Saturday, April 26, 2014

Mau Kemana Aku? (bagian 1)

Mau Kemana Aku?
Oleh Masyhari, Lc

Mau kemana aku?” Mungkin pertanyaan ini suka muncul
di kepalamu menjelang lulus SMA atau MA (Madrasah Aliyah). Biar kamu gak bingung mau kemana, barangkali ke LIPIA Jakarta, bisa jadi alternatif bagi kamu. Berikut ini cacatan dari Masyhari, Lc, alumni fakultas Syari’ah LIPIA Jakarta tahun 2010.

Mengapa dulu mengambil jurusan ini?

"Mengapa?” Cukup sulit menjawab pertanyaan yang filosofis begini. Coba bayangin bila seseorang ditanya, “Mengapa dulu menikah dengan si dia? Mengapa kau bisa cinta padanya, apa alasannya? Cukup sulit bukan! Jawaban yang paling mudah dan singkat, mungkin, “karena takdir”. Yupz, benar sekali, “Takdir Cinta”. Eh, kok malah nyasar ke cinta-cinta segala?! Ya, bicara soal kuliah tak jauh beda dengan cinta.

Dan, jawabannya adalah “karena takdir akademik”. Studi yang kita jalani dijamin enggak bakalan bertahan lama, bila kita tidak cinta, tidak suka dengan jurusan yang kita masuki. Intinya jurusan itu harus passion kita. Bisa kita bayangkan bila kita disuruh makan ikan, sementara kita ênêk sama bau amis, atau bahkan alergi sama yang namanya ikan!

Sebenarnya, saat masih di MI dulu, tak membayangkan akan bisa kuliah, apalagi bisa sampai ke Jakarta. Namun, ternyata takdir berbicara lain. Kendatipun ini soal takdir, namun takdir itu dijalani dengan proses, dan pada proses itu ada kisahnya. Kamu mau tahu kisahnya?

Kita kembali ke masa-masa MTs. Sejak saat itu, aku memang suka dengan bahasa Arab dan pelajaran Agama. Alasannya sih simpel, karena bahasa Arab itu mudah. Begitu pula dengan pelajaran agama. Entah kenapa, saat itu pelajaran agama Islam terasa tidak terlalu sulit saja, kecuali Faroidh, bagiku. Meskipun suka bahasa Arab, namun sayangnya, aku, gak suka sama yang namanya nahwu. Selama di MTs, di pelajaran ini nilaiku selalu jeblok, dan begitupula dengan hafalan alfiyah. Aku harus nerimo dengan nilai 6 koma di pelajaran ini. Karena memang, saat itu aku ndak mudeng apa yang namanya i’rab, mabni, jer, jazem, dsb, bahkan hingga sampai di ujung kelas 3 MTs.

Loh, kok bisa, gak suka nahwu tapi suka bahasa Arab? Bukankah nahwu identik dengan bahasa Arab?
Iya, nahwu memang identik dengan bahasa Arab. Namun, ternyata bahasa Arab tidak identik dengan nahwu. Saat itu, yang ada di otakku, pelajaran nahwu itu susah. Karena harus ngapalin alfiyah, memberi makna gandul bait-bait, dan memahami nahwu dari makna-makna bait itu.

Di kelas tiga MTs, aku pernah ikut diklat bahasa Arab yang diadain kakak-kakak dari MAK Tabah. Pesertanya tak hanya dari MTs Tabah, tapi dari madrasah-madrasah sekitar Lamongan-Gresik juga. Aku mendapatkan kesan yang luar biasa dari diklat ini, bahwa ternyata bahasa Arab itu tidak hanya gampang, tapi juga menyenangkan. Di sana, bahasa Arab disuguhkan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari dan juga hiburan. Berbicara, menulis dan bahkan bernyanyi dengan bahasa Arab. Mereka menerjemahkan lagu-lagu ke dalam bahasa Arab. Kalau mau bisa bahasa Arab, kata tutor, mulailah bicara dengan bahasa Arab. Tak usah dipusingkan soal tata aturan nahwu dan i’rabnya.

Dan, karena aku suka bahasa Arab dan pelajaran agama, aku pun masuk ke jurusan keagamaan (MAK) di Aliyah Tabah. Di jurusan ini, bahasa Arab jadi alat komunikasi wajib. Seluruh teks pelajaran pakai bahasa Arab, kecuali pelajaran tertentu. Dan, supaya maksimal belajarnya, dan bisa mengikuti kegiatan asrama yang menunjang kelancaran berbahasa Arab, sejak itu, aku tinggal di asrama, alias mondok. Sebulan sebelumnya, aku masuk Madrasah Diniyah. Aku masuk di kelas satu Madin. Teman sekelasku saat itu, rerata adik-adik kelas 1 MTs unggulan. Sayangnya, saat itu, pelajaran nahwu sudah masuk review, alias sudah khatam buku an-Nahwu al-Wadhih jilid I, sementara aku belum mudeng apa itu nahwu, apa itu i’rab dan tanda-tandanya. Karena memang belum mudeng, aku tak sungkan bertanya tentang i’rab, pada adik-adik yunior (secara umur), tapi senior di bidang Nahwu.

Di Madin, pelajaran nahwu diajar sama Kak Ahmad Millah. Di sela-sela mengajar Nahwu, kak Millah kerap mempromosikan kampus LIPIA, dengan sejuta kelebihannya.
“Kuliah di LIPIA luar biasa. Kita belajar bahasa Arab dengan pengantar perkuliahan pakai bahasa Arab semua dan seluruh proses pendidikan di sana ditempuh gratis, bahkan mendapatkan mukafaah (uang saku bulanan)?!” lebih kurang seperti itu komporan Kak Milah kala itu benar-benar menyihirku.

Sewaktu di MAK, pembinaan bahasa Arab benar-benar ditempa dengan baik. Hampir seluruh mata pelajaran berbahasa Arab. Pengajaran dengan pengantar bahasa Arab. Di asrama pun kita wajib berbahasa Arab. Hukuman pun siap mengancam bila ketahuan tidak berbahasa Arab.

Di saat aku kelas dua Aliyah, pesantren Tabah kedatangan guru utusan dari Al-Azhar Mesir, Ustadz Ibrahim namanya. Beliau tinggal di sebuah kamar di Ndalem [al-Maghfurlah] Romo Yai Baqir. Karena memang keseharianku sobo ndalem untuk ‘ngaji’ khidmah, nyapu dan ngepel, aku pun dapet kebagian rejeki nomplok, nemuin ‘durian runtuh’. Hampir setiap hari, aku bisa ketemu dengan beliau. Otomatis, aku sering berkomunikasi lisan dengan beliau menggunakan bahasa Arab fasih tentunya. Bahkan, aku juga bisa menyaksikan acara TV parabola berbahasa Arab di tempat beliau. Ini cukup memberi banyak sumbangsih dalam memperlancar bahasa lisanku. Dan, ternyata kehadiran tamu agung ini berkat jasa lobi Kak Millah juga.

‘Komporan’ kak Millah bukan sekedar bicara tanpa tindakan, tapi terus mem-follow-upinya. Hingga jelang kelulusan kita, kakak alumni MAK yang satu ini memberikan akses informasi yang lumayan gamblang tentang LIPIA buat kawan-kawan yang berminat ke sana. Kita pun dikiriminya contoh soal-soal tes masuk LIPIA dari Jakarta. Bahkan, ketika kita sudah di Jakarta, beliau sempatkan waktunya tuk membimbing kita mengerjakan latihan soal tes masuk.

Sebenarnya, keluargaku sudah punya rencana, selepas lulus Aliyah aku mau dimasukkan ke pesantren Sarang Rembang oleh pamanku. Pikir paman, biar bisa mendalami kitab kuning lebih mantab lagi. Lagi pula, ortu memang, katanya, tak siap biaya bila harus meng-kuliah-kanku. Namun, karena aku sudah sampaikan keinginanku untuk kuliah, ortu pun setuju tuk daftar kuliah berbeasiswa di LIPIA.
“Aku mau nyoba ikut tes kuliah beasiswa di Jakarta. Kalau tidak lulus, aku siap langsung ke pesantren Sarang.” Jawabku pada paman.

Sebagai santri, sebelum berangkat ke Jakarta, aku sowan dan memohon doa restu ke Romo Yai Baqir (rahimahullah rahmatan wasi’ah). Alhamdulillah beliau memberi angin segar. “Khudz ma shafa wa da’ ma kadara.” Begitu, kurang lebih dawuh beliau.

Alhasil, alhamdulillah ternyata aku lulus tes tulis dan lisan. Takdir mengantarkanku masuk LIPIA. Padahal, ada satu kawan yang notabene lebih pandai dariku ternyata tidak lulus tes. Inilah yang kusebut takdir akademik. Tak jauh beda dengan takdir cinta. Rencana ke pesantren Sarang pun urung. (bersambung)...

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentar

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...