Panduang Memilih Pasangan dalam IslamOleh: Masyhari, Lc, M.H.I
Email:masyharie@gmail.com
Pernikahan diibaratkan sebuah gerbang menuju samudera luas. Di dasarnya penuh keindahan dengan aneka ikan, mutiara, dan pemandangan eksotik nan menawan. Ia juga penuh dengan gelombang dan badai yang siap menghantam. Karena itu, rumah tangga yang diibaratkan sebuah bahtera haruslah terdiri dari pasangan suami-istri yang kuat dan kokoh, sehingga mampu bertahan dan tahan terhadap apa saja yang akan siap menghujam, bahtera itu terus berlabuh mengarungi samudera kehidupan hingga menuju pelabuhan, tanjung harapan, kebahagiaan dunia dan akhirat, membangun istana surga.
Oleh karena itu, memilih pasangan, bukan hanya urusan cinta, asal suka, lantas menikah, tak perduli bagaimana kualitasnya. Sebab cinta cenderung membutakan mata, kesenangan sesaat, lantas sesal akhirnya. Pantaslah bila dalam berbagai tradisi, budaya dan agama, terdapat panduan yang patut untuk diperhatikan dalam memilih pasangan untuk membentuk mahligai pernikahan. Dalam tradisi Jawa misalnya, terdapat satu filosofi dalam memilih pasangan, beberapa hal yang patut diperhatikan, yaitu bibit (asal-usul), bobot (kualitas) dan bebet (harta). (lihat: https://tabirjodoh.wordpress.com/2011/11/27/bibit-bebet-bobot/).
Lantas, bagaimana panduan Islam terkait hal ini?
Dalam tradisi fikih Islam, pertimbangan semacam ini dikenal dengan istilah kafâah. Kafa’ah dalam pernikahan yaitu kesetaraan antara lelaki calon suami dan wanita calon istri dalam hal-hal tertentu. Dimana bila hal-hal tersebut berkurang, akan berkurang pula kesetaraan seorang lelaki dengan perempuan (Salim ar-Rafi’i, 2003: 330).
Dalam tradisi fikih Islam, pertimbangan semacam ini dikenal dengan istilah kafâah. Kafa’ah dalam pernikahan yaitu kesetaraan antara lelaki calon suami dan wanita calon istri dalam hal-hal tertentu. Dimana bila hal-hal tersebut berkurang, akan berkurang pula kesetaraan seorang lelaki dengan perempuan (Salim ar-Rafi’i, 2003: 330).
Terjadi silang pendapat di antara para ulama terkait posisi kafâah antara suami-isri dalam pernikahan, ada yang menganggapnya sebagai syarat sah, ada pula yang menganggapnya sebagai syarat wajib. Namun, yang lebih kuat adalah bahwa kafaah bukan syarat sah pernikahan. Bahkan, bisa jadi, kafaah sama sekali bukan syarat, namun hanya sebatas pertimbangan dalam memilih calon pasangan hidup, demi tercapainya sakînah(ketentraman), mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih-sayang) dalam rumah tangga (Salim ar-Rafi’i, 2003: 331-339).
Lalu, apa sajakah parameter kafâah dalam pernikahan menurut fikih Islam? Terdapat perbedaan di antara para ulama terkait faktor apa saja yang menjadi pertimbangan dalam pernikahan, yaitu faktor agama, nasab, kecantikan, kekayaannya, dan lain sebagainya.
Terkait dengan faktor nasab (bibit) dalm pernikahan, Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali mempertimbangkannya. Sehingga orang Arab tidak setara dengan non-Arab, anak hasil zina tidak setara dengan anak yang memiliki nasab yang jelas. Pendapat ini berdasarkan sebuah hadits:
((قريش بعضهم أكفاء لبعض، والعرب بعضهم أكفاء لبعض حي بحي وقبيلة لقبيلة...))
Artinya: “Suku Quraisy setara dengan sesama Quraisy. Orang Arab setara dengan sesama Arab, satu kampung dengan kampung lain dan kabilah dengan kabilah yang lain...”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (7/134) dan ad-Dâruquthni. Hanya saja, keduanya menganggapnya dha’if (lemah) (Syarah Fath al-Qadir: 3/188).
Hal ini berbeda dengan pendapat Madzhab Maliki, Hanbali dalam riwayat lain, ats-Tsauri, al-Karkhi, Abu Bakar al-Jashshash dari Hanafi dan al-Bahûti dari Syafi’iyah menyatakan bahwa nasab tidak dipertimbangkan dalam pernikahan.[1] Sehingga, implikasi dari pendapat ini, anak zina pun setara dengan anak lainnya.[2]
Parameter Itu Adalah Kesalihan Agama
Sebuah hadits shahih dan sudah masyhur tentang panduan memilih pasangan, yaitu:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ : ((تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ))
Hadits tersebut berkelas muttafaq ‘alaih karena dimuat oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab al-Jami’ ash-Shahih, juga oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah. Secara sederhana hadits ini bisa diterjemahkan:
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda, “Seorang wanita dinikahi dengan empat pertimbangan, yaitu hartanya, perilakunya, kecantikannya dan agamanya. Utamakanlah wanita yang beragama, maka engkau akan beruntung.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Menurut Muhammad Fuad Abdul Baqi (1954), makna yang tepat dari hadits tersebut yaitu bahwa Nabi SAW [hanya] bermaksud mengabarkan tradisi dan kebiasaan orang-orang di zamannya dalam memilih pasangan yaitu mengutamakan empat hal tersebut. Bila ingin beruntung, damai dan bahagia dalam berumah tangga, menikahlah dengan wanita yang memiliki pemahaman agama baik serta mendalam dan perilaku beragama yang baik, berkepribadian yang baik. Bukan berarti beliau memerintahkan untuk mempertimbangkan keempat-empatnya. Beliau hanya memberikan garansi keberuntungan (azh-zhufr) bagi ia yang mengutamakan faktor agama.
Pandangan Fuad Abdul Baqi tersebut bisa dipahami, dengan beberapa argumentasi, sebagai berikut:Pertama, karena sabda Rasulullah “tunkahu” (dinikahi) menggunakan kata kerja bentuk mudhari’, dimana dalam ilmu Balâghah termasuk kalam khabar (redaksi berita). Sehingga, sampai di sini, beliau belum menganjurkan (apalagi memerintahkan). Bimbingan beliau baru pada penggalan kalimat selanjutnya, yaitu dalam sabda beliau “fazhfar”(utamakanlah/ pilihlah), dimana berupa fi’il 'al-amr (kata kerja perintah) yang dalam ilmuBalaghah termasuk kalam insya’ thalabi (ungkapan pemintaan/perintah). Dengan demikian, perintah atau anjuran Rasulullah sebagai sebuah syariat adalah pertimbangan tingkat keagamaan.
Kedua, penjelasan tersebut diperkuat oleh hadits lain, dimana Rasulullah saw bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ :« لاَ تَنْكِحُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ وَلاَ تَنْكِحُوا النِّسَاءَ لأَمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ وَانْكِحُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ فَلأَمَةٌ سَوْدَاءُ خَرْقَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ ».
Artinya, dari Abdullah bin Amr ra berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian menikahi wanita-wanita karena pertimbangan kecantikan [semata], sebab kecantikan mereka akan membuat mereka angkuh dan sombong. Jangan [pula] kalian menikahi wanita karena pertimbangan harta [semata], sebab harta akan membuat mereka melampaui batas. [Tetapi], nikahilah mereka berdasarkan pertimbangan agama. [Karena] sesungguhnya, budak wanita berkulit hitam, cacat telinga dan hidungnya, namun memiliki pemahaman agama dan perilaku beragama baik adalah lebih utama.” (HR. al-Baihaqi dan ath-Thabrani. Sementara Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Umar)
Ketiga, hal ini senada dengan firman Allah swt dalam QS Al-Baqarah [2] 221 dan As-Sajdah [32]: 18 berikut:
1. Artinya, “Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walau ia menarik hatimu. Dan janganlah kalian menikahkan (wanita-wanita mukminah) dengan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu. [Sebab] mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah [2]: 221)
2. Artinya, “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama.” (QS As-Sajdah [32]:18).
Oleh karena itu, mayoritas ulama sepakat bahwa agama termasuk bagian dari kafâah dan hal utama yang harus dipertimbangkan.
Keempat, Nabi saw bersabda:
لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيِّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَسْوَدَ عَلَى أَبْيَضَ وَلَا لِأَبْيَضَ عَلَى أَسْوَدَ إلَّا بِالتَّقْوَى . كُلُّكُمْ لِآدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ
Artinya, “Tidak ada keutamaan seorang Arab atas orang non-Arab, bukan pula orang non-Arab atas orang Arab, bukan pula orang berkulit hitam di atas kulit putih, dan bukan pula yang berkulit putih atas yang berkulit hitam, melainkan dengan takwa. Setiap kalian dari Adam dan Adam dari tanah liat.” [3]
Sehingga kesetaraan antar umat manusia adalah sebuah keniscayaan, tanpa memandang warna kulit dan kebangsaan. Tiada parameter yang tepat, kecuali ketakwaan (faktor kesalihan dalam agama). Wallahu a’lam.[]
Endnotes:
[1] Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Muhammad bin Sirin dan Umar bin Abdul Aziz. (Ibnu Hajar al-Asqalani. 1379. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Ma’rifah. Bab kafaah. Juz 9. Hlm. 132.
[2] Wizarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyyah Kuwait. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah. Ibid. Juz 34. Hlm. 222 dan 282.
[3] HR. Ahmad (5/411), al-Haitami menisbatkannya kepada ath-Thabrani di dalam al-Mu’jam al-Ausath dan al-Bazzar. Dia berkata: Para perawi al-Bazzar adalah perawi hadits shahih. (8/84).
Bahan Bacaan:
1. Salim ar-Rafi’i. 2003. Ahkam al-Ahwal asy-Syakhshiyyah Li al-Muslimin Fi al-Gharb. Beirut: Dar Ibn Hazm
2. Ibnu Hajar al-Asqalani. 1379. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Ma’rifah
3. Wizarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyyah Kuwait. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar