Catatan Singkat tentang Fatwa
Hari M Ngaidin
Fatwa itu
bijak dan bijaksana, lihat maslahat dan ketepatan secara kekinian dan kesinian. Fatwa tidak berlaku kaku
dan tetap, bisa jadi akan berubah sesuai kondisi mustafti (pemohon),
negaranya (kesinian), zaman di keluarkan fatwa (kekinian). Fatwa itu bukan
hitam-putih, benar-sesat, akan tapi tepat atau tidak.
Fatwa harus mempertimbangkan faktor sosiologis,
psikologis dan antropologis, kekinian dan kesinian. Hasil fatwa ulama di suatu negeri,
atau daerah, misalnya Saudi, tidak serta-merta bisa diterapkan di Indonesia. Hasil
fatwa masa ulama abad 5 hijriyah, tidak serta-merta bisa diterapkan untuk saat
ini. Fatwa rokok misalnya. Di KSA, Saudi bisa jadi pas difatwakan haram, karena
di sana, pabrik rokok tidak banyak, atau bisa jadi tidak ada. Sementara di Indonesia,
banyak rakyat yg bekerja di pabrik-pabrik rokok dan sektor industri dan
ketenagakerjaan belum bisa menampung semuanya, apabila pabrik rokok ditutup...
dsb.. dalam fatwa rokok, harus mempertimbangkan kondisi sosial. Ya, meskipun secara
kenyataan, masih ada saja pegawai kedutaan KSA yg perokok.qiqiqi.. Kalau untuk
pribadi, rokok minimal makruh bagi saya, karena melihat baunya dan kandungannya
yang tidak cocok untuk kesehatanku, dan bisa jadi haram karena itu. Namun,
hukum ini tidak berlaku bagi yang lain. Jadi, fatwa itu itu sangat subjektif.
Contoh yang lain, fatwa ucapan selamat natal,
al-Qaradhawi berfatwa boleh. Fatwa itu beliau keluarkan berdasarkan kondisi
penanya, bagaimana, kapan dan dimana. Dengan melihat dan mempertimbangkan maqashid
syariah dan kemaslahatan yang ada.
Fatwa itu tepat atau tidak. Misalnya saja riba,
secara jelas haram dalam al-Quran. Jadi, tidak perlu fatwa keharaman. Yang diperlukan,
bila ada mustafti yang bertanya dengan kasus tertentu dan atau dengan dengan
gambaran transaksi tertentu, apakah masuk riba atau tidak, adakah alternatif
atau tidak, bila bagi perorangan telah masuk wilayah darurat, dia harus
bertransaksi dengan bank/ perkreditan, sementara belum ada alternatif bank
syariah/ Lembaga Keuangan Syariah, dia masuk darurat.. begitu fatwa MUI.. fatwa
itu lebih pada penerapan pada mukallaf. Dalam fatwa, maslahat dan maqashid
syari’ah harus dijadikan pertimbangan..
Fatwa bukan menentukan halal/haram.. tp, tepat atau
tidak. siap atau blm. krn itu ada sabda Nabi saw, "La tuballighum fa
yattakilu." (jangan kau sampaikan kpd mereka, kuatir mereka
akan merasa berat), padahal materi tersebut benar. Jadi, jangan asal fatwa, sementara
belum diketahui kondisi sosial yang ada.
Muhammad
Ali Al-Bakri asy-syafi, berkomentar: Rasulullah mentarjih maslahat dengan
meninggalkan tabligh. Karena tabligh, pada saat
itu kurang tepat waktu.. (Dalilul falihin li thuruq riyadhus shalihin),
hadits tsb Muttafaq alaih.
Karena itu al-Imam al-Bukhari
memberikan judul: “man khassha bil ilmi qauman duna qaumin karahiyyata an la
yafhamu (fa yattakilu)”
Soal fatwa ucapan selamat natal, bisa dilihat fatwa syekh
al-Qaradhawi, argumentasinya bisa dibaca di: “Dirasat fi fiqh maqashid
asy-syariah, hlm 269.
Yang rajih bukan berarti tepat untuk diterapkan dalam
tataran praktisnya. Oke, dalam waktu normal, baiknya kita terapkan dan laksanakan
yang rajih (menurut kita), seperti qunut shubuh misalnya. Selain madzhab Syafi’iyah,
qunut subuh marjuh. Tetapi, bila ternyata yang marjuh itu lebih maslahat dalam
waktu dan lokasi tertentu, maka bisa jadi yang marjuh jadi pilihan. Sebgaimana
ucapan selamat natal. Yang rajih bisa jadi adalah tidak boleh. Tetapi, dalam
kondisi tertentu bisa jadi yang marjuh jadi pilihan.
Wallahu a’lam
Cirebon, 16/12/2103
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar