Oleh: Masyhari
Jakarta, bagiku wajahnya sungguh mengerikan. Betapa tidak?
Bukan hanya kemacetan yang bukan lagi terasa aneh. Kendatipun, hingga saat ini,
tiada seorang pun yang benar-benar merasa nyaman atau tentram dengannya. Di
saat panas menyengat, sekujur badan bercucuran keringat, sementara ia di dalam
jebakan kemacetan jalan raya. Tak hanya itu, polusi asap kendaraan bermotor pun
sangat mengganggu nafas.
Jakarta, begitulah kondisi jalanannya, macet, asap dan
keringat. Dan, lebih miris lagi, kesenjangan sosial dan ketidakmerataan
pembangunan.
Terkait kemacetan, sampai hari ini, mungkin Pemda sudah
berusaha menanggulanginya. Mulai dari kebijakan 3 in 1, kawasan khusus kendaraan
berpenumpang tiga orang atau lebih pada pagi jam berangkat kerja dan sore hari,
jam pulang kerja, hingga peningkatan jumlah infrastruktur jalan raya, jalan
layang, jalan tol dalam kota, dan pada akhirnya mono rel pun mulai dikerjakan
pembangunannya. Mungkin, itu juga bagian dari usaha pemerintah untuk
menanggulangi kemacetan. Ya, usaha tinggallah usaha. Kenyataan tak dapat
dihindarkan. Sebab, semakin hari, kemacetan kian parah. Menurut hematku, aturan
tersebut kurang efektif, meskipun ada pengaruh positifnya, meskipun tidak
segnifikan. Namanya juga usaha. Dan, itu patut diapresiasi dan disambut baik
oleh masyarakat.
Bila dicermati, akar dasar penyebab kemacetan, biang
keroknya, adalah meningkatnya jumlah kendaraan pribadi, yang diakibatkan oleh
peningkatan jumlah penghuni Jakarta. Hal ini disebabkan oleh pesatnya angka
kelahiran dan melonjaknya angka urbanisasi. Yang kedua ini berpengaruh pada
membludaknya warga tak resmi, gembel-gembel jalanan, pengamen bus kota, pedagang
asongan dan kaki lima [ilegal].
Lantas, apa korelasi antara kemacetan dan ketidakteraturan
penduduk kota? Keduanya, sangat menganggu ketertiban, mengakibatkan
kesemrawutan, dan ketidaknyamanan akan muncul akibat keduanya. Pada akhirnya,
pemerintah pun membuat kebijakan pengusiran dan penggusuran.
Kemudian, apa solusianya? Karena, sebagaimana yang
penulis ungkapkan di atas, sumber utama kemacetan adalah meningkatnya kuantitas
kendaraan (mobil) pribadi yang mondar-mandir memadati jalanan, maka solusi yang
tepat, menurut penulis adalah (pertama) dibuat peraturan pemerintah atau
regulasi untuk membatasi pemelian atau kepemilikan kendaraan (mobil-motor) pribadi.
Misalnya, setiap keluarga dibatasi hanya boleh memiliki satu mobil, dan
kalaupun memang sangat darurat, sehingga harus punya dua, harus melalui izin,
dan ini pun dilakukan dengan ketat. Selain itu, pemerintah atau pemegang
kebijakan, harus melakukan upaya peningkatan kuantitas kendaraan umum dan
kualitas pelayanannya, sehingga warga masyarakat merasa nyaman dalam
berkendara, baik itu kereta api ataupun bus kota.
Selain itu, (ketiga) tentunya peran dan kesadaran masyarakat
dalam membantu mengurangi kemacetan sangat penting, dengan mentaati peraturan
yang dibuat, dan lebih mengutamakan bepergian menggunakan kendaraan umum
daripada pribadi.
Fenomena lain yang tidak kalah membuat gatal di dalam
otak adalah membludaknya jumlah anak jalanan, di setiap sudut jalan kota, di
dalam bus kota dan lampu merah, anak jalanan menadahkan tangan, pengamen kecil
yang tak sempat nikmati indahnya bermain dan manisnya dunia pendidikan. Keadaan
lah yang menuntut mereka untuk mengamen atau menggembel, dalam rangka
mempertahankan hidup. Yaitu melakukan sesuatu yang bisa dilakukan, tanpa
panjang pikir dan pertimbangan. Untuk sesuap nasi, rela mempertaruhkan diri.
Demi sekeping uang receh, rela terkena oceh. Alasan untuk biaya sekolah pun
kerap terucap dari bibir mereka atau mereka tuliskan dalam lembaran amplop sebagai
“proposal” untuk para penumpang bus kota yang berpolusi itu.
Lantas, di manakah tangan-tangan orang kaya yang
dermawan? Mengapa mereka tak terjamah oleh yayasan-yayasan sosial, oleh para
milyuner dan pengusaha besar? adakah mereka sudah tidak bisa merasakan ganjilnya
dan ketidakseimbangan kehidupan ini? Di manakah departemen kesejahteraan
rakyat? Di manakah presiden?! Saat kampanye engkau umbar janji-janji dan
kepalsuan, dalam pidato yang berapi-api. Di mana anggota DPRD yang telah
dipilih oleh rakyat?
Kebijakan yang selama ini dilakukan untuk alasan
ketertiban dan keindahan dari aparat pemerintah adalah penggusuran dan
pengusiran warga ilegal, tak punya izin resmi, meskipun mereka sudah bayar ‘upeti’
untuk oknum dari pemerintah. Mengapa mereka tidak ditempatkan pada lokasi
khusus dan dibuatkan tempat tinggal dan berusaha yang layak. Toh, mereka juga
warga negara Indonesia. Namun, yang tak habis pikir, mengapa masih juga banyak penduduk
desa yang datang berduyun-duyun ke ibu kota, tanpa berpikir panjang, hanya
modal nekat (mbonek), dan nyali besar. Padahal untuk hidup di kota, itu saja
tidak cukup. Hidup di ibu kota, apalagi, harus punya tempat tujuan yang sudah jelas
dan bisa menjanjikan hidup layak. Selain itu, punya ilmu “fikih” Jakarta adalah
senjata ampuh untuk bisa bertahan dan memenangkan kerasnya pertempuran di medan
laga Jakarta, peperangan yang penuh dengan ketegangan dan kebrutalan. Pertempuran
yang menghasilkan antara kesejahteraan atauhkah kematian.
(Ditulis di Jakarta pada 19 Mei 2005 dalam bus Metromini 75 Blok M - Pasar Minggu. Ditulis ulang di Cirebon, 03/03/2015)