Sebuah Cerpen
Oleh: Eni Ratnawati*
Senja memayungi kota Surabaya. Sulur-sulur jingga berarak merebut kerajaan langit, menggantikan cerah yang rupa-rupanya telah berpulang ke peraduannya. Jalanan yang sesiang itu ramai oleh para pekerja pabrik, kini suram menyisakan kubus-kubus kelabu yang terabaikan, teronggok di sepanjang kanan-kiri jalan menuju pemukiman Tambak Pring. Sore itu lengang, azan Magrib berkumandang saat sepasang suami-istri melintasi jalan beraspal yang semakin hari semakin rengat meninggalkan jejak kasar berlubang.
“Ini tidak seperti yang aku harapkan.” ucap Marni dari balik punggung suaminya. “Semoga saja dokter itu salah.” sesalnya setengah kesal.
“Lha, masak iya dokter bisa salah?! Dan lagi kenapa harus menyesal? Wong anak itu ada bapaknya!” ucap Mardi, suaminya.
“Sampean gampang saja ngomong kayak gitu! Nggak tau sih gimana sakitnya melahirkan, puyeng selama tiga bulan, mabok… Dan lagi anak kita sudah tiga. Sudah lebih dari cukup. Aku nggak mau hamil lagi.” protesnya dengan harga mati.
“Lho, lho… lha wong sudah terjadi! Mau diapain??”
“Diapain, kek!”
Mardi terperanjat. Ia menghentikan laju motornya.
“Kamu itu ngomong apa! Istigfar, Ni!!” Ia mencari wajah istrinya, sementara Marni melengos mengabaikan kata-katanya.
Mardi tidak tahu mengapa istrinya begitu tidak menginginkan anak dalam kandungannya. Tetapi dari hasil tebak-tebakannya, tidak ada alasan lain yang lebih masuk akal dari penolakan Marni, selain Salwa, anak bungsunya. Kasih sayang Marni yang berlebihan pada Salwa bahkan kerap menjadi pemicu pertengakaran di antara mereka. Tentu saja! Jika dengan kasih sayang itu Marni menjadi abai terhadap Eka dan Dimas, dua anak mereka yang lain.
Marni bilang, Salwa memiliki aura yang tidak dimiliki dua kakaknya. Kulit Salwa putih bersih, hidung mancung, bibir tipis bening, rambut keriting gantung, alis hitam tebal, dua bola mata bulat penuh dengan bulu-bulu mata yang lentiknya membuat iri siapa pun. Jika seseorang memuji Salwa, Marni merasa itu adalah pujian untuk dirinya. Dan betapa telah lama Marni merindukan puji-pujian yang telah lama meninggalkannya, mengkhianatinya sejak malam pertama pernikahannya.
Seperti yang terjadi pada suatu sore. Marni meringis. Bibir gelapnya bergetar-getar menahan haru yang kian mengental. Binar matanya menyatakan kebanggaan yang luar biasa. Diciuminya sosok berkuncir yang sedang manggut-manggut menjilati es krim, di pangkuannya.
“Dulu waktu hamil ngidamnya apa sih, Mbak?” tanya perempuan muda yang duduk di sampingnya.
“Nggak ngidam apa-apa, Liha. Cuma paling nggak betah sama bau badannya Mas Mardi.” ucap Marni, disusul tawa sekian wanita yang sedang duduk berjejal memenuhi dipan reyot di bawah beringin muda, di depan rumahnya.
Semua perempuan itu tampaknya menjadi betah berlama-lama duduk di pinggir selokan bau di belakang bokong pabrik, yang menggurita mengitari perkampungan Tambak Pring, demi bercuap-cuap, melihat kelucuan serta keriangan gadis lima tahun yang bibit kecantikannya telah merunyamkan sekalian warga kampung.
“Aku pengen nanti anakku cuantik dan pintar kayak anakmu, Mbak Mar.” cubit wanita yang lain pada pipi gembil Salwa. Marni senyam-senyum. Kecintaannya pada Salwa kian hari kian membumbung.
Begitu setiap pagi dan sore hari. Marni selalu senang mengajak Salwa berjalan-jalan mengelilingi komplek perumahan di sebelah kampungnya. Setiap pagi dan sore itu pula, pujian serta sanjungan untuk gadis kecil itu membanjir dari sekalian bibir. Dibilangnya pada orang-orang bahwa Salwa adalah bintang masa depan; calon artis, bintang iklan, kalau bukan model top yang bakal bikin seluruh kampung kecipratan tenar. Mereka yang mendengar itu terkadang mencandainya, menasehatinya, namun lebih banyak lagi yang manggut-manggut seolah mengamini cita-citanya.
Namun cita-cita itu mulai mengabut semenjak kira-kira sebulan yang lalu Marni diserang meriang. Badanya lemas tanpa sebab, dan ia juga sering tertidur di depan televisi. Belum lagi mual dan muntah yang datang pada waktu-waktu tertentu. Semua itu membuat Marni semakin tertekan dan uring-uringan. Dan kekhawatirannya menjadi nyata saat sore itu Mardi mengantarkannya ke klinik, lalu mereka kembali dengan hasil yang sudah diprediksinya sendiri jauh-jauh hari. Tetapi begitu, hatinya sulit menerima kebenaran. Menurutnya, dengan memiliki anak lagi, kasih sayangnya pada Salwa akan terduakan, dan cita-citanya hanya akan menjadi bahan candaan. Belum lagi ketakutannya yang lain, yang seolah meyakini bahwa anak dalam rahimnya tidak akan lebih membanggakan dari Salwa. Semua hanya akan merusak citra serta mimpinya.
“Besok aku mau ke rumah ibu.” ujar Marni sesaat setelah mereka sampai di halaman rumah mereka.
Mardi mengiyakan. Ia tidak bertanya apa-apa meski tahu beberapa hari yang lalu Marni baru berkunjung ke rumah ibunya.
Marni berasal dari keluarga kaya. Ia anak seorang petani tambak yang tersohor di kalangannya. Tetapi Mardi mengenal Marni bukan karena tambak atau nama besar bapaknya, melainkan dari gunjingan kawan-kawannya. Kembang desa Tambak Pring, kata itu yang membuatnya tidak bisa lena. Tak terhitung berapa lurah dan duda kaya yang datang melamar Marni. Para pemuda saling berlomba mendapatkan hatinya, namun si Kembang Desa justru jatuh ke pelukannya. Kekhilafan masa muda menyatukan mereka dalam pelaminan, yang disebut-sebut orang sebagai perkawinan si cantik dan si buruk rupa. Dan sekarang, Mardi harus membayar mahal itu semua.
Sejak mengetahui dirinya hamil lagi, Marni menjadi begitu rajin bertandang ke rumah orang tuanya. Jika tidak bisa pagi, ia akan menyempatkan pergi di sore hari. Semua urusan rumah seperti tak lagi dipusingkannya.
Pada suatu malam, saat Marni pulang kelewat malam,
“Kau lupa kalau kau meninggalkan anak-anak di rumah?” tanya Mardi menahan sabar. “Aku menemukan ini? dan ini?!” matanya melotot.
Marni terbelalak. Seingatnya, ia selalu melempar botol-botol itu ke keranjang sampah setelah menghabiskan seluruh ramuannya. Ia kehabisan kata-kata.
“Kau tidak pergi ke rumah ibu.” Mardi mondar-mandir. “Kau, ke mana??” laki-laki itu melolong mengawasinya.
“Aku tidak tahu itu milik siapa!” ucap Marni tak senang.
“Jangan nekat dengan niatmu. Jangan sampai sesuatu buruk terjadi pada anak dalam perutmu. Kualat, Ni, kualat!!” urat leher Mardi mengeras.
Tiba-tiba Marni melotot. “Terus pengennya gimana?” tanganya menghentak-hentak di atas kasur. “Coba kalau kamu punya cukup uang, tentu semua lebih mudah. Lha? Untuk menghidupi dua anak saja sudah susah, mau nambah punya anak lagi. Kamu pikir yang aku lakukan ini apa? Untuk siapa? Kamu mau aku dipermalukan terus sama keluargaku? Mengemis terus sama mereka dengan alasan cucu-cucunya? Aku sudah cukup sabar dengan tinggal di rumah kecil ini, tidak pernah mengeluh tentang teman-temanku yang tinggal di sebelah sana, di perumahan sana!”
Marni mulai melipat baju anak-anaknya dengan kekuatan berlebih. Dihentak-hentakkannya lengan dan kakinya sebagai penguat rasa kesal.
Mardi terdiam. Dipandanginya wajah perempuan yang dinikahinya tiga belas tahun itu dengan penyesalan yang dalam. Betapa ia ingin membahagiakan istrinya, mencukupinya, memberikan semua yang diingininya. Tetapi pekerjaannya yang hanya sebagai sopir muatan, tidak mendukungnya untuk itu semua. Masih untung Mardi mendapat jatah muatan. Terkadang, jika muatan sepi, ia harus rela menjadi kacung, menunggu mobil-mobil besar itu membongkar muatannya.
“Kamu bersabarlah sedikit, aku sedang mengusahakan pekerjaan yang lebih baik.”
“Bersabar bersabar, harus bersabar sampai kapan??” cerocos Marni garang. “Sampai nenek-nenek?” kembali kaki dan tangannya menghentak-hentak.
“Tidak baik uring-uringan begitu, Ni! Kamu sedang hamil!” Mardi mendekati istrinya, namun kembali mundur Karena Marni mendorongnya. “Tapi bayi kita baik-baik saja kan?”
“Aku nggak mau anak ini!” Marni melengos.
Bagai tersengat setrikaan, Mardi terkesiap dan kemudian panik bukan kepalang.
“Astaghfirullah, Niiiii! Nyebut kamu! Jadi bener dugaanku?” tampang Mardi menjadi runyam. “Anak itu amanah. Rizki dari Allah.”
“Aku nggak peduli! Aku nggak mau anak ini lahir, dan Salwa nggak keurus.”
“Apa?!” Mardi melotot. Lalu buru-buru bersimpuh di lutut istrinya. Dirapalnya sejuta pitawat demi mengembalikan kesadaran Marni. Mardi mengelus perut istrinya, berusaha menyapa janin yang bersemayam di dalamnya. Entah apa yang dipikirkan Marni, tetapi matanya lekat pada sosok mungil yang sedang pulas di atas kasur. Kecintaannya pada Salwa melebihi apapun.
Tiba-tiba Marni merintih. Ia menahan pinggangnya sambil meringis. Mardi yang tidak menyadari sesuatu besar telah terjadi, menatap panik pada istrinya yang kini memejam terus menggeliat. Ia berusaha memijit, keluar-masuk kamar mengambilkan sesuatu yang mungkin dibutuhkan istri dan calon anaknya. Namun Marni tetap melenguh dan mengeluh. Mardi baru tersadar setelah melihat bayangan hitam merembes di kain istrinya. Seketika itu wajahnya pasi, suaranya tercekat dan lututnya menggigil. Merah mengaliri tungkai Marni dan terus jatuh ke ubin.
Pertolongan itu segera datang. Namun tidak bagi janin di dalam perut Marni. Semua merasa kehilangan, tetapi tidak dengan Marni. Ia berjalan ceria menapaki tangga rendah di depan teras rumahnya.
Eka berdiri di muka pintu. Digendongnya Salwa yang masih menangis tanpa benar-benar tahu mengapa bocah kecil itu terus menangis.
“Salwa kenapa, Nak??” tanya Marni sambil mencumbu Salwa. Ia dan suaminya baru saja pulang dari rumah sakit.
“Salwa rewel, Bu. Nangis terus sejak Ibu di rumah sakit.” ungkap Eka, putri sulungnya.
Mardi mengambil alih Salwa, menggendongnya, membuatnya tertawa-tawa sebentar namun itu tidak berlangsung lama. Salwa kembali menangis. Giliran Marni menawarkan tangannya, mencandainya, berusaha mengabaikan sakit yang masih terasa di tulang-belulangnya. Namun Salwa tak hendak beranjak. Bocah kecil itu semakin erat memeluk leher Mardi.
Malam itu, semua penghuni rumah Mardi tak sejenak pun dapat terpicing. Sampai tengah malam Salwa masih terus menangis, dan semakin keras tangisnya kala gadis kecil itu mengeluhkan panas di sekitar perutnya oleh sebab buang air. Semua menjadi panik. Mardi tidak dapat menunggu esok untuk kembali ke rumah sakit.
Satu-persatu tetangga berdatangan mengunjungi Salwa yang dirawat di rumah sakit, termasuk aku. Aku datang bersama ibuku. Ibu menyabar-nyabarkan Marni, yang terus menangis menunggu di samping tubuh kecil itu.
“Semua dari Allah, yang sabar ya, Dik Mar.” ucap ibuku.
Marni mengelap matanya yang sembab. Bibir dan jemarinya gemetaran. “Aku ingin memeluknya, Mbak.” Ia tergugu. “Menciumnya, mengelus rambutnya, tapi Salwa bahkan tidak mau melihatku.” Air matanya mengalir deras. “Aku nggak tahu kenapa dia nggak mau kusentuh. Aku nggak tega lihat dia seperti ini, Mbak! Nggak kuat atiku…!” Marni mengguncang-guncang tangan ibuku.
Di antara isak tangis Marni, masih tedengar banyak lagi rintihan dan ratapannya, sedalam dan setinggi mimpi-mimpinya yang telah karam di dalam cairan infus anaknya.
Sejenak aku melirik Salwa. Gadis kecil itu masih terlihat cantik bahkan saat sekian selang berseliweran di sekeliling tubuhnya. Mardi duduk di dekat kepala Salwa, melantunkan bebait ayat suci. Sampai pada suatu ayat di penggalan surah Ar-rahman, saat ia mengucap ‘yaaquutu wal marjaan’, tiba-tiba suara Mardi tersendat. Dan satu ayat setelahnya membuat bibir laki-laki malang itu tercekat. Tangan Mardi gemetar, sebelum menangis memeluk tubuh Salwa.
Selang tujuh hari setelah kunjunganku ke rumah sakit, keluarga itu pulang dengan iring-iringan besar. Ambulans menepi di sudut gang mengguratkan duka yang teramat dalam. Wajah-wajah sembab turun dari mobil-mobil dan motor-motor besar. Mereka keluarga Marni. Dari sekian wajah, tampak Marni berjalan lunglai dibimbing dua adiknya. Matanya terbuka lebar, menatap lurus ke depan, sesekali terseok dan terjatuh. Tetapi tatapan mata itu kosong, hidungnya berair, wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. Marni seperti sosok yang berjalan di dalam tidur. Sementara di depannya, di antara sekian laki-laki yang mengobar haukalah, Mardi membopong jenazah putrinya.
Bintang masa depan itu telah pergi, di usianya yang terlalu dini. Tumor ginjal membuatnya tak bisa bertahan meski dalam hitungan hari. Di penghujung musim itu, Mardi mengubur dua tubuh, hati dan jantungnya, dalam lahat yang sama.[]
Cirebon, 21/04/2015
* Penulis berasal dari pesisir utara Lamongan. Saat ini tinggal di Cirebon. Senja Terbelah di Bumi Surabaya (2015) adalah novel perdana yang terlahir darinya.