Saturday, November 2, 2013

Air zam-zam, ‘suplemen’ pengabul doa

(Sebuah kisah nyata, untuk fp “Asma Nadia”)
Saat itu, sekitar tahun 2008an. Senang sekali rasanya, seorang teman yang baru pulang haji main ke kosan bawa air zam-zam. Alhamdulillah. Meskipun sekedar satu gelas kecil. Saya teringat materi kuliah "tauhid", bahwa diantara tabarruk dengan benda2 yg dipebolehkan yaitu dg air zam-zam.. kata Nabi, ماء زمزم لما شرب له” air zam-zam itu bermanfaat (dengan harapan doa tertentu) saat meminumnya.”
Begitu juga: ماء زمزم طعام طعم وشفاء سقمair zam-zam itu makanan yang bergizi dan obat penyakit.”
Mungkin bukan sebuah kebetulan, bahwa Allah telah mengirimkan sebuah media kemudahan. Saya saat itu sedang proses komunikasi dengan calon istri dan calon mertua, juga kepada orang tua yg waktu itu belum sepenuhnya menyetujui “kenekad”anku. Maklum, saat itu aku masih kuliah semester 4 lagi, usiaku jg baru 23 tahun lebih sekian bulan, belum bekerja, hany mengandalkan beasiswa. Langsung saja, dengan baca basmalah, dalam hati kuberdoa, “Ya Allah, mudahkanlah urusanku. Ya Allah kupinta ridhamu, dan mudahkanlah aku untuk mendapatkan restu dari orang tuaku.”
Seteguk, dua teguk segarnya air zam-zam yang barokah itu merasuk ke dalam tubuhku. Terimaksih kawan.Setelah berdoa, jangn lupa diiringi dengan usaha. Melalui bibiku, yang kebetulan “suara”nya cukup didengar oleh ortu. Aku mencoba meyakinkannya dan meminta beliau untuk mendukung rencanaku, dan sekedar meyakinkan ortuku.
Ramadhan 2008 tiba, alhamdulillah, doa restu dari ibuku sudah kukantongi, sementara pihak calon dan mertua sebelumnya baru bersifat setuju, namun belum berbicara tanggal, sebab mereka saat itu masih di pulau Boreneo, bekerja jd buruh tambang. Dan calon istri saat itu hendak dibawa mereka serta ke sana setelah musim libur lebaran usai. Dengan mempertimbangkan banyak hal, diantaranya aku tak ingin menunda lagi rencana itu, bila persetujuan itu sudah didapatkan dr semua pihak, tunggu apa lagi!! Aku mencoba mengkomunikasikan, walau sekedar via hp, baik sms atau telepon. Akhirnya, kami putuskan disegerakan bulan ramadhan ini juga. Keputusan yang sangat berani, dengan bermodalkan ”fee” terjemahan satu buku yg sangat kecil dalam segi nominal. Sangat mengejutkan memang. Tapi, kami saat itu yakin, bahwa yg terpenting bukanlah kemeriahan pesta, namun kesakralan ikatan pernikahan dan legalitas syar’i dalam sebuah hubungan. Hanya bermodalkan bismillah dan tawakkal, bahwa “bila Allah berkehendak, tak ada yang dapat menolak.” Segera kami ke KUA kecamatan setempat, menggali informasi terkait persayaratan pernikahan dan berbincang tentang tanggal kesediaan waktu petugas dari KUA untuk mencatat nikah.
“27 Ramadhan 1428 H bertepatan dengan tanggal 27 September 2008, selepas shalat tarawih.” Demikian jadwal yang saya kantongi. Berkas-berkas pun segera kami urus, mulai dari surat pindah nikah, dsb. Persiapan dan kesempatan untuk mengurus itu hanya sekitar dua pekan. Sangat kilat, dan terkadang ngerasa dalam mimpi saja.“ankahtuka.. bla.. bla.. bla” Suara ijab itu terucap dari lisan bapak kiai yang menikahkan kami saat itu.
Entah kemana pikiranku melayang. Saat itu, jawabanku agak terlambat, “Qabiltu nikaahaha watajwijaha bilmahril madzkur.”“Kita ulangi ya. lebih cepat ya jawabannya!” Kata pak kiai.Beliau pun mengulang lafadz ijabnya.
Langsung kujawab cepat, “Qabiltu nikahaha watazwijaha bilmahril madzkuur.”
“bagaimana saksi?”“Sah... Sah... Sah!”Alhamdulillah.”
Alhamdulillah, saat ini kami telah dikaruniakan 2 putra-putri.Cirebon, 08/07/2013
 

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentar

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...