Tuesday, April 22, 2014

Segenggam Sumpah

[Cuplikan Novel]
Karya Eni Ratnawati

Gadis muda itu bergegas pulang. Ditekannya dua-tiga buku ditangannya ke dadanya yang kerontang. Dipeluknya erat. Seakan angin dengan mudah dapat melemparkan buku-buku itu dari genggaman. Langkahnya kecil berkejaran dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Panas menggigit kulitnya. Peluh bermunculan seirama degup jantungnya. Semua itu membuat tubuh kurusnya semakin lemas, kepalanya terasa semakin berat. Sebuah penyakit yang belakangan ini kerap menyapanya. Mulanya ia bingung, namun, karena seringnya hal itu terjadi, kini ia mengerti, bahwa lemasnya badan dan beratnya kepala yang tidak wajar itu berhubungan dengan sarapan pagi. Ya, sarapan pagi.

Arum terburu-buru melepas jilbab putih kesayangannya dari atas mahkota kusutnya. Ditariknya kain itu dengan kekuatan sedemian rupa hingga terburailah rambut jeraminya yang berantakan. Sementara jilbab itu terkulai gemulai di atas lengannya yang masih enggan melepas buku-buku dari cengkraman jari-jemarinya yang kurus panjang. Kain segi empat itu polos, satu-satunya hiasan yang mungkin menarik perhatian adalah kerut-kerutnya yang hampir merata di setiap sudut dan jengkalnya. Bahkan jilbab kebanggaan itu tak lagi terlihat putih karena lecek dan lusuhnya tiada terkira.
Diacuhkannya Tiyas, Tika dan anak-anak ayam yang tengah asyik bermain di bawah rindang pohon jambu raksasa. Tak ada yang dipikirkannya selain makan. Tubuhnya akan tumbang jika tak segera diselamatkan. Tak ada siapapun di dalam rumah, hanya kucing-kucing kering yang juga lapar seperti dirinya. Kucing-kucing itu menatapnya meminta belas kasihan, sementara Arum menatap tudung biru di atas meja kayu seperti kerasukan.
Namun, betapa nelangsa hatinya, tak sesuatu pun tersisa untuknya. Tak ada apapun yang bisa mengganjal perutnya. Hanya piring-piring kosong, bakul kosong dan beberapa butir nasi yang berceceran, luput dari suapan. Ia menelan ludah. Kemudian menghampiri kendi dan meminum air sebanyak-banyaknya. Sekuat yang ia bisa. Sepenuh perutnya. Kucing-kucing itu menatapnya iba. Arum terduduk lesu di atas tanah, ingatannya melayang, mengantarkannya pada sesosok gadis yang selalu sibuk di depan tungku hitam dengan asap berbungkal-bungkal. Tungku itu akan selalu disana, di sebuah sudut yang akan terus menjadi istimewa baginya. Bahkan setelah kepergian ibu dan kakak pertamanya. Namun kini tungku itu selalu padam, karena tangan demi tangan telah meninggalkannya demi dan untuk suatu alasan. Menyisakan debu-debu hitam, sehitam kuku-kuku jarinya, sehitam masa depan perutnya.
Teriakan Tiyas dari luar sana membuatnya terjaga. Segera dia bangkit dan menjemput buku-bukunya yang bertelekan di atas meja, di samping tudung biru yang untuk kesekian kali telah mengecewakannya. Tidak seperti kemarin, kali ini Arum meninggalkan tudung biru dan dapur berjelaga itu tanpa perasaan hampa. Membiarkan rasa pahit terus bersemayam di hati hanya akan membuatnya semakin pusing dan mual. Apa lagi jika tenggorokan dan lidah ikut-ikutan bersekongkol menuntut haknya. Arum kembali menelan ludah. Seberkas senyum menyembul di bibir tipis pucatnya. Betapa pahit kehidupan yang dijalaninya, selalu saja muncul harapan yang bisa membuatnya tersenyum. Harapan, yang mungkin hanya tinggal harapan.
***
Menik, adalah sulung dari kelima kakak beradik itu. Dia lah yang bertugas menghidupkan tungku, menumbuk biji-biji jagung sampai hancur betul, kemudian mengukusnya di atas tungku yang saban sepuluh menit harus diumpani kayu-kayu kering. Dan jika apinya enggan melumat kayu-kayu itu, ia harus meniup-niup perapian itu dengan sabar, terkadang hingga meleleh-leleh air matanya, namun api nakal itu tetap menggodanya. Dia lah Menik, yang menyiapkan makan untuk keempat saudarinya, juga ayahnya.
Makanan itu memang selalu tersaji, tetapi seringnya, setelah Arum pergi sekolah. Dahlan sendiri tak mampu memberi anaknya itu uang saku. Ia petani  miskin, menyekolahkan anak-anak adalah beban berat, sekaligus kebanggaan yang bukan main-main.
Tapi sayangnya, sejak dua bulan yang lalu, Menik tak lagi pulang ke rumah. Ia diminta oleh seorang laki-laki dari keluarga yang cukup kaya, tentu Dahlan sangat senang menyambutnya. Menik menerima lamaran itu, meski usiannya terbilang sangat muda. Dua belas tahun. Dialah potret ihwal gadis kampungnya. Bagi mereka, pernikahan adalah satu-satunya pilihan. Satu-satunya pintu yang akan mengantarkan mereka pada kebahagiaan. Dan Menik, anak sulung itu menyongsong kemerdekaannya. Meninggalkan api, kayu, tungku dan asap hitam yang membelenggunya.
Bagi adik-adiknya, kepergian Menik adalah angin segar yang melambungkan angan dan harapan mereka. Sebuah angan untuk sebuah uluran tangan. Mereka menunggu hari itu. Hari dimana Menik menjelma seorang peri, yang dengan tongkat ajaibnya mampu menyulap lumbung-lumbung kosong itu menjadi penuh berisi. Sehingga mereka bisa makan nasi lagi dan absen dari penderitaan mencret-mencret karena usus mereka menggilas sego jagung setiap hari. Atau menyulap baju-baju kumal dan lusuh mereka menjadi baju-baju baru dan wangi, sehingga mereka tak perlu lagi risih ke sana ke mari. Bukankah kakaknya itu menikah dengan seorang laki-laki berada? Sungguh menyenangkan memimpikan itu semua. Dan bukankah sebentar lagi kakaknya yang kedua juga akan menikah? Ah, bahagianya..
Arum masih tersenyum, dilupakannya kepalanya yang berat. Ia tergolek di atas ranjang seperti pesakitan yang sekarat. Tatapannya kosong. Angannya telah jauh mengembara, meninggalkan jasadnya yang terkulai lemah. Tapi sesuatu lain membisik di hatinya, bersamaan dengan sapaan suara-suara samar tapi nyata yang sangat dihapalmya. Ya, bukankah ini jam untuk bermain? Sejak kapan pula dia mendekam di rumah karena perut yang melilit bukan main? Dihentakkannya kedua kaki telanjangnya di atas tanah merah kamarnya. Semangatnya kembali penuh seperti hari-hari sebelumnya.
Tepat di samping rumah kecil itu, tinggallah seorang wanita paroh baya bersama anak perempuannya. Anak itu seumuran Arum dan juga teman sepermainannya, Ajeng namanya. Ibu Ajeng, Komsatun, tak lain dan tak bukan adalah saudara Maimunah, yang berarti, bibi Arum.
Namun tragisnya hidup. Perbedaan keyakinan mencerai-beraikan pertalian darah di antara mereka. Hal ini memang sangat sensitif. Orang-orang desa bilang, ini menyangkut identitas dan kehormatan keluarga. Namun sebagian yang lain membantah, mengatakan bahwa itu semua tak lain adalah kesombongan dan keangkuhan yang bersembunyi di balik topeng kehormatan.
Entahlah! Yang benar, karena tak mampu mempertahankan sesuatu yang mereka sebut kehormatan itu, Maimunah dikucilkan oleh saudara-saudaranya. Ia diasingkan hingga akhir hayatnya. Dan pengasingan itu sangatlah mahal harganya. Anak-anak itu seolah hidup sebatangkara, tiada bersanak saudara. Anak-anak itu terlunta di pekarangan paman mereka. Dan kelaparan di dalam dapur bibi mereka. Betapa dahsyat efek dari sebuah pengkultusan. Pengkultusan terhadap sebuah keyakinan.
Arum memiliki bibi yang lain, yang terusir seperti ibunya. Sebabnya sama, karena menikah dengan laki-laki yang tidak segolongan dengan keluarga besarnya. Keluarga bibinya ini cukup terbuka. Tetapi apa yang dapat diharapkan dari seorang wanita miskin, yang memiliki anak jauh lebih banyak dari jumlah saudarinya plus kucing-kucing kering yang menetap di rumah mereka? Harapan angin.
Orang-orang dulu memang gemar sekali memiliki anak, rasa-rasanya, kurang mantab jika jumlah anak-anak itu belum mencapai belasan. Untungnya seruan Keluarga Berencana segera mendarat di telinga mereka. Namun begitu, ada juga yang masih enggan menerima program pemerintah itu. Bahkan, ada juga yang menolaknya mentah-mentah. Dalih mereka cukup kuat, banyak anak banyak rejeki. Jika kemudian pendapat itu terbanting dengan menelisik kehidupan mereka yang semacam itu, cukup kiranya dengan mengatakan: jodoh, rejeki dan pati itu urusan Gusti Allah, nggak ada satu pun makhluk yang mengetahuinya. Usailah sudah semua persoalan hidup mereka.
Arum juga memiliki seorang uwak. Tidak tanggung-tanggung, uwaknya ini seorang tokoh desa, kaya pula. Namanya Abdul Latip, panggilannya wak kaji. Memang benar laki-laki itu telah haji, tapi sangat disayangkan, pengkultusan itu benar-benar telah menutup hatinya, membutakan matanya, menepis takdir Tuhan, melupakan satu kenyataan bahwa anak-anak piatu miskin itu tak lain adalah keponakannya.
Siang mengganyang. Terik matahari semakin kalap membakar. Nun jauh di belakang desa, terdengar riuh suara anak-anak manusia. Teriakan mereka membumbung, mendengung-dengung, mengudara hingga terdengar di pucuk-pucuk pohon desa tetangga. Anak-anak kecil itu tak perduli garangnya matahari. Mereka berlarian di sawah-sawah yang tampak kosong melompong. Kemarau panjang membuat sawah-sawah itu terabaikan. Kering kerontang. Arum memperhatikan anak-anak itu dari kejauhan. Hasrat hatinya ingin terus bermain, tapi berat kepalanya dirasa bukan main-main. Perutnya kembali menggelepar. Ia beranjak pulang. 
“Kau sudah mau pulang?” Seorang pemuda dengan layang-layang ikannya menyapa ramah.
“Iya, Zul. Sawah panas.” Alih-alih menutupi separuh wajahnya dengan telapak tangan, Arum mengurut pelipisnya yang berdenyut-denyut. Pemuda itu tertawa lepas.
“Sejak kapan Arum binti Dahlan mundur dari panas?” Tawanya yang renyah mengambang di udara, masih terdengar meski pemuda itu telah berlalu meninggalkannya. Arum menatap punggung Zul dalam diam. Di himpitan ketiaknya yang basah, surai-surai ekor layangannya bergoyang-goyang seperti ikut menertawakannya. Dalam hitungan detik, gadis itu kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda.
Hingga sore menjelang, namun Dahlan tak juga kunjung datang. Arum dan kedua adiknya menunggu kedatangannya di pekarangan rumah, sambil menghitung satu-persatu petani yang pulang dari ladang-ladang mereka. Arum tak sabar, kedua adiknya apalagi. Ia kemudian menghambur ke jalanan. Berharap melihat sang bapak nyangking apa saja yang bisa mengusir lapar yang menggeletar di perutnya.
Namun, ia kembali kecewa, nelangsa, putus asa, dan lain sebagainya. Rasa lapar, kekecewaan dan rengekan adik-adiknya seolah telah mengacaukan otaknya. Tatapannya kini beralih pada dinding rumah berpagar tanaman pacar, tepat di samping rumahnya. Ia ragu, tampak memikirkan sesuatu. Sementara pikirannya berkecamuk, langkah kakinya telah mengantarkannya pada pagar rumah itu.
Rumah itu tidaklah besar, tua dan jeleknya hampir sama dengan rumah yang bercokol di sampingnya. Dikelilingi tanaman pacar, tinggi dan rapat, seakan-akan ingin menyembunyikannya dari amukan pohon raksasa yang berdiri garang di pekarangan rumah tetangganya. Bedanya hanya, rumah berpagar tanaman pacar itu terlihat lebih bersih, terawat, dan kucing-kucing yang nebeng tidur di sana pun tampak lebih gemuk berisi. Sebuah fakta baru mengatakan, bahwa kesejahteraan kucing-kucing itu adalah simbol kesejahteraan pemilik rumah. Kucing-kucing itu menyepakatinya.
 Arum berdiri mematung di sana, tak lagi maju walau selangkah. Gadis itu tak mampu mengangkat wajahnya. Entah apa yang ada di kepalanya. Sementara itu, seorang wanita setengah baya memperhatikannya dari dalam rumah. Segera ia menyambut tamu kecilnya. Wanita itu berhenti di ambang pintu. Ujung bibirnya dijinjit mengikuti sebelah alisnya yang tiba-tiba naik. Sorot matanya tajam menembus baju, kulit, daging, tulang, sebelum menukik tepat di hati Arum. Wanita itu benar-benar telah mengulitinya. Bahkan sebelum gadis itu sempat berkata-kata.
“Arum, masuk!”
Itu suara Ajeng. Tiba-tiba saja wajah gadis itu menyembul dari balik tubuh ibunya yang gagah tapi tidak perkasa. Matanya yang bundar mengerjap-ngerjap dengan imbuhan senyum semanis madu. Arum membalas senyum sahabatnya itu tanpa memikirkan reaksi Komsatun ataupun kata-kata yang akan dilontarkannya. Dan anehnya, perempuan gagah itu berlalu meninggalkan keduanya tanpa mengucapkan sepatah kata. Sungguh di luar kebiasaan dan watak normalnya. Arum sendiri enggan memikirkan apa dan kenapanya, kepergian Komsatun bagai angin segar yang tiba-tiba membebaskan sayap-sayapnya. 
Setelah ibunya benar-benar tak telihat, Ajeng tegesa-gesa masuk ke dalam rumah dan kembali lagi dengan bungkusan kecil di tangannya.
“Cepatlah, sebelum ibu pulang.”
Ajeng menyodorkan kedua tangannya. Dan tanpa menunggu jeda lebih lama, Arum balik kanan memutar tubuhnya setelah dua kata terakhirnya.  Namun, cara sembunyi-sembunyi itu ternyata tidak baik pada akhirnya.
“Apa itu ditanganmu?”
Komsatun berdiri gagah di pintu pagar rumahnya. Dan Arum hampir terjungkal terkejut menyadari penampakannya yang tiba-tiba. Semakin erat dia menggenggam bungkusan hijau di tangannya, itu pun dilakukannya tanpa sepenuh kesadarannya. Sosok Komsatun benar-benar menciutkan segalanya. Tubuh serasa kerdil, nafas menjadi sesak, mata menjadi lesak, dan lidah menjadi cekak. Dan tanpa perlu menunggu jawaban dari Arum, Komsatun merebut bungkusan hijau itu dari tangannya.
“Oh astaga!” Biji mata Komsatun mencuat seperti hendak meluncur dari kolongannya. “Bahkan sekarang kau sudah berani mencuri di terang hari.” Pekiknya setelah melihat isi bungkusan itu. “Yah, tentu saja. Kacang ora ninggal lanjaran.” Senyum Komsatun meliuk-liuk seirama dengan gerak bibirnya yang masih terus menerbitkan kata-kata bijaksana serupa mutiara. Arum sedikit pun tak berani menatapnya.  
“Bu..., bukan seperti itu, bu.” Ajeng yang berdiri di ambang pintu akhirnya membuka mulut berusaha membela sahabatnya.
“Diam kau. Tak usah kau bela-bela pencuri ini.” Mata besar Rokimah melotot seperti ingin menelan anak gadisnya mentah-mentah. Tangannya terangkat. Ajeng menunduk membatalkan niatnya. “Masuk. Dan jangan pernah lagi kau menerimanya di rumah.” Ajeng terburu-buru masuk. Arum bisa melihat gadis itu berlari sambil menyusut kedua sudut matanya.
“Dan kau! Jangan pernah kau berpikir memiliki hubungan darah dengannya sehingga kau bisa keluar-masuk seenaknya di rumahku. Pencuri selamanya tidak akan pernah menjadi peri. Kau dengar!”
Arum hafal kalimat penutup itu. Meski dia tidak tahu kenapa perempuan itu harus selalu menutup khotbahnya dengan kalimat yang sama di setiap peristiwanya, yang semakain hari semakin membutnya menaruh curiga. Membuatnya penasaran. Dan meyimpan tanya yang tak gampang didapatinya jawaban. Sudah pasti yang dimaksud pencuri itu adalah dirinya, lalu, siapakah perinya? Ajeng, kah?
Selesai dengan khotbahnya, Komsatun menarik gerendel pintu. Namun sebelum daun pintu hitam rumahnya benar-benar tertutup, sebuah lengan terjulur keluar melempar bungkusan hijau. Butir-butir nasi berloncatan bersama dengan datangnya kucing-kucing gembul dari balik pintu. Kucing-kucing itu tampak berselera pada awalnya, mereka berlarian menjemput santapan gratis di sore cerah tanpa harus diam-diam mencurinya. Namun mendapati nasi yang tanpa sejumput laukpun itu, makhluk-makhluk berbulu lembut itu pun mundur tidak teratur sambil mengaung-ngaung. Sebagian dari mereka menatap Arum seperti mempersilahkan gadis itu mencicipi jatahnya.
Tubuh kurus Arum bergetar. Separuh hatinya terasa sangat sakit, lebih sakit dari duri yang pernah menusuk jari kakinya, lebih perih dari mata pisau yang pernah menggores jari tangannya. Bahkan kucing labih berhak atas nasi itu dari dirinya. Ia tak mengerti, tak pernah mengerti, mengapa wanita itu begitu membenci dirinya dan saudara-saudaranya. Yang ia tahu, wanita itu adalah saudara ibunya. Titik-titik air matanya yang dingin meresap ke tanah, menorehkan sebuah cerita dingin yang tak akan pernah dilupakannya. Gadis itu sering bertanya kepada Tuhan, mengapa dia dibiarkan hidup, sementara manusia di sekelilingnya melahapnya hidup-hidup.

Arum menyeka air matanya. Suara-suara adiknya kembali terdengar, gaduh. Satu acara rutin untuk menyambut kepulangan sang bapak beserta cangkingannya. Kecil atau besar, sedikit atau banyak, apapun yang dibawa sang bapak selalu dapat merekahkan senyum anak-anak itu. Arum tersadar, kini perutnya kembali menggeletar. Jika tak cepat, tentu ia tak akan dapat. Segera ia beranjak pulang, namun, sebelum memutar kakinya yang telanjang, gadis itu menatap pintu hitam rumah berpagar tanaman pacar. Detik itu, hatinya yang basah menggenggam sumpah. 

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentar

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...