Sistem
Pendidikan Belajar Tuntas
Hari M Ngaidin*
Karena mimpi itu tidak dilarang, bahkan positif bagi masa depan, bolehlah saya memimpikan
sebuah sekolah dengan sistem kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang
sesungguhnya. Dimana pengklasifikasian kelas bukan berdasarkan usia atau
lamanya masa belajar, namun berdasarkan pencapaian kemampuan individual peserta
didik. Sistem ini bisa juga disebut belajar tuntas. Memang, dalam mempelajari
suatu ilmu pengetahuan, tidak ada yang namanya tuntas dan tercover semua.
Tuntas di sini maksudnya, peserta didik mampu menembus nilai KKM (Ketunasan
Minimal), yaitu angka 6 atau 7 atau B. Dan, bagi peserta didik yang lulus pada
level tertentu dengan nilai 6 boleh memilih untuk tetap tinggal di kelasnya,
dan bila telah siap tes, dia segera diikutkan tes lagi. Sistem belajar tuntas
menjamin kualitas. Sehingga, hanya peserta didik yang siaplah yang diuji, dan
hanya yang siap-lah yang lulus.
Sistem ini tidak dibatasi oleh kurun waktu, periode,
semester ataupun catur wulan. Batasannya hanya kemampuan individu peserta
didik. Tes atau ujian naik level (kelas) bisa dilakukan kapan saja, yaitu
apabila dia telah siap untuk naik, dia langsung dites. Tes ini tetap dilakukan,
bertujuan untuk mengetahui tingkat penguasaan terhadap materi. Bahkan, harus
ada standar tententu. Yang punya kelas adalah guru. Sehingga, muridlah yang
masuk ke kelas guru mata pelajaran tertentu. Misalnya, kelas Matematika level
1, kelas Matematika level 2, kelas Kesenian level 1, kelas fikih level 3, kelas
Qiraati level 4, kelas IPA level 3, dan lain sebagainya. Dia tidak mempunyai
kelas permanen dalam satu tahun. Namun, dalam satu waktu yang bersamaan, dia
memiliki banyak kelas, sesuai jumlah pelajaran. Setiap pelajaran, bisa jadi
akan berbeda-beda level/ tingkatnya, sesuai dengan kapasitas/ kemampuannya.
Boleh saja bila sistem ini bisa dikatakan masih di
awang-awang, dalam bayangan, dalam mimpi. Akan tetapi, kalau kita mau jujur,
sebenarnya, sistem ini bukanlah baru. Secara praktik, telah dan masih
diberlakukan oleh pendidikan al-Qur’an metode Qiraati, lembaga kursus, dan lain
sebagainya. Bahkan, sistem ini sebetulnya telah dipakai dan sudah dipraktikkan
semenjak ratusan tahun yang lalu pada masa klasik, dan telah menghasilkan
ribuan ulama yang kredibel dan ahli. Dimana seorang santri datang ke rumah
seorang guru untuk mempelajari bidang ilmu tertentu, atau kitab tertentu (bertalaqqi
dan musyafahah), dengan cara bandongan (sima’ qiraah asy-Syekh ala al-murid)
dan sorogan (tasmi al-qiraah amama asy-Syekh) kepada seorang Syekh
(guru). Apabila dia telah dianggap menguasai oleh sang Syekh, dia diberi ijazah
dan direkomendasikan untuk belajar di syekh yang lain. Demikianlah sistem
pendidikan ulama kita terdahulu. Untuk membuktikan ini, kita bisa membuka
kembali cacatan biografi para ulama klasik Islam. Di sana kita akan mendapati,
bahwa mayoritas ulama dididik dengan sistem semacam ini. Sebut saja imam
asy-syafi’i, Ibnu Sina, al-Ghazali, asy-Syathibi, dan lain sebagainya. Bahkan,
sistem ini, disinyalir masih dipakai di beberapa halaqah kuttab di sejumlah
majid timur tengah, khususnya yang menggunakan sistem pendidikan tradisional.
Sistem ini sejalan dengan teori yang
dikembangkan dalam Multiple Intelligences, yang pertama kali diperkenalkan oleh
Dr. Howard Gardner, pada tahun 1983. Teori ini menyatakan bahwa setiap anak
cerdas, dan tidak ada anak bodoh. Setiap anak memiliki kapasitas/ kemampun
potensial yang berbeda. Dimana, setiap anak dan orang dewasa paling tidak
memiliki 8 kecerdasan sekaligus, namun dengan tingkatan yang berbeda-beda
setiap kecerdasannya.
Terkait standar ketuntasan materi mata pelajaran di
setiap level, di pelajaran Qiraati sudah jelas. Sedangkan pelajaran lain, masih
dalam pemikiran. Sehingga, sementara, bisa menggunakan diktat kurikulum yang
ada. Level 1 menggunakan diktat yang dipakai di kelas 1 SD, misalnya. Level 2
menggunakan diktat yang dipakai di kelas 2 SD, dan seterusnya. Untuk
perkembangan selanjutnya, sistem ini bisa membuat modul sendiri pada setiap
mata pelajaran, agar memiliki standar yang sama. Bisa jadi, setiap mata
pelajaran memiliki level yang berbeda-beda. Dan, tentunya, jenis mata pelajaran
dan tingkat kompleksitas pelajaran disesuaikan dengan tingkat usia dan
kebutuhannya. Semua ini secara teknis akan diperluas dalam pembuatan modul dan
kurikulum.
Saya bisa membayangkan, seandainya sistem ini
dikembangkan, nantinya, bisa digambarkan ada seorang anak yang berusia 7 tahun.
Bisa jadi, ia telah lulus TAS baca al-Qur’an metode Qiraati, dan hafal 10 juz
al-Qur’an. Sementara pelajaran matematika baru level 4, komputer 5, membuat
game level 3, desain grafis level 4, Syafawi Arabiyyah level 4, menulis Arab
dengan keybord level 5, English speaking level 3, IPA level 3, bicara bahasa
daerah level 4, kesenian level 5, bahasa Indonesia 6, sepak bola level 2, bulu
tangkis level 5, dan seterusnya, tergantung kapasitas individual anak.
Kelebihan Sistem ini
Sistem ini, menurut hemat saya sangatlah luar biasa bila
dikembangkan, juga memiliki prospek yang luar biasa bagi masa depan bangsa
Indonesia. Menurut asumsi saya, banyak sekali kelebihan dari sistem belajar
tuntas ini, diantanya, yaitu:
Pertama, dari sisi pendidik. Guru lebih
mudah menyampaikan materi pelajaran yang diampunya. Karena, peserta didik,
secara mental dan materi, telah siap. Sebab, dia masuk kelas sesuai dengan
levelnya.
Kedua, dari sisi peserta didik. Anak tentunya tidak merasa terbebani
dengan pelajaran yang diikutinya. Karena, sebelumnya telah melalui tes terlebih
dahulu, sesuai dengan kemampuannya. Dan, anak tidak ‘dipaksa’ mempelajari
materi yang bukan levelnya atau bidangnya.
Berbeda dengan yang terjadi di sekolah-sekolah formal
saat ini, bahkan termasuk sekolah saya dahulu. Dalam satu kelas, dengan jumlah
murid 25, yang berminat, nyambung dan siap dengan pelajaran matematika di kelas
hanya sekitar 5 murid. Bila yang terjadi demikian, tentu kasihan guru yang
mengajar, karena harus terbebani dengan murid yang tidak nyambung. Sementara 20
murid yang lain, juga sayang, waktunya terbuang, karena menyimak materi bukan
level dan minatnya. Padahal, akan lebih efektif bila mereka mengikuti pelajaran
sesuai dengan bidang yang diminati dan sesuai levelnya.
Ketiga, dari sisi orang tua. Dengan sistem ini, orang tua akan
mudah mengarahkan anak-anaknya dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi, mudah pula dalam memilih pekerjaan dan profesinya sesuai dengan
bakat dan kecenderungan anak, merujuk pada teori multiple intelligences, yang
menyatakan bahwa setiap anak pintar, dengan kecenderungan masing-masing. Karena
dengan sistem ini, secara otomastis, kecerdasan apa yang lebih menonjol dari
anak anak terdeteksi, yaitu bisa dilihat dari pencapaian akademiknya pada
masing-masing pelajaran.
Keempat, menariknya lagi, perusahaan akan
mudah sekali mencari karyawan. Yaitu dengan melihat sertifikat/ ijazah yang
dimilikinya, bisa diketahui dia menguasai bidang apa.
Salam perubahan, untuk membangun generasi Indonesia yang
unggul. Anda berminat? Mari bergabung dan saling berbagi!
Cirebon, 27/11/2013
* Hari M Ngaidin adalah nama pena dari Masyhari. Alumni fakultas Syariah
LIPIA Jakarta, 2010. Di sela-sela studinya, di LIPIA, penulis mengabdikan
dirinya mengajar al-Qur’an, selama kurang lebih enam tahun, di sebuah Taman Pendidikan
al-Qur’an di Jakarta Selatan dengan menggunakan metode Qiraati. Saat ini,
penulis singgah di Cirebon untuk menyelesaikan studi magister Ushul Fikih
program beasiswa PKU Kemenag di PPs IAIN Syekh Nurjati. Di sela-sela aktifitas
studinya, penulis juga sedang mendidik dua buah hatinya, Mohammad Nabil
Al-Fatih (4 tahun 3 bulan) dan Zahwa al-Kayyisah (2 tahun 2 bulan) bersama sang
istri tercinta di rumah dengan sistem homeschooling, sambil mempelajari
pendidikan anak secara autodidak, melalui buku-buku psikologi anak, dan lain
sebagainya. Penulis bisa dikunjungi di fb: Masyhari, weblog:
mengaisembun.blogspot.com, atau email: Masyharie@gmail.com
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar