Kemarin Senin siang (25/01/2016),
terik mentari cukup menyengat, meski beberapa hari ini hujan sedang asyik turun
temurun dari langit. Di tengah perjalanan dari rumah [tinggal] menuju tempat
bertugas di jalan Cipto Kota Cirebon, hari itu saya melalui Desa Dawuan (Tengah
Tani). Biasanya, saya melalui jalan dalam perkampungan, dengan rute: jembatan
gantung atas sungai Kedung Pane-sebrangi jalan Sultan Ageng Tirtayaa – Irigasi -
Tuk –Cidengjaya - belok Kanan - Jalan Cipto). Namun, karena jalannya
berkelok-kelok, banyak ditemukan berlubang, dan cukup jauh, beberapa hari
terakhir ini saya lebih memilih melalui jalan protokol, jalan utama Cirebon
(Cirebon-Bandung).
Di bilangan jalan raya Kemlaka,
tepatnya di jembatan atas sungai Kedung Pane, tampak oleh saya seorang pria
berdiri di samping becaknya. Dengan agak terburu², pria ini membuang karung,
kemudian kantong plastik kresek besar, yang [sepertinya] berisi sampah ke kali
di bawah jembatan. Sementara beberapa karung dan kantong plastik yang juga
berisi sampah memenuhi becaknya, juga akan dibuangnya di sungai itu.
Lalu lintas kendaraan di sekitar atas kali siang itu cukup padat. Hilir mudik manusia berkendaraan, mulai dari roda dua hingga roda empat melewati, dan mungkin juga saksikan kelakuan pria tersebut. Sayangnya, saat itu saya terburu² harus segera sampai tempat ngajar, hingga tak sempatkan turun, tegur orang itu. Hanya klakson motor yang sempat saya pencet beberapa kali, sebagai "sapaan". Kulihat sekilas, tak seorang pun dari pengguna jalan yang turun untuk menegurnya. Mungkin, mereka punya alasan yang sama, dikejar waktu, atau barangkali memang tak peduli, atau bisa jadi karena tak berani, atau karena merasa bukan wewenangnya (lantas, wewenang siapa?).
Entah dari mana orang
tersebut berasal. Bisa jadi, ia hanya 'petugas kebersihan' di sebuah pemukiman yang
harus buang sampah, tapi tak tahu harus dibuang ke mana. Dikiranya KALI
adalah alternatifnya. Bisa pula, itu adalah sampah dari rumah pribadinya. Tapi, soal asal-usulnya, itu sebenarnya tak terlalu penting. Yang terpenting, pria itu dan semacamnya sangat butuh
edukasi.
Sungai Kedung Pane merupakan
sungai yang cukup besar dan panjang, terbentang dari arah selatan Kota Sumber
Kab. Cirebon, melewati Kedawung (Desa Kedungdawa, Kedungjaya, Kemlaka, Pilang
Setrayasa), hingga ke Kota Cirebon. Sungai yang cukup potensial tuk sebagai
Kanal Banjir, menampung debit air hujan bila musim penghujan seperti ini.
Selain sebagai sarana mandi, bernenang, hiburan dan berwisata bagi warga, bila
airnya jernih dan bersih, aman dari polusi. Sayangnya, ia telah tercemar oleh
limbah pabrik, limbah rumah tangga dan sampah. Bahkan, derasnya arus air kali
sepanjang hujan turun, tak jua mampu menyeret bersihkan sampah yang sudah
menggunung tinggi debitnya.
Masalah sampah masih menjadi PR
besar bagi kita semua, Pemkot Cirebon, Pemkab Cirebon, Dinas Kebersihan dan
Pertamanan, pun menjadi tanggung jawab setiap warga masyarakat. Diakui atau
tidak, masyarakat kita belum tertib dan sadar akan kebersihan dan keteraturan.
Masih sangat egois, berpikir instan. “Ah, yang penting mah rumah saya bersih,
tak peduli lingkungan”. “Yang terpenting lingkungan saya bersih, tak peduli
tetangga desa”. Sehingga, yang terjadi adalah buang sampah tidak pada
tempatnya. Langkah yang harus segera dilakukan, tiada lain kecuali edukasi
terhadap warga masyarakat, tentang ketertiban dan kebersihan. Kerja ini bisa
dilakukan oleh swasta, LSM atau pihakdinas/ pemerintah yang peduli.
Namun, nyatanya, sampah ternyata
masih menjadi problem besar umat manusia di dunia modern dengan teknologi
secanggih ini! Semestinya, problem sampah yang akut ini bisa mudah ditangani,
bila mau. Kemajuan teknologi harusnya bisa bantu tuk ciptakan mesin pengelola
sampah, khususnya komposisasi. Toh, kita punya IPB dan lembaga pendidikan lain
yang telorkan tenaga profesional tuk pengelolaan dan pengolahan sampah, untuk
daur ulang, kompos, dsb. Para ahli cerdik cendekia di bidang persampahan (bc:
sarjana sampah) ini bisa melakukan semacam edukasi dan pembinaan terhadap
warga. Sehingga tak warga tak perlu pusing harus dibuang kemana sampah rumah
tangga tersebut.
Sedangkan untuk limbah dan sampah
pabrik, pihal dinas dan pemerintah harus TEGAS dalam bertindakdan tidak mudah
keluarkan ijin operasi, sebelum penuhi syarat kenyamanan lingkungan dengan
melakukan Analisis Dampak Lingkungan (AmDaL) yang cermat dan mendalam. Bila ada
pabrik nakal, menyalahi aturan, pihak dinas atau yang berwenang harus tegas,
segera menghentikan operasinya dengan mencabut ijin dan mensegelnya.
Bagaimana dengan para pekerjanya? Nganggur dong!
Pernah suatu ketika, saya
terlibat obrolan ringan dengan S, salah seorang pejabat satu desa di Kecamatan
Kedawung menyoal keberadaan pabrik Jeli di jalan Sultan Ageng Tirtayasa.
Menurut S, pabrik tersebut berdampak negatif bagi lingkungan hidup di
sekitarnya. Sungai Kedung Pane yang berada tepat di sebelah baratnya pun
tercemar oleh limbahnya. Warna air sungai yang menghitam, tak lagi jernih dan
beraroma busuk, sangat tak nyaman di hidung.
“Selain itu, beberapa tahun
terakhir, sumber air di desa sekitar pabrik mengalami kekeringan. Sebelum
pabrik itu berdiri, seingat saya belum pernah terjadi,” Ungkap S. “Bagaimana
tidak? Di dalam pabrik tersebut terdapat lebih dari sepuluh titik sumur bor dengan
mesin berekuatan tinggi. Hanya saja, bila ada pemeriksaan dari dinas terkait,
sumber-sumber tersebut disembunyikan. Dan, tidak menutup kemungkinan, bila
keberadaan sumber-sumber air tersebut ketahuan, mulut mereka pun disumpal duit,
agar tidak berkoar.” Lanjut S, mengutip info dari istrinya.
“Bahkan, bila ada kunjungan dari
dinas, sebagian buruh diliburkan. Entah kenapa? Pasti ada sesuatunya!”
“Bagaimana tidak habis terkuras sumbernya? Lahwong, setiap harinya, 4-5 truk
keluar mengangkut jelly. Semuanya dari air loh!” Tandasnya.
“Tapi, gimana ya? banyak dari
warga desa sekitar yang bekerja menjadi buruh di pabrik tersebut. Bahkan, istri
saya juga bekerja di sana. Lumayan untuk membantu menambah pendapatan”, Ungkap
S penuh dilema. “Bila pabrik ditutup, tentu akan menambah jumlah pengangguran.
Lumayan loh gaji pekanannya.”
Lagi, menurut S, banyak warga
yang memilih kerja di pabrik, karena faktor jarak yang dekat. Selain itu,
tentunya karena hanya modal otot, tak perlu mikir istribusi dan pemasaran,
berbeda bila mereka membuka bisnis atau industri rumahan sendiri.
Diakui atau tidak, bekerja di
pabrik bukanlah pekerjaan yang nikmat dan diinginkan oleh banyak orang. Bila
ada yang lebih menjanjikan, mungkin mereka lebih memilihnya, dan meningalkan
bekerja di pabrik, layaknya mesin. Kerja seharian dengan gaji tak mencukupi
kebutuhan sebulan. Namun, apa boleh buat. Bagi banyak orang, ini adalah pilihan
satu-satunya, sementara.
Lantas, solusinya?
Para cerdik cendekia, kaum
sarjana dan LSM, semestinya mampu untuk ikut memikirkan hal ini, dengan
melakukan semacam edukasi dan bimbingan. Bisa dengan membuat kursus atau
pelatihan, selanjutnya membuka peluang bisnis rumahan, ekonomi kreatif, dan
lain sejenisnya. Para pengusaha swasta, dinas terkait dan pemerintah daerah seharusnya
juga aktif melakukan edukasi terhadap masyarakat grassroot. Sehingga mereka tidak lagi
mengandalkan pabrik nakal sebagai tempat satu-satunya untuk bekerja. Tetapi,
mereka jadikan rumah-rumah mereka sebagai “pabrik” yang memproduksi
produk-produk kreatif yang bisa dijual dan dipasarkan. Pemerintah dan dinas
terkait pun turut mendukung, mempromosikan dan memasarkan produk-produk
tersebut. Sehingga, jasa atau barang hasil produksi mereka tidak hanya bisa
menutupi kebutuhan dapurnya, namun bisa pula diekspor, dan meningkatkan marwah dan
income daerah.
Itu bila pemerintah dan dinas
terkait mau bergerak, taat pada sumpah jabatannya dan bisa jadi teladan bagi
rakyatnya, pun juga tidak bisa jadi jaminan, masyarakat akan tertib. Apalagi
bila melihat kondisi para pejabat/ birokrat yang masih setengah hati, mudah
disuap dan suka nyari tambahan gaji dari pungli, mungkin nunggu seribu tahun
lagi, kalau kiamat tak mendahului. Namun, dengan niat tulus dan kemauan tinggi
tuk reformasi birokrasi, niscaya semua kan bisa terjadi. Sebab, tak ada yang
tak mungkin di dunia ini.
Wallahu a'lam
Cirebon, 26-28/01/2016