Pagi ini, di hari pertama mampir Jakarta,
tepat di dekat pintu gerbang masjid yang kusinggahi, nasi uduk terjajakan. Tak
jauh di sampingnya, seorang penghuni kontrakan sebelah sedang menyiapkan
gerobak dagangan gado-gadonya yang akan dijajakannya jam 8 nanti di
Pejaten.
Menghadapi
dua pilihan menu sarapan pagi ini, aku jadi teringat cerita dari seorang
guruku, Pak Haji Abu Bakar Dachlan. Pada sebuah pertemuan para guru ngaji
se-Jabodetabeka di Masjid Indocement Cileungsi-Bogor beberapa tahun silam.
Bahwa setiap kali beliau pulang kampung, dan saat ditanyakan oleh sang Ibunda
menu apa yang akan dihidangkan, beliau tidak bisa langsung menjawab. Lantas,
apa yang dilakukannya? Ternyata, dalam urusan memilih menu masakan pun, beliau
lakukan shalat istikharah, memohon pertimbangan kepada Allah. Tampak aneh dan
berlebihan (?!). Begitu yang kurasakan, mungkin juga kawan-kawan guru lainnya,
sesaat ketika mendengar kisah dari beliau kala itu.
Pesan
yang ingin beliau sampaikan, menurut pembacaanku, dari hal-hal kecil pun, kita
jangan pernah lupa melibatkan Allah untuk diminta pertimbangan. Sebab tiada
daya dan upaya bagi manusia, selain dari-Nya. Tiada keberkahan selain yang
diridhai-Nya dan tiada kebaikan yang sempurna selain atas hidayah-Nya. Kasihnya
terbentang bagi setiap yang mengetuk di depan pintu-Nya. Dia Maha mengetahui,
sementara manusia tidak tahu. Dengan beristikharah, meminta pertimbangan
kepada-Nya, maka kita terhindar dari sikap belagu, sok tahu dan keminter.
Kembali
ke soal memilih menu sarapan pagi, selain istikharah, kita bisa meminta
pertimbangan pada hati dan pikiran. Adalah nasi uduk dan aneka gorengan, menu
sarapan yang menjadi favorit dan merakyat bagi warga penghuni ‘kampung’ selatan
Jakarta ini. Menu makanan ini hampir bisa kita temukan di kebanyakan gang kecil
dalam pemukiman. Entah dari mana asal mula nasi uduk ini datang. Sementara
gorengan, bila Ramadhan tiba, ia adalah makanan yang paling banyak diserbu para
penunggu buka puasa. Dalam memilih makanan, kita kerap tidak begitu peduli soal
gizi dan kesehatan. Bukan apa yang baik bagi kita, yang dibutuhkan oleh tubuh,
jiwa dan raga kita. Apa yang kita makan, pun juga apa yang kita beli, lebih
banyak apa yang kita suka. Bukan empat sehat, lima sempurna. Tapi, yang terpenting
adalah kenyang. Kalau belum nasi, belum disebut makan. Sementara kehidupan ini
harus seimbang, termasuk tubuh kita, harus diberi asupan yang seimbang.
Karbohidrat yang didapat dari biji-bijian, umbi-umbian, dan lain sebagainya.
Protein yang bisa didapat dari lauk-pauk, daging, ikan, tahu-tempe dan lain
sebagainya. Serat dan vitamin bisa didapat dari sayur-mayur dan buah-buahan.
Lemak bisa didapatkan dari susu, dan seterusnya.
Jauh
sebelum kita hidup, kita telah diingatkan oleh Sang Pencipta, bahwa yang kita
makan haruslah yang halal lagi baik. Halal saja tidak cukup, tapi juga bergizi,
baik bagi tubuh kita. baik berarti tidak membahayakan. Memang, efeknya tidak
terasa dalam waktu dekat. Akan tetapi, bukti nyata akan tampak, bila kita masuk
Rumah Sakit. Mereka yang terbaring di ranjang pesakitan, terkena diabetes, asam
urat, sakit pada liver, paru-paru dan lan sebagainya banyak disebabkan oleh
ketidakseimbangan pola hidup dan khususnya oleh pola makan yang tidak sehat.
Kita adalah apa yang kita konsumsi.
Semua
gizi yang baik itu pun tidak sebebas-bebasnya dikonsumsi. Ia memiliki takaran
yang proporsional, sesuai dengan batas kemampuan tubuh manusia. Bila tidak,
entah berlebihan atau kekurangan, akan berdampak buruk bagi kesehatan. Kembali
kita diingatkan Allah, “Makan dan minumlah, namun jangan berlebihan. Allah
tidak suka yang berlebihan” Sedang-sedang sajalah. Sesuai dengan kebutuhan.
Lantas, bagaimana takaran muatan tubuh kita? Rasulullah saw memberikan panduan
secara global, yaitu sepertiga untuk makanan, sepetiga untuk minuman dan
sepertiga lagi untuk bernafas. Lebih mudahnya, sebuah pepatah, konon katanya
sabda Nabi, yaitu “kami adalah kaum yang tidak makan, kecuali ketika lapar.
Bila makan, kami akan berhenti sebelum terasa kenyang.” Namun, tak jarang dari
kita yang kalau sudah keenakan, kenyang pun tetap dilanjutkan.
Suatu
ketika, seorang ahli gizi datang ke ruang perawatan ibu kami yang sedang
terbaring sakit diabetes di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan beberapa
hari yang lalu. Ia menjelaskan, bahwa penderita diabetas harus menjaga pola
makan ekstra ketat dan seimbang. Tidak hanya jenis makanan, dan takarannya,
tapi waktunya juga. Ada beberap jenis makanan yang tidak boleh dikonsumsi. Dan
yang boleh dikonsumsi pun ada takarannya. Itu pun harus dilakukan setiap tiga
jam. Makan nasi tidak boleh bersamaan dengan ubi, singkong, gandum atau asupan
karbohidrat lainnya. Bila sarapan pukul 7 pagi, maka pukul 10 makan buah
atau susu kedelai. Lantas, makan siangnya pukul 13, sementara pukul 16 makan buah
atau agar-agar, dan terakhir makan malam. Bila kita enggan masuk rumah sakit,
menjaga pola hidup sehat adalah sebuah keniscayaan. Bukan apa yang kita mau,
tapi apa yang kita butuhkan. Menjaga pola hidup sehat bentuk syukur kepada
Tuhan. Bila kita bersyukur, Dia akan menambahkan kesehatan. Bila kita semau
gue, siksaan pedihnya tuh bukan di sini, tapi di rumah sakit. Dan, bisa
ditebak, aku lebih memilih gado-gado sebagai menu sarapan daripada nasi uduk.
Bukan karena tidak suka. Sebab, aku doyan kedua-duanya. Dan meskipun nasi uduk
tentunya lebih murah. Yang pasti, aku bukan penjual gado-gado.[]
Jakarta,
20 Januari 2015
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar