Mengaisembun.blogspot.com- Seorang kawan memosting sebuah tulisan seorang ustadz dari Jakarta. Dalam tulisannya, sang ustadz gemas terhadap kelakuan anak-anak di masjid yang dibawa ibu-ibu mereka. Kesan kawan saya terhadap tulisan sang ustadz cenderung negatif, karena yang disalahkan si ustadz adalah ibu dan anaknya. Nah, berikut ini tanggapan pribadi saya.
Sebatas pengalaman saya, bawa anak ke masjid itu hal yang relatif, dan subjektif. Bisa baik, bisa tidak, tergantung bagaimana kedua orang tuanya, ayah dan ibunya.
Seberapa usia anak kecil ke masjid?
Sebenarnya, tak ada batasan usia berapa yang ideal anak boleh ke masjid. Yang pasti, idealnya, setelah orang tua bisa menjamin anaknya tidak menimbulkan najis. Artinya, anak bisa kontrol buang airnya, atau bisa ditahan dengan popok tahan bocor. Ini penting, sebab masjid merupakan tempat shalat yang meniscayakan keterjagahan dari najis.
Bisa jadi, anak 3 tahun sudah bisa diajak ke masjid, dan sebaiknya, anak usia 7 tahun (hijriyah), sudah dianjurkan ke masjid, sebagaimana perintah Nabi saw, kalau melihat usia tersebut secara tekstual, tanpa melihat konteks dahulu dan kekinian. Pada intinya, saat anak sudah bisa mengontrol diri dan bisa dipasrahi tanggung jawab sederhana.
Peran Orang Tua
Seorang anak kecil, tak peduli usia berapa, tiga tahun hingga sepuluh tahun atau lebih, sebaiknya didampingi dan dipantau orang tua (ayah/ibu) saat ke masjid, sebelum dipastikan anak telah bisa mengetahui dan menjaga adab-adab di masjid. Sebelum itu, ortu wajib mengawal dan mendampingi anaknya.
Sebaiknya, saat itu, anak jangan dilepaskan ke masjid bersama anak-anak seusianya atau sepermainannya. Sebab nanti bukannya shalat, tapi malah bercanda, mengganggu orang lain yang sedang shalat. Saya punya pengalaman buruk soal ini, kaca mata saya yang kutaruh di depan diinjak anak kecil yang berlarian (curcol), ini kasuistis-subjektif tentunya.
Sebaiknya anak didampingi dan ditempatkan di samping orang tuanya. Dengan catatan, sebelum shalat, orang tua telah memberikan panduan dan perjanjian dengan anaknya, ikut shalat atau cukup duduk di tempat. Bila tidak, atau ortu telah tahu bagaimana kondisi anak, sebab ada yang tidak bisa tenang, maka ortu sebaiknya tidak membawanya.
Ayah, ataukah Ibu?
Kita semua tahu, bahwa kewajiban mendidik dan membimbing anak bukan kewajiban salah satu ortu, bukan hanya ayah, bukan juga hanya ibu, tapi kedua ortu, ayah dan ibu. Karena anak adalah hasil "karya" berdua, dan amanah bagi keduanya dari Allah. Namun, kalau ditelusuri, yang paling bertanggung jawab adalah ayah. Apa pasal? Satu, ayah adalah direktur utama dalam rumah tangga. Kedua, yang diberi amanah untuk menjaga shalat di masjid adalah kaum pria, meski para hawa tidak dilarang ke masjid. Terlepas dari itu, semua tergantung kondisi dan komunikasi antara kedua orang tua. Misal, anak laki-laki didampingi ayah dan shalat di shaf para pria, sedangkan anak putri didampingi ibu dan shalat di shaf para wanita. Ini sekaligus mengajarkan positioning shaf dalam shalat berjamaah. Sebaiknya, ortu yang bawa anak kecil yang masih bawa najis (belum khitan) tidak berbaris di shaf depan, bahkan cukup di bagian belakang.
Masjid Para Manula
Di sebagian (besar) masjid, jamaah didominasi oleh para orang tua, pensiunan dan manula. Paling tidak, ini pengalaman pribadi saya. Ya, ada pemuda dan anak usia SD-SMA, tapi jarang dan tidak mendominasi, kecuali di masjid pesantren. Mengapa demikian?
Kerap, di banyak masjid, para orang tua yang lupa pernah jadi anak kecil, suka marah dan risih dengan anak kecil. Alasannya, karena di masjid hanya ribut, bermain dan mengganggu orang shalat. Anak, memang sebagian anak, selayaknya ulat, yang tampak bikin geli dan gatal, tapi akan segera menjadi antung dan tak lama kan menjadi kupu-kupu nan indah terbang, ia bisa memakmurkan masjid, menjadi muadzin dan bahkan memimpin shalat. Akan tetapi, karena para ortunya tidak mendampingi, kesan ulat pun tetap melekat. Ia dimarahi, dibentak dan bahkan dijewer, -na'udzu billah- oleh orang tua yang bukan ortunya di masjid, sehingga ia enggan lagi ke masjid. Pada akhirnya, anak benci ke masjid, karena trauma dan takut dimarahi dan dijewer. Wallahul musta'an. Akhirnya, masjid hanya dipenuhi para manula. Anak-anak lebih asyik main petasan di jalanan, dan para remaja asyik nongkrong di warung atau tempat hiburan.
Saat ini, beberapa masjid mengalami defisit remaja. Ikatan remaja masjid pun jarang yang beroperasi. Bilapun ada, hanya formalitas dan insidensial kegiatannya. Bukankah ini problem besar?
Konon, ada yang bilang, para manula tinggal nenunggu ajal, bau tanah, sehingga wajar rajin ibadah. Kesibukan kerja sudah berkurang, karena pensiun. Apa lagi kalau bukan makin dengan Tuhannya.
Bisa jadi, para muda masih sibuk kerja, dengan asumsi bila tua akan sadar dan kembali ke masjid, dan tinggalkan dunianya. Benar begitu?
Batas usia orang tiada ditahu. Pemilahan masa kerja dan ibadah, masa dunia dan masa akhirat jelas bukan sebuah kebaikan. Saat kita sibuk dengan dunia, akhirat pun berjalan seiringan dengannya. Saat sukses dunia di usia muda, sukses akhirat kenapa harus ditunda tua. Toh, kesuksesan dunia akan makin menanjak, melangit, bila didukung dengan spiritualitas dan moralitas yang tinggi. Jadi, ke masjid tak perlu dan jangan sampai menunggu tua. Padahal kematian tidak milik orang tua saja.
Sedini mungkin, anak diakrabkan ke masjid. Dengan mengikuti pengajian al-Quran di TPQ (usia TK/SD) dan Madrasah Diniyah, pengajian keagamaan (usia SD-SMA) di Masjid dengan bimbingan guru-guru yang alim dan shalih. Sehingga, kelak setelah lulus, bisa melanjutkan estafet kemakmuran masjid. Semua itu, tentunya harus dengan adanya teladan dan bimbingan dari orang tuanya, yang akan memotivasi dan menyemangatinya. Semoga bermanfaat. []
Wallahu a'lam
Cirebon, 15 Ramadhan 1436 H
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar