Karya Eni Ratnawati
Gadis muda itu bergegas pulang. Ditekannya dua-tiga buku ditangannya ke dadanya yang kerontang. Dipeluknya erat. Seakan angin dengan mudah dapat melemparkan buku-buku itu dari genggaman. Langkahnya kecil berkejaran dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Panas menggigit kulitnya. Peluh bermunculan seirama degup jantungnya. Semua itu membuat tubuh kurusnya semakin lemas, kepalanya terasa semakin berat. Sebuah penyakit yang belakangan ini kerap menyapanya. Mulanya ia bingung, namun, karena seringnya hal itu terjadi, kini ia mengerti, bahwa lemasnya badan dan beratnya kepala yang tidak wajar itu berhubungan dengan sarapan pagi. Ya, sarapan pagi.
Arum terburu-buru melepas jilbab putih
kesayangannya dari atas mahkota kusutnya. Ditariknya kain itu dengan kekuatan
sedemian rupa hingga terburailah rambut jeraminya yang berantakan. Sementara
jilbab itu terkulai gemulai di atas lengannya yang masih enggan melepas
buku-buku dari cengkraman jari-jemarinya yang kurus panjang. Kain segi empat
itu polos, satu-satunya hiasan yang mungkin menarik perhatian adalah
kerut-kerutnya yang hampir merata di setiap sudut dan jengkalnya. Bahkan jilbab
kebanggaan itu tak lagi terlihat putih karena lecek dan lusuhnya tiada terkira.
Diacuhkannya Tiyas, Tika dan anak-anak ayam
yang tengah asyik bermain di bawah rindang pohon jambu raksasa. Tak ada yang
dipikirkannya selain makan. Tubuhnya akan tumbang jika tak segera diselamatkan.
Tak ada siapapun di dalam rumah, hanya kucing-kucing kering yang juga lapar
seperti dirinya. Kucing-kucing itu menatapnya meminta belas kasihan, sementara
Arum menatap tudung biru di atas meja kayu seperti kerasukan.
Namun, betapa nelangsa hatinya, tak sesuatu
pun tersisa untuknya. Tak ada apapun yang bisa mengganjal perutnya. Hanya
piring-piring kosong, bakul kosong dan beberapa butir nasi yang
berceceran, luput dari suapan. Ia menelan ludah. Kemudian menghampiri kendi
dan meminum air sebanyak-banyaknya. Sekuat yang ia bisa. Sepenuh perutnya.
Kucing-kucing itu menatapnya iba. Arum terduduk lesu di atas tanah, ingatannya
melayang, mengantarkannya pada sesosok gadis yang selalu sibuk di depan tungku
hitam dengan asap berbungkal-bungkal. Tungku itu akan selalu disana, di sebuah
sudut yang akan terus menjadi istimewa baginya. Bahkan setelah kepergian ibu
dan kakak pertamanya. Namun kini tungku itu selalu padam, karena tangan demi
tangan telah meninggalkannya demi dan untuk suatu alasan. Menyisakan debu-debu hitam,
sehitam kuku-kuku jarinya, sehitam masa depan perutnya.
Teriakan Tiyas dari luar sana membuatnya terjaga.
Segera dia bangkit dan menjemput buku-bukunya yang bertelekan di atas meja, di
samping tudung biru yang untuk kesekian kali telah mengecewakannya. Tidak seperti
kemarin, kali ini Arum meninggalkan tudung biru dan dapur berjelaga itu tanpa perasaan
hampa. Membiarkan rasa pahit terus bersemayam di hati hanya akan membuatnya
semakin pusing dan mual. Apa lagi jika tenggorokan dan lidah ikut-ikutan
bersekongkol menuntut haknya. Arum kembali menelan ludah. Seberkas senyum
menyembul di bibir tipis pucatnya. Betapa pahit kehidupan yang dijalaninya,
selalu saja muncul harapan yang bisa membuatnya tersenyum. Harapan, yang
mungkin hanya tinggal harapan.
***
Menik, adalah sulung dari kelima kakak beradik
itu. Dia lah yang bertugas menghidupkan tungku, menumbuk biji-biji jagung
sampai hancur betul, kemudian mengukusnya di atas tungku yang saban sepuluh
menit harus diumpani kayu-kayu kering. Dan jika apinya enggan melumat kayu-kayu
itu, ia harus meniup-niup perapian itu dengan sabar, terkadang hingga meleleh-leleh
air matanya, namun api nakal itu tetap menggodanya. Dia lah Menik, yang
menyiapkan makan untuk keempat saudarinya, juga ayahnya.
Makanan itu memang selalu tersaji, tetapi
seringnya, setelah Arum pergi sekolah. Dahlan sendiri tak mampu memberi anaknya
itu uang saku. Ia petani miskin,
menyekolahkan anak-anak adalah beban berat, sekaligus kebanggaan yang bukan
main-main.
Tapi sayangnya, sejak dua bulan yang lalu,
Menik tak lagi pulang ke rumah. Ia diminta oleh seorang laki-laki dari keluarga
yang cukup kaya, tentu Dahlan sangat senang menyambutnya. Menik menerima
lamaran itu, meski usiannya terbilang sangat muda. Dua belas tahun. Dialah
potret ihwal gadis kampungnya. Bagi mereka, pernikahan adalah satu-satunya
pilihan. Satu-satunya pintu yang akan mengantarkan mereka pada kebahagiaan. Dan
Menik, anak sulung itu menyongsong kemerdekaannya. Meninggalkan api, kayu,
tungku dan asap hitam yang membelenggunya.
Bagi adik-adiknya, kepergian Menik adalah
angin segar yang melambungkan angan dan harapan mereka. Sebuah angan untuk
sebuah uluran tangan. Mereka menunggu hari itu. Hari dimana Menik menjelma
seorang peri, yang dengan tongkat ajaibnya mampu menyulap lumbung-lumbung
kosong itu menjadi penuh berisi. Sehingga mereka bisa makan nasi lagi dan absen
dari penderitaan mencret-mencret karena usus mereka menggilas sego
jagung setiap hari. Atau menyulap baju-baju kumal dan
lusuh mereka menjadi baju-baju baru dan wangi, sehingga mereka tak perlu lagi
risih ke sana ke mari. Bukankah kakaknya itu menikah dengan seorang laki-laki
berada? Sungguh menyenangkan memimpikan itu semua. Dan bukankah sebentar lagi
kakaknya yang kedua juga akan menikah? Ah, bahagianya..
Arum masih tersenyum, dilupakannya kepalanya
yang berat. Ia tergolek di atas ranjang seperti pesakitan yang sekarat.
Tatapannya kosong. Angannya telah jauh mengembara, meninggalkan jasadnya yang
terkulai lemah. Tapi sesuatu lain membisik di hatinya, bersamaan dengan sapaan suara-suara
samar tapi nyata yang sangat dihapalmya. Ya, bukankah ini jam untuk bermain? Sejak
kapan pula dia mendekam di rumah karena perut yang melilit bukan main?
Dihentakkannya kedua kaki telanjangnya di atas tanah merah kamarnya.
Semangatnya kembali penuh seperti hari-hari sebelumnya.
Tepat di samping rumah kecil itu, tinggallah
seorang wanita paroh baya bersama anak perempuannya. Anak itu seumuran Arum dan
juga teman sepermainannya, Ajeng namanya. Ibu Ajeng, Komsatun, tak lain dan tak
bukan adalah saudara Maimunah, yang berarti, bibi Arum.
Namun tragisnya hidup. Perbedaan keyakinan
mencerai-beraikan pertalian darah di antara mereka. Hal ini memang sangat
sensitif. Orang-orang desa bilang, ini menyangkut identitas dan kehormatan
keluarga. Namun sebagian yang lain membantah, mengatakan bahwa itu semua tak
lain adalah kesombongan dan keangkuhan yang bersembunyi di balik topeng
kehormatan.
Entahlah! Yang benar, karena tak mampu
mempertahankan sesuatu yang mereka sebut kehormatan itu, Maimunah dikucilkan
oleh saudara-saudaranya. Ia diasingkan hingga akhir hayatnya. Dan pengasingan
itu sangatlah mahal harganya. Anak-anak itu seolah hidup sebatangkara, tiada
bersanak saudara. Anak-anak itu terlunta di pekarangan paman mereka. Dan
kelaparan di dalam dapur bibi mereka. Betapa dahsyat efek dari sebuah
pengkultusan. Pengkultusan terhadap sebuah keyakinan.
Arum memiliki bibi yang lain, yang terusir
seperti ibunya. Sebabnya sama, karena menikah dengan laki-laki yang tidak
segolongan dengan keluarga besarnya. Keluarga bibinya ini cukup terbuka. Tetapi
apa yang dapat diharapkan dari seorang wanita miskin, yang memiliki anak jauh
lebih banyak dari jumlah saudarinya plus kucing-kucing kering yang menetap di
rumah mereka? Harapan angin.
Orang-orang dulu memang gemar sekali memiliki
anak, rasa-rasanya, kurang mantab jika jumlah anak-anak itu belum mencapai belasan.
Untungnya seruan Keluarga Berencana segera mendarat di telinga mereka. Namun
begitu, ada juga yang masih enggan menerima program pemerintah itu. Bahkan, ada
juga yang menolaknya mentah-mentah. Dalih mereka cukup kuat, banyak anak banyak
rejeki. Jika kemudian pendapat itu terbanting dengan menelisik kehidupan mereka
yang semacam itu, cukup kiranya dengan mengatakan: jodoh, rejeki dan pati
itu urusan Gusti Allah, nggak ada satu pun makhluk yang mengetahuinya.
Usailah sudah semua persoalan hidup mereka.
Arum juga memiliki seorang uwak. Tidak
tanggung-tanggung, uwaknya ini seorang tokoh desa, kaya pula. Namanya Abdul
Latip, panggilannya wak kaji. Memang benar laki-laki itu telah
haji, tapi sangat disayangkan, pengkultusan itu benar-benar telah menutup hatinya,
membutakan matanya, menepis takdir Tuhan, melupakan satu kenyataan bahwa
anak-anak piatu miskin itu tak lain adalah keponakannya.
Siang mengganyang. Terik matahari semakin
kalap membakar. Nun jauh di belakang desa, terdengar riuh suara anak-anak manusia.
Teriakan mereka membumbung, mendengung-dengung, mengudara hingga terdengar di
pucuk-pucuk pohon desa tetangga. Anak-anak kecil itu tak perduli garangnya
matahari. Mereka berlarian di sawah-sawah yang tampak kosong melompong. Kemarau
panjang membuat sawah-sawah itu terabaikan. Kering kerontang. Arum
memperhatikan anak-anak itu dari kejauhan. Hasrat hatinya ingin terus bermain,
tapi berat kepalanya dirasa bukan main-main. Perutnya kembali menggelepar. Ia
beranjak pulang.
“Kau sudah mau pulang?” Seorang pemuda dengan
layang-layang ikannya menyapa ramah.
“Iya, Zul. Sawah panas.” Alih-alih menutupi
separuh wajahnya dengan telapak tangan, Arum mengurut pelipisnya yang
berdenyut-denyut. Pemuda itu tertawa lepas.
“Sejak kapan Arum binti Dahlan mundur dari panas?”
Tawanya yang renyah mengambang di udara, masih terdengar meski pemuda itu telah
berlalu meninggalkannya. Arum menatap punggung Zul dalam diam. Di himpitan
ketiaknya yang basah, surai-surai ekor layangannya bergoyang-goyang seperti
ikut menertawakannya. Dalam hitungan detik, gadis itu kembali melanjutkan
langkahnya yang tertunda.
Hingga sore menjelang, namun Dahlan tak juga
kunjung datang. Arum dan kedua adiknya menunggu kedatangannya di pekarangan
rumah, sambil menghitung satu-persatu petani yang pulang dari ladang-ladang
mereka. Arum tak sabar, kedua adiknya apalagi. Ia kemudian menghambur ke
jalanan. Berharap melihat sang bapak nyangking apa saja yang bisa
mengusir lapar yang menggeletar di perutnya.
Namun, ia kembali kecewa, nelangsa, putus asa,
dan lain sebagainya. Rasa lapar, kekecewaan dan rengekan adik-adiknya seolah
telah mengacaukan otaknya. Tatapannya kini beralih pada dinding rumah berpagar
tanaman pacar, tepat di samping rumahnya. Ia ragu, tampak memikirkan sesuatu.
Sementara pikirannya berkecamuk, langkah kakinya telah mengantarkannya pada
pagar rumah itu.
Rumah itu tidaklah besar, tua dan jeleknya
hampir sama dengan rumah yang bercokol di sampingnya. Dikelilingi tanaman
pacar, tinggi dan rapat, seakan-akan ingin menyembunyikannya dari amukan pohon
raksasa yang berdiri garang di pekarangan rumah tetangganya. Bedanya hanya,
rumah berpagar tanaman pacar itu terlihat lebih bersih, terawat, dan
kucing-kucing yang nebeng tidur di sana pun tampak lebih gemuk berisi.
Sebuah fakta baru mengatakan, bahwa kesejahteraan kucing-kucing itu adalah
simbol kesejahteraan pemilik rumah. Kucing-kucing itu menyepakatinya.
Arum
berdiri mematung di sana, tak lagi maju walau selangkah. Gadis itu tak mampu
mengangkat wajahnya. Entah apa yang ada di kepalanya. Sementara itu, seorang
wanita setengah baya memperhatikannya dari dalam rumah. Segera ia menyambut
tamu kecilnya. Wanita itu berhenti di ambang pintu. Ujung bibirnya dijinjit
mengikuti sebelah alisnya yang tiba-tiba naik. Sorot matanya tajam menembus
baju, kulit, daging, tulang, sebelum menukik tepat di hati Arum. Wanita itu
benar-benar telah mengulitinya. Bahkan sebelum gadis itu sempat berkata-kata.
“Arum, masuk!”
Itu suara Ajeng. Tiba-tiba saja wajah gadis
itu menyembul dari balik tubuh ibunya yang gagah tapi tidak perkasa. Matanya
yang bundar mengerjap-ngerjap dengan imbuhan senyum semanis madu. Arum membalas
senyum sahabatnya itu tanpa memikirkan reaksi Komsatun ataupun kata-kata yang
akan dilontarkannya. Dan anehnya, perempuan gagah itu berlalu meninggalkan
keduanya tanpa mengucapkan sepatah kata. Sungguh di luar kebiasaan dan watak
normalnya. Arum sendiri enggan memikirkan apa dan kenapanya, kepergian Komsatun
bagai angin segar yang tiba-tiba membebaskan sayap-sayapnya.
Setelah ibunya benar-benar tak telihat, Ajeng
tegesa-gesa masuk ke dalam rumah dan kembali lagi dengan bungkusan kecil di
tangannya.
“Cepatlah, sebelum ibu pulang.”
Ajeng menyodorkan kedua tangannya. Dan tanpa
menunggu jeda lebih lama, Arum balik kanan memutar tubuhnya setelah dua kata
terakhirnya. Namun, cara
sembunyi-sembunyi itu ternyata tidak baik pada akhirnya.
“Apa itu ditanganmu?”
Komsatun berdiri gagah di pintu pagar
rumahnya. Dan Arum hampir terjungkal terkejut menyadari penampakannya yang
tiba-tiba. Semakin erat dia menggenggam bungkusan hijau di tangannya, itu pun
dilakukannya tanpa sepenuh kesadarannya. Sosok Komsatun benar-benar menciutkan
segalanya. Tubuh serasa kerdil, nafas menjadi sesak, mata menjadi lesak, dan
lidah menjadi cekak. Dan tanpa perlu menunggu jawaban dari Arum, Komsatun
merebut bungkusan hijau itu dari tangannya.
“Oh astaga!” Biji mata Komsatun mencuat seperti
hendak meluncur dari kolongannya. “Bahkan sekarang kau sudah berani mencuri di
terang hari.” Pekiknya setelah melihat isi bungkusan itu. “Yah, tentu saja. Kacang
ora ninggal lanjaran.” Senyum Komsatun meliuk-liuk seirama dengan gerak
bibirnya yang masih terus menerbitkan kata-kata bijaksana serupa mutiara. Arum
sedikit pun tak berani menatapnya.
“Bu..., bukan seperti itu, bu.” Ajeng yang
berdiri di ambang pintu akhirnya membuka mulut berusaha membela sahabatnya.
“Diam kau. Tak usah kau bela-bela pencuri
ini.” Mata besar Rokimah melotot seperti ingin menelan anak gadisnya
mentah-mentah. Tangannya terangkat. Ajeng menunduk membatalkan niatnya. “Masuk.
Dan jangan pernah lagi kau menerimanya di rumah.” Ajeng terburu-buru masuk.
Arum bisa melihat gadis itu berlari sambil menyusut kedua sudut matanya.
“Dan kau! Jangan pernah kau berpikir memiliki
hubungan darah dengannya sehingga kau bisa keluar-masuk seenaknya di rumahku.
Pencuri selamanya tidak akan pernah menjadi peri. Kau dengar!”
Arum hafal kalimat penutup itu. Meski dia
tidak tahu kenapa perempuan itu harus selalu menutup khotbahnya dengan kalimat
yang sama di setiap peristiwanya, yang semakain hari semakin membutnya menaruh
curiga. Membuatnya penasaran. Dan meyimpan tanya yang tak gampang didapatinya
jawaban. Sudah pasti yang dimaksud pencuri itu adalah dirinya, lalu, siapakah
perinya? Ajeng, kah?
Selesai dengan khotbahnya, Komsatun menarik
gerendel pintu. Namun sebelum daun pintu hitam rumahnya benar-benar tertutup,
sebuah lengan terjulur keluar melempar bungkusan hijau. Butir-butir nasi
berloncatan bersama dengan datangnya kucing-kucing gembul dari balik pintu.
Kucing-kucing itu tampak berselera pada awalnya, mereka berlarian menjemput
santapan gratis di sore cerah tanpa harus diam-diam mencurinya. Namun mendapati
nasi yang tanpa sejumput laukpun itu, makhluk-makhluk berbulu lembut itu pun
mundur tidak teratur sambil mengaung-ngaung. Sebagian dari mereka menatap Arum
seperti mempersilahkan gadis itu mencicipi jatahnya.
Tubuh kurus Arum bergetar. Separuh hatinya terasa
sangat sakit, lebih sakit dari duri yang pernah menusuk jari kakinya, lebih
perih dari mata pisau yang pernah menggores jari tangannya. Bahkan kucing labih
berhak atas nasi itu dari dirinya. Ia tak mengerti, tak pernah mengerti,
mengapa wanita itu begitu membenci dirinya dan saudara-saudaranya. Yang ia
tahu, wanita itu adalah saudara ibunya. Titik-titik air matanya yang dingin
meresap ke tanah, menorehkan sebuah cerita dingin yang tak akan pernah dilupakannya.
Gadis itu sering bertanya kepada Tuhan, mengapa dia dibiarkan hidup, sementara
manusia di sekelilingnya melahapnya hidup-hidup.
Arum menyeka air matanya. Suara-suara adiknya
kembali terdengar, gaduh. Satu acara rutin untuk menyambut kepulangan sang
bapak beserta cangkingannya. Kecil atau besar, sedikit atau banyak,
apapun yang dibawa sang bapak selalu dapat merekahkan senyum anak-anak itu.
Arum tersadar, kini perutnya kembali menggeletar. Jika tak cepat, tentu ia tak
akan dapat. Segera ia beranjak pulang, namun, sebelum memutar kakinya yang
telanjang, gadis itu menatap pintu hitam rumah berpagar tanaman pacar. Detik
itu, hatinya yang basah menggenggam sumpah.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar