MengaisEmbun.blogspot.com - Cirebon bisa dibilang [amat] terbuka dengan "pendatang" atau urban. Bahkan, ia dikenal dengan kota transit, yang kalau boleh aku artikan, di Cirebon, kota persinggahan, dimana banyak manusia dari berbagai daerah dan beraneka macam suku bangsa dan agama singgah dan bahkan tak jarang yang menetap.
Rasanya, cukup sulit (bagiku khususnya) mengklasifikasikan termasuk suku mana penduduk aseli daerah ini, Sunda bukan, Jawa tidak semua. Suku Cirebon kah? Ya, memang lebih dekat dengan Jawa secara tradisi. Namun, hingga saat ini, Cirebon berada di bawah pemerintahan Provinsi Jawa Barat, dan bertautan cukup erat dengan Prabu Siliwangi (Pasundan). Hanya, secara bahasa lebih dekat dengan rasa Jawa, khususnya dalam kromo inggilnya. Dari sini, bisa dipahami munculnya wacana pemisahan Cirebon dari Provinsi Jawa Barat, dengan mewacanakan Provinsi Cirebon, yang beranggotakan daerah dan kota se wilayah III (Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kab. Indramayu, Kab. Kuningan, Kab. Majalengka) dan (konon ditambah) Brebes. Mungkin masih dan hanya akan menjadi sebatas wacana. Soal batas antara Kota dan Kabupaten saja, masih berebutan.hehehe
Memang, suku Jawa dan Sunda cukup mayoritas di sini. Namun, di Cirebon, tinggal berbagai macam suku bangsa dan etnis, sebut saja China (Thionghoa), Arab, Padang, dsb. Bahkan, sejarah Cirebon tak lepas dari Muslim Tiongkok. Cirebon dahulu merupakan kota pelabuhan. Di kota Cirebon era kini, sependek pengamatan dan pengalaman penulis, banyak warga pendatangnya. Bila hari Minggu pagi, di sekitar stadion Bima Cirebon rutin banyak warga berdatangan untuk berolahraga. Tampak dari wajah, penampilan, bahasa dan plat nomor mobilnya, mayoritas mereka bukan aseli penduduk Cirebon, melainkan Bandung, Jakarta, dan lain sebagainya.
Penduduk aseli Cirebon, sependek pengalamanku, cukup welkam dengan pendatang. Mereka (lagi-lagi sependek pengalaman penulis, jauh lebih Welkam daripada warga aseli Ibu Kota). Belum pernah, terdengar di telingaku, di sini terdengar istilah "pribumi" dan "non pribumi", sebagaimana kerap didengar sewaktu di Jakarta. Seorang pendatang di sini cukup mudah membaur dalam masyarakat yang seheterogen Jakarta, dan penduduk aseli tidak merasa "terjajah" dengan keberadaan warga pendatang. Bahkan, sependek pengalamanku "singgah" di 3 desa yang berbeda, rerata ketua RT/ RW dan Kepala desanya cukup senang dengan kedatangan warga barunya, apalagi warganya.
Jadi, kurang tepat (bila tak dikatakan salah) bila ada yang bilang, "diskriminasi rasial cukup kental di sini"! Bila rasa itu ada pada seseorang, mungkin itu lebih pada rasa dirinya sendiri. Mungkin, ia yang kurang bisa membaur dengan masyarakat.
Sebagai pendatang dari Lamongan Suara Lamongan, cukup (gimana ya?), hampir rata di sepanjang jalan protokol dari ujung barat Cirebon hingga Majalengka ke Barat dan Inderamayu ke utara, bertebaran warung tenda pecel lele Lamongan.
Bukti lainnya, dikau pernah mendengar nama "Buya Yahya" bukan? Dari mana kah asal beliau? Yang pasti, di Cirebon, beliau diterima dengan baik dakwahnya. Bisa dibilang amat banyak jamaah yang ikut mengaji di LPD Al-Bahjah, lembaga yang diasuhnya. Tahu beliau berasal dari mana? Yupz, beliau berasal dari Jawa Timur, alumni Dalwa Bangil Pasuruan, bukan putra aseli Cirebon.
Ini rasaku! Gimana rasa loe?!
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar