Friday, February 27, 2015

Cak Cholil Nafis Sampaikan Wejangan untuk Kader NU


Jumat malam Sabtu tadi (23/01/2015), di sebuah griya di Mampang Prapatan hadir seorang Kiyai muda yang wajahnya sudah familiar, karena beberapa tahun terakhir ini ia cukup sering muncul di televisi swasta di negeri ini. Ia adalah Cak KH. Cholil Nafis, Ph.D. Saat ini bertugas sebagai dosen dan sekretaris Program PPSTT-UI, Wakil Ketua LBM-NU, anggota BWI dan anggota MUI. Berikut ini catatan yang penulis sarikan dari wejangan yang disampaikannya kepada beberapa kader muda NU penerima beasiswa studi magister dan doktoral di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud di Riyadh KSA, yang akan berangkat awal Pebruari 2015.

Oleh: Masyhari



Apa yang Cak Cholil Nafis sampaikan tersarikan pada tiga poin besar, yaitu pertama, menata niat, kedua metode mencari ilmu, dan ketiga bagaimana ilmu diterapkan. Berikut uraian penjelasannya:

Pertama, pertanyaan besar sebelum kita melangkah adalah untuk apa dan siapa? Adakah untuk mencari ilmu dan dalam rangka mengharap ridha Allah SWT, ataukah networking, bahkan hanya sekedar formalitas ijazah (sertifikat) dan titel (pengakuan), agar nantinya bisa mendapatkan 'tempat' yang lebih layak secara duniawi? Niat ini perlu ditata dengan baik, agar nanti di sana bukannya belajar dan menyibukkan diri dengan mejelis ilmu dan diskusi ilmiah, malah sibuk bertransaksi dengan agen travel. Pulang dari sana, untung-untungan bisa rampung kuliah, kalau tidak?, malah asyik menjadi staf kedutaan, agen travel dan penerjemah, tidak mau balik ke tanah air.

Terlalu rendah jika kita jauh-jauh ke Riyadh- Saudi Arabia hanya demi kepentingan pribadi. Kita niatkan, nanti selepas lulus, kita abdikan diri kita pada umat, masyarakat, menjadi akademisi dan ilmuan. Menjadi yang bermanfaat bagi umat manusia (anfa'uhum lin nas)..

Tambahan: Lebih baik menjadi kepala semut, daripada menjadi ekor singa. Lebih baik menjadi pimpinan di intitusi kecil yang mandiri, daripada menjadi staff di lembaga besar. Sebesar apapun tokoh dan lembaga yang kita tebengi, tetap saja staff.

Kedua, terkait dengan metode atau teknisnya. Kuliah di Saudi masih sebatas pada teks literal, sehingga cukup dengan membaca dan meringkasnya. Agar mudah terserap dengan baik, teks-teks yang panjang kita simpelkan dengan maping (kerangka pemetaan) pembahasan secara terstruktur. 

Model kuliah yang tekstual-literal semacam ini tidaklah cukup menjadi bekal dalam menghadapi tantangan di masa depan (khususnya) di Indonesia dan dunia Internasional. Karena itu, kegiatan diskusi-diskusi luar kampus perlu diaktifkan dan pada saat liburan panjang (1-3 bulan) bisa ke luar negeri untuk melakukan pengembaraan ilmiah; ke Belanda, Jerman, Perancis, dsb. Minimal ke Maroko, Mesir, Tunisia, dsb. Atau bila pulang ke Indonesia, dirancang secara bersama untuk dilakukan pelatihan, misalnya bekerjasama dengan NU Circle, dsb. Penguatan jaringan juga akan tercipta dengan bersilaturrahmi.

Ketiga, ini adalah soal pengemasan, branding. Ilmu yang berhubungan dengan agama tidak melulu berbicara soal akhirat, semata. Pengkotak-kotakan ilmu dunia-akhirat perlu, bahkan harus, kita kikis. Kita kembalikan ilmu pada khittahnya, universalitasnya. Ilmu yang tampaknya hanya soal ibadah itu bisa kita branding dengan lebih menarik, sehingga diminati masyarakat.


Ilmuan itu layaknya apoteker. Banyak obat-obatan bertebaran di apotik. Namun, kita sediakan dan pilihkan obat sesuai dengan kebutuhan, jenis penyakit, dosis takaran dan usia pasien.

العلم شيء والتعليم شيء آخر

Artinya, ilmu adalah sesuatu hal, sementara metode mengemas ilmu adalah sesuatu yang lain.

Jangan sampai, yang mumpuni, ahli qur'an dan bahkan ahli kitab, tertinggal jauh sama muallaf dan baru ngerti agama kemarin sore, yang bahasa Arab saja tak bisa. 
Memang, input ilmu yang besar dan mendalam adalah sebuah kebaikan, namun itu saja tidak cukup, namun harus mengerti bagaimana ilmu itu bisa diterima dan diminati oleh khalayak masyarakat. Kita perhatikan kondisi masyarakat, mereka butuh apa? Faktor yang mempengaruhi keberhasilan, intelektualitas hanya berkisar 20 %. Selebihnya adalah bagaimana membangun kecerdasan emosional.

Selain itu, kita cari dan masuki segmen-segmen yang masih belum banyak dijamah. Pintar agama dan kitab kuning di dalam tubuh NU banyak. Sehingga, kalau kita bertahan di sana, yang terjadi adalah sikut-sikutan dan berantem dengan sesama. Kita keluar, nanti akan lebih berguna. Mahir baca kitab kuning adalah hal yang biasa di dalam NU. Tapi, bila kita ke 'luar', kita akan menjadi laur biasa dan lebih berguna.

Wallahu a'lam.
Jakarta, 24/01/2015


Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...