Tuesday, March 3, 2015

Wajah Ibu Kota

Oleh: Masyhari

Jakarta, bagiku wajahnya sungguh mengerikan. Betapa tidak? Bukan hanya kemacetan yang bukan lagi terasa aneh. Kendatipun, hingga saat ini, tiada seorang pun yang benar-benar merasa nyaman atau tentram dengannya. Di saat panas menyengat, sekujur badan bercucuran keringat, sementara ia di dalam jebakan kemacetan jalan raya. Tak hanya itu, polusi asap kendaraan bermotor pun sangat mengganggu nafas.

Jakarta, begitulah kondisi jalanannya, macet, asap dan keringat. Dan, lebih miris lagi, kesenjangan sosial dan ketidakmerataan pembangunan.

Terkait kemacetan, sampai hari ini, mungkin Pemda sudah berusaha menanggulanginya. Mulai dari kebijakan 3 in 1, kawasan khusus kendaraan berpenumpang tiga orang atau lebih pada pagi jam berangkat kerja dan sore hari, jam pulang kerja, hingga peningkatan jumlah infrastruktur jalan raya, jalan layang, jalan tol dalam kota, dan pada akhirnya mono rel pun mulai dikerjakan pembangunannya. Mungkin, itu juga bagian dari usaha pemerintah untuk menanggulangi kemacetan. Ya, usaha tinggallah usaha. Kenyataan tak dapat dihindarkan. Sebab, semakin hari, kemacetan kian parah. Menurut hematku, aturan tersebut kurang efektif, meskipun ada pengaruh positifnya, meskipun tidak segnifikan. Namanya juga usaha. Dan, itu patut diapresiasi dan disambut baik oleh masyarakat.

Bila dicermati, akar dasar penyebab kemacetan, biang keroknya, adalah meningkatnya jumlah kendaraan pribadi, yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah penghuni Jakarta. Hal ini disebabkan oleh pesatnya angka kelahiran dan melonjaknya angka urbanisasi. Yang kedua ini berpengaruh pada membludaknya warga tak resmi, gembel-gembel jalanan, pengamen bus kota, pedagang asongan dan kaki lima [ilegal].

Lantas, apa korelasi antara kemacetan dan ketidakteraturan penduduk kota? Keduanya, sangat menganggu ketertiban, mengakibatkan kesemrawutan, dan ketidaknyamanan akan muncul akibat keduanya. Pada akhirnya, pemerintah pun membuat kebijakan pengusiran dan penggusuran.

Kemudian, apa solusianya? Karena, sebagaimana yang penulis ungkapkan di atas, sumber utama kemacetan adalah meningkatnya kuantitas kendaraan (mobil) pribadi yang mondar-mandir memadati jalanan, maka solusi yang tepat, menurut penulis adalah (pertama) dibuat peraturan pemerintah atau regulasi untuk membatasi pemelian atau kepemilikan kendaraan (mobil-motor) pribadi. Misalnya, setiap keluarga dibatasi hanya boleh memiliki satu mobil, dan kalaupun memang sangat darurat, sehingga harus punya dua, harus melalui izin, dan ini pun dilakukan dengan ketat. Selain itu, pemerintah atau pemegang kebijakan, harus melakukan upaya peningkatan kuantitas kendaraan umum dan kualitas pelayanannya, sehingga warga masyarakat merasa nyaman dalam berkendara, baik itu kereta api ataupun bus kota.

Selain itu, (ketiga) tentunya peran dan kesadaran masyarakat dalam membantu mengurangi kemacetan sangat penting, dengan mentaati peraturan yang dibuat, dan lebih mengutamakan bepergian menggunakan kendaraan umum daripada pribadi.

Fenomena lain yang tidak kalah membuat gatal di dalam otak adalah membludaknya jumlah anak jalanan, di setiap sudut jalan kota, di dalam bus kota dan lampu merah, anak jalanan menadahkan tangan, pengamen kecil yang tak sempat nikmati indahnya bermain dan manisnya dunia pendidikan. Keadaan lah yang menuntut mereka untuk mengamen atau menggembel, dalam rangka mempertahankan hidup. Yaitu melakukan sesuatu yang bisa dilakukan, tanpa panjang pikir dan pertimbangan. Untuk sesuap nasi, rela mempertaruhkan diri. Demi sekeping uang receh, rela terkena oceh. Alasan untuk biaya sekolah pun kerap terucap dari bibir mereka atau mereka tuliskan dalam lembaran amplop sebagai “proposal” untuk para penumpang bus kota yang berpolusi itu.

Lantas, di manakah tangan-tangan orang kaya yang dermawan? Mengapa mereka tak terjamah oleh yayasan-yayasan sosial, oleh para milyuner dan pengusaha besar? adakah mereka sudah tidak bisa merasakan ganjilnya dan ketidakseimbangan kehidupan ini? Di manakah departemen kesejahteraan rakyat? Di manakah presiden?! Saat kampanye engkau umbar janji-janji dan kepalsuan, dalam pidato yang berapi-api. Di mana anggota DPRD yang telah dipilih oleh rakyat?

Kebijakan yang selama ini dilakukan untuk alasan ketertiban dan keindahan dari aparat pemerintah adalah penggusuran dan pengusiran warga ilegal, tak punya izin resmi, meskipun mereka sudah bayar ‘upeti’ untuk oknum dari pemerintah. Mengapa mereka tidak ditempatkan pada lokasi khusus dan dibuatkan tempat tinggal dan berusaha yang layak. Toh, mereka juga warga negara Indonesia. Namun, yang tak habis pikir, mengapa masih juga banyak penduduk desa yang datang berduyun-duyun ke ibu kota, tanpa berpikir panjang, hanya modal nekat (mbonek), dan nyali besar. Padahal untuk hidup di kota, itu saja tidak cukup. Hidup di ibu kota, apalagi, harus punya tempat tujuan yang sudah jelas dan bisa menjanjikan hidup layak. Selain itu, punya ilmu “fikih” Jakarta adalah senjata ampuh untuk bisa bertahan dan memenangkan kerasnya pertempuran di medan laga Jakarta, peperangan yang penuh dengan ketegangan dan kebrutalan. Pertempuran yang menghasilkan antara kesejahteraan atauhkah kematian.

(Ditulis di Jakarta pada 19 Mei 2005 dalam bus Metromini 75 Blok M - Pasar Minggu. Ditulis ulang di Cirebon, 03/03/2015)

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...