Sebuah Local Wisdom dari Tana Toraja
Makale-Tana Toraja, 22 Juli 2014..... 22:44 WITA
Malam
ini, di sebuah acara takziah di rumah seorang jamaah masjid yang meninggal tiga
hari yang lalu, saya dipertemukan dengan seorang tetangga Muslim dari Suku
Toraja asli, sebut saja Pak Usman (PU). Di waktu yang cukup singkat itu, pria
baya berusia sekitar 60an itu ni bercerita panjang lebar, tentang banyak hal,
berkisah tentang kehidupan keluarga besarnya, adat, kearifan lokal orang
Toraja, hingga cerita liburan sekeluarga berkeliling Jawa dari Jawa Timur
Hingga Jakarta lebih dari sebulan lamanya. PU berkisah, bahwa ia enam
bersaudara, sementara kedua orang tuanya dulu berkepercayaan animisme. Oleh
mereka, ia adalah enam bersaudara diberi kebebasan antara masuk Islam atau
Kristen. Alhasil, 3 di antaranya masuk Islam dan 3 lagi masuk Kristen.
“Orang
Toraja ini kuat sekali ikatan persaudaraannya. Tidak pandang agamanya. Kalau
ada saudara yang membutuhkan, langsung saja tanpa pikir panjang.” Kisahnya
dengan semangat dan penuh syukur.
“Dalam
cara kematian. Tahu tidak, kira-kira berapa besar uang yang mereka keluarkan?
Uang 2 Miliar tidak ada apa-apanya. Kerbau yang dikorbankan saja, 1 ekor bisa
menembus angka 1 M. Belum lagi babi. 1 ekornya bisa seharga 10 juta. Pesta
kematian bisa berlangsung hingga 6 hari. Bisa dibayangkan berapa uang yang
harus mereka keluarkan, bila setiap harinya harus menjamu tetamu dari keluarga
yang berjumlah ribuan orang! Namun, mereka saling bantu-membantu. Ada yang
menyumbang kerbau, dan lain sebagainya.” ungkapnya berapi-api.
“Yang
tiadanya duanya, di Tana Toraja, bisa dikatakan sangat aman. Hampir dikata
tidak pernah terjadi pencurian kendaraan. Mobil dan motor yang diparkir di
pinggir jalanan sepanjang malam, aman-aman saja. Tak usah jauh-jauh
dibandingkan dengan di Jawa. Di Makassar saja, motor ditinggal 2 jam, sudah
raib.”
Saya akui,
memang dalam hal ini, Tana Toraja patut saya acungi dua jempol. Kalau perlu
jadi daerah teladan soal keamanan. Kisah ini kontras dengan yang terjadi di
Jawa. Apalagi kisah beberapa tahun lalu, saat masih mengajar di Cijantung
Jakarta Timur. Begitu pula kisah hilangnya motor tetangga di Jaksel yang
diparkir di samping rumah, padahal baru ditinggal beberapa menit saja ke dalam
rumah. Dan masih banyak kisah lainnya. Di Jakarta atau di tempat lainnya, motor
di parkir di halaman masjid, dikunci ganda plus gembok, baru ditinggal shalat
sudah raib.
Lihat
saja gambar di bawah ini, setiap hari, baik siang ataupun malam, motor-motor
ini di parkir di samping masjid, tempatku bertugas, dengan hanya dikunci depan
saja. Namun, belum pernah dengar cerita ada yang hilang.
“Lalu,
apa kira-kira yang mendasari orang-orang Toraja ini, pak. Adat atau bagaimana?”
Tanyaku penasaran.
“Ya,
kekuatan iman mereka kepada Sang Penciptanya, tanpa pandang agama yang
dianutnya.” Jawaban beliau menutup perjumpaan singkat kami malam ini. Karena
waktu sudah larut, sementara besok pagi-pagi harus bangun makan sahur.
Kisah
ini mengingatkan saya pada pemandangan yang kulihat beberapa pekan yang lalu
saat berkeliling ke Tana Toraja. Bila dilihat dari rumah yang mereka tinggali,
rerata sangat sederhana dan bahkan bisa dikatakan jelek. Tapi, ternyata
tongkonan (bangunan dengan atap khas Toraja), sangat megah dan mewah dibangun
dengan menghabiskan dana yang besar.
Begitu
pula dengan pesta kematian yang mereka adakan. Untuk menyiapkan tempat
pestanya, mereka buat beberapa rumah tongkonan, dimana proses pembuatannya
memakan waktu selama beberapa pekan, padahal setelah upacara usai, bangunan
dari kayu dan bambu itu mereka tinggalkan begitu saja, hingga rusak sendiri.
Ini menandakan kekuatan ‘iman’ mereka dalam berkepercayaan, tak peduli apakah
itu hanya berasal dari mitos ataukah memang ajaran yang bersumber dari kitab
suci. Katanya. Wallahu a’lam.[]
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar