Memang, aku bukan ahli bahasa. Sehingga layak menulis tentang perbedaan antara “aku” dan “saya”, dan bagaimana penggunaannya. Karena, secara akademisi, memang ladang garapan ahli lingustik. Kemudian, pada akhirnya bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Namun, di sini, aku hanya ingin menulis esai, bebas, tidak peduli apakah dibaca orang atau tidak. Tidak peduli, tulisan ini dianggap, diindahkan, jadi bahan masukan, atau sama sekali diacuhkan isinya.
Mungkin, sebagian dari kita mengira bahwa “aku” adalah sinonim dari “saya”. Dan, sebagian lagi, mungkin memiliki pandangan bahwa kata saya lebih formal daripada kata “aku”. Saya anggap, kedua pendapat ini asumsi sementara. Karena masih sebatas persepsi. Dan aku pun boleh berpendapat, meskipun itu juga merupakan persepsi. Namanya persepsi, sangatlah subjektif dan nisbi, relatif. Bisa jadi, itu benar bagi satu orang, bagi orang lain bisa salah. Bisa jadi, menurut sebagian orang begini, namun menurut orang lain menjadi begitu.
Benarkah kata “saya” lebih formal daripada “aku”, sehingga lebih tepat dipergunakan menjadi kata ganti satu orang pertama (penulis atau pembicara) dalam suasanya kepenulisan atau momentum yang formal? Ataukah ia sebatas kebiasan dan kepantasan? Atau ada pakem tertentu yang mengatur kapan kita menggunakan “saya” dan kapan kita menggunakan “saya”?
Menurut pendapat Cholis Fuad Mutamakin, saat menanggapi beberapa orang sahabat dan saudaranya yang mem”protes” kebiasaannya menggunakan kata “aku” dalam mewakili kata ganti untuk dirinya, kata “aku” adalah padanan dari kata ana dalam bahasa Arab, sehingga ia lebih tepat dipergunakan untuk menjadi kata ganti (dhamir) dari seorang diri pembicara (mutakallim wahdah) dalam bahasa Indonesia. Sedangkan kata “saya”, ujarnya, adalah gubahan dari kata “sahaya” yang artinya budak, sebagaimana kata “abdi” dalam bahasa Sunda yang berarti aku, diadopsi dari bahasa Arab, yang juga berarti budak. Sementara kita adalah manusia yang bebas. Bukan saya, budak sahaya. Ungkapnya dalam status “fb”nya (خ. فؤاد المتمكني) tertanggal 14 September 2013. Sehingga, secara diksi, lebih tepat jika dipergunakan untuk menjadi padanan terjemahan kata “ana” dalam bahasa Arab dan “ I” dalam bahasa Inggris. Penggunaan kata "saya" merupakan euphemism, dan ini, menurut cak Fuad, menyesatkan. Baginya, orang yang menggunakan gaya euphimis adalam berbahasa, disebut orang yang terlalu sopan, dan bahkan bisa jadi sebaliknya (saru). Penggunaan kata "aku" adalah pilihan hidup, lanjutnya. Sehingga, cak Fuad tetap keukeuhmemakai kata “aku”, bukan “saya”. Untuk lebih jelasnya, berikut tulisan lengkapnya:
“Aku adalah aku. Aku = I (English) = ana (arab). Aku bukanlah saya (yang berasal dari kata saHAya). Saya = 'abduka (Arab) = your servant (English). Euphemism bisa menyesatkan, maka banyak kyai dari Kajen Pati yang ketika menerjemahkan kata Arab ke dalam bahasa Jawa, diterjemahkan apa adanya. Misalnya, dzakar (Arab dan ada dalam al-Qur’an) diterjemahkan konthol .. furujahunna (arab dan ada dalam al-Qur’an) diterjemahkan tempik-tempike wong-wong wadon .. Jadi para kyai di sana ketika ngajar kitab tahrir dan menerjemahkan kalimat wa'indaman tasyarodz dzakaru = wa’indama lan tatkalane ngaceng opo adzdzakaru konthol .. dst. Euphemism bisa menyesatkan. Bagiku, siapa pun yang menggunakan gaya euphimis dalam berbahasa, maka orang itu adalah orang yang, maaf, terlalu sopan. Terlalu sopan atau bahkan sebaliknya (dianggap saru) .. adalah pilihan hidup. Pilihan adalah sikap. Jika orang sudah memilih atau bersikap dalam hidupnya, maka siapa pun tidak punya hak untuk menggugat kecuali jika pilihan itu memang merugikan kepentingan publik.
Tentu, hal itu, jika objek yang kita ajak bicara adalah manusia. Berbeda halnya jika kita di hadapan Sang Pencipta, Allah subhanahu wa ta’ala.
Bahasa adalah cita rasa. Cita rasa akan membuat diksi kita lebih tepat. Cita rasa banyak dipengaruhi oleh kebiasaan, lingkungan dan pengalaman setiap orang. Kata “saya” memang lebih sering digunakan dalam momentum yang terkesan formal. Sehingga, rasanya kurang tepat, bila kita menggunakan kata “aku” dalam komunikasi formil. Namun, yang perlu diperhatikan adalah, bahwa persepsi itu memang dominan faktor kebiasaan saja. Karena tidak terbiasa, misalnya dengan kata “aku”, sehingga tidak tepat bila dipakai dalam komuniksi dalam suasana formal.
Memang, bahasa banyak dipengaruhi oleh kebiasaan dan adat bahasa komunikasi yang berlaku di tengah-tengah masyarakat dalam zaman. Sehingga, bahasa mengalami perkembangan, dari waktu ke waktu, sesuai perkembangan komunikasi yang dipakai manusia, pada komunitas tertentu.
Contoh saja, kata begadang. Kata ini baru muncul dalam KBBS, setelah dipopulerkan oleh bang Haji dalam lagunya. Barangkali penulisnya penggemar bang haji. Sebelum-sebelumnya, yang dianggap baku adalah bergadang. Berasal dari suku kata dasar “gadang”, mendapat awalan ber-, menjadi bergadang. Sementara “begadang” yang diambil dari lagu yang sangat populer itu, adalah kata dasar. Ya, kerena demikian populernya sang raja dangdung kala itu. Bahkan, disinyalir karena kepopulerannya, ia sudah mencalonkan diri jadi presiden RI pada pemilu tahun 2014 mendatang.
Pada suatu fajar di Cirebon, 12/11/2013
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar