oleh Masyhari
Kemudahan fasilitas tidak menjamin
orang menjadi lebih produktif. Di zaman dahulu, keterbatasan fasilitas tidak
menyurutkan semangat para ulama untuk belajar dari negara ke negara lain, tidak
menghalangi produktifitas mereka dalam menciptakan karya tulis hingga ribuan
judul buku.
Zaman sekarang, mau nulis tidak
perlu habiskan kertas dan tinta, cukup buka leptop atau hp, tapi masih kalah
jauh produktif dengan ulama tempo dulu. Salam menulis dan berkarya.
Begitu pula halnya dengan jodoh, kemudahan
fasilitas interaksi, tak selalu lebih cepat.
Jodoh adalah rejeki, dan rejeki itu
takdir. #Gaya ngeles
ala jomblowan. Kalau menurutku, kecepatan jodoh tidak tergantung pada kemudahan
fasilitas, apalagi pada kondisi keuangan. Enggak bangeet. Banyak yang udah
petentang-petenteng hp keren, smartphone, punya segala macam medsos, mulai dr
fb, twiter, whatsApp, BB, dsb. Bukan cuma mobil, rumah pribadi dan bisnisnya dengan
omset miliyaran, tetep aja belum dapat jodoh. Bukan tak mau, tapi belum juga
nemu. Padahal, orang miskin tak punya hp & fb uda nikah muda.
Tentang
jodoh, adalah tentang takdir, dan ia adalah rahasia Yang Maha mengetahui segala rahasia. Dalam soal takdir, paling tidak ada tiga mazhab, yaitu Qadariyah,
yang mendewakan usaha. Ada Jabariyah, bahwa takdir murni hak preogatif Allah, manusia cukup nerima
dan menunggu takdir, tanpa perlu memikirkannya. Ada pula model Ahlussunah dan Asy'ariyyah, bahwa jodoh memang
rahasia dan ketentuan Allah, namun bersifat ikhtiyari, artinya takdir
mu'llaq, usaha juga punya pengaruh. Karena itu manusia boleh dan bahkan harus tetap berusaha
memantaskan diri tuk dapatkan jodoh terbaiknya. Berusaha dan doa
bukanlah upaya "melawan" takdir Tuhan. Kita bisa berusaha memilih, kendatipun pada akhirnya, Allah
jua yang menentukan.