade, untuk mendapatkan buah kluweh yang menjadi incaran. Lumayan
untuk menjadi selingan nasi liwet dengan sambal tomat ala kadarnya. Cukup
direbus di dalam panci atau bahkan dimasukkan bara kayu yang sedang merah
membakar.
Sore itu, jarum pendek jam di atas dinding mushalla pesantren mengarah
pada angka 4, sementara jarum panjangnya tepat di angka 12. Tampak, di dalam
mushalla, para santri sedang tenggelam dalam lantunan dzikir-dzikir al-wirdu
al-lathif yang
memang menjadi wirid harian seluruh santri, di setiap pagi setelah shalat Subuh
dan sore hari setelah shalat Ashar. Biasanya dipimpin langsung oleh al-mukarram romo kyai pengasuh pesantren Tabah (rahimahullah). Dan, bila rangkaian dzikir itu telah rampung
dibaca, satu demi satu, santri bertebaran keluar dari mushalla. Karena memang
jadwal rutinan seusai jamaah Ashar adalah pengajian tafsir Jalaian di ndalem.
Biasanya, yang keluar agak belakangan hanya beberapa santri saja. Ada santri
yang memang sengaja menunggu selesainya Romo Yai, agar bisa bersalaman dengan
beliau, dan mereka ini biasanya telah membawa kitab tafsirnya sekalian ke
mushalla. Namun, ada pula santri yang masih tertinggal di mushalla, sebab
ketiduran. Barangkali karena terlalu khusyu’ menikmati dzikir sorenya, atau
bisa jadi karena kelelahan berkegiatan di OSIS, Kepramukaan atau yang lainnya.
Sementara itu, di ndalem utara, tempat pengajian, suara terdengar cukup
nyaring, seorang santri yang sedang membaca maqra’ beserta makna jawanya.
Santri yang membaca ini tidak dijadwal, sekedar siapa yang bersedia saja. Dan,
biasanya, yang maju untuk membaca hanya santri yang sebelumnya telah
mempelajarinya, melengkapi makna gandulnya beserta harakatnya. Namun, tidak
seperti biasanya, hari itu, hingga sang santri telah selesai merampungkan
bacaannya, romo kyai belum juga datang. Dan, ternyata di sebelah selatan, tepat
di depan mushalla, tampak romo kyai sedang sibuk mencari gapyak, alas kaki yang
tadi beliau pakai ke mushalla. Beliau pun memanggil seorang santri yang baru
saja menyalami beliau,
“Tolong sampean ambilkan sandal saya di ndalem!”
“Njeh yai.” Jawab santri itu, dengan sedikit menunduk.
Dengan bergegas, santri itu berlari menuju ndalem, segera menyampaikan
kepada penghuni ndalem, romo yai memintanya untuk mengambilkan sandal beliau.
Tak lama, ia telah sampai di mushalla dengan sandal di tangannya.
Entah, siapa yang berani-berani menjadikan gapyak romo yai sebagai
sasaranghosobannya.
Barangkali ia santri baru yang belum mengenal mana gapyak romo yai. Atau bisa
jadi, ia santri yang sudah terbiasa mengutil, dan penyakit ngghosobnya sudah demikian akutnya, barangkali stadium tiga, sehingga tak
peduli siapapun yang akan jadi korbannya. Atau bisa jadi, ia santri yang
sengaja mengambil gapyak itu untuk disimpan dan dijadikannya kenang-kenangan,
tuk diambil berkahnya (Tapi, masak ada?! tabarruk kok dengan cara ngutil? Ada ada saja). Dan, semoga saja yang
mengambil bukan santri, tapi pemulung yang kebetulan lewat, saat para santri
sedang asyik shalat berjamaah. Sampai saat ini, sang pengghosob gapyak itu
masih misterius.
Babakan-Cirebon, 22/11/2013
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar