Sunday, February 21, 2016

Butuh ataukah Suka?


Pagi ini, di hari pertama mampir Jakarta, tepat di dekat pintu gerbang masjid yang kusinggahi, nasi uduk terjajakan. Tak jauh di sampingnya, seorang penghuni kontrakan sebelah sedang menyiapkan gerobak dagangan gado-gadonya yang akan dijajakannya jam 8 nanti di Pejaten. 
Menghadapi dua pilihan menu sarapan pagi ini, aku jadi teringat cerita dari seorang guruku, Pak Haji Abu Bakar Dachlan. Pada sebuah pertemuan para guru ngaji se-Jabodetabeka di Masjid Indocement Cileungsi-Bogor beberapa tahun silam. Bahwa setiap kali beliau pulang kampung, dan saat ditanyakan oleh sang Ibunda menu apa yang akan dihidangkan, beliau tidak bisa langsung menjawab. Lantas, apa yang dilakukannya? Ternyata, dalam urusan memilih menu masakan pun, beliau lakukan shalat istikharah, memohon pertimbangan kepada Allah. Tampak aneh dan berlebihan (?!). Begitu yang kurasakan, mungkin juga kawan-kawan guru lainnya, sesaat ketika mendengar kisah dari beliau kala itu.

Pesan yang ingin beliau sampaikan, menurut pembacaanku, dari hal-hal kecil pun, kita jangan pernah lupa melibatkan Allah untuk diminta pertimbangan. Sebab tiada daya dan upaya bagi manusia, selain dari-Nya. Tiada keberkahan selain yang diridhai-Nya dan tiada kebaikan yang sempurna selain atas hidayah-Nya. Kasihnya terbentang bagi setiap yang mengetuk di depan pintu-Nya. Dia Maha mengetahui, sementara manusia tidak tahu. Dengan beristikharah, meminta pertimbangan kepada-Nya, maka kita terhindar dari sikap belagu, sok tahu dan keminter.

Kembali ke soal memilih menu sarapan pagi, selain istikharah, kita bisa meminta pertimbangan pada hati dan pikiran. Adalah nasi uduk dan aneka gorengan, menu sarapan yang menjadi favorit dan merakyat bagi warga penghuni ‘kampung’ selatan Jakarta ini. Menu makanan ini hampir bisa kita temukan di kebanyakan gang kecil dalam pemukiman. Entah dari mana asal mula nasi uduk ini datang. Sementara gorengan, bila Ramadhan tiba, ia adalah makanan yang paling banyak diserbu para penunggu buka puasa. Dalam memilih makanan, kita kerap tidak begitu peduli soal gizi dan kesehatan. Bukan apa yang baik bagi kita, yang dibutuhkan oleh tubuh, jiwa dan raga kita. Apa yang kita makan, pun juga apa yang kita beli, lebih banyak apa yang kita suka. Bukan empat sehat, lima sempurna. Tapi, yang terpenting adalah kenyang. Kalau belum nasi, belum disebut makan. Sementara kehidupan ini harus seimbang, termasuk tubuh kita, harus diberi asupan yang seimbang. Karbohidrat yang didapat dari biji-bijian, umbi-umbian, dan lain sebagainya. Protein yang bisa didapat dari lauk-pauk, daging, ikan, tahu-tempe dan lain sebagainya. Serat dan vitamin bisa didapat dari sayur-mayur dan buah-buahan. Lemak bisa didapatkan dari susu, dan seterusnya.

Jauh sebelum kita hidup, kita telah diingatkan oleh Sang Pencipta, bahwa yang kita makan haruslah yang halal lagi baik. Halal saja tidak cukup, tapi juga bergizi, baik bagi tubuh kita. baik berarti tidak membahayakan. Memang, efeknya tidak terasa dalam waktu dekat. Akan tetapi, bukti nyata akan tampak, bila kita masuk Rumah Sakit. Mereka yang terbaring di ranjang pesakitan, terkena diabetes, asam urat, sakit pada liver, paru-paru dan lan sebagainya banyak disebabkan oleh ketidakseimbangan pola hidup dan khususnya oleh pola makan yang tidak sehat. Kita adalah apa yang kita konsumsi.

Semua gizi yang baik itu pun tidak sebebas-bebasnya dikonsumsi. Ia memiliki takaran yang proporsional, sesuai dengan batas kemampuan tubuh manusia. Bila tidak, entah berlebihan atau kekurangan, akan berdampak buruk bagi kesehatan. Kembali kita diingatkan Allah, “Makan dan minumlah, namun jangan berlebihan. Allah tidak suka yang berlebihan” Sedang-sedang sajalah. Sesuai dengan kebutuhan. Lantas, bagaimana takaran muatan tubuh kita? Rasulullah saw memberikan panduan secara global, yaitu sepertiga untuk makanan, sepetiga untuk minuman dan sepertiga lagi untuk bernafas. Lebih mudahnya, sebuah pepatah, konon katanya sabda Nabi, yaitu “kami adalah kaum yang tidak makan, kecuali ketika lapar. Bila makan, kami akan berhenti sebelum terasa kenyang.” Namun, tak jarang dari kita yang kalau sudah keenakan, kenyang pun tetap dilanjutkan.

Suatu ketika, seorang ahli gizi datang ke ruang perawatan ibu kami yang sedang terbaring sakit diabetes di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan beberapa hari yang lalu. Ia menjelaskan, bahwa penderita diabetas harus menjaga pola makan ekstra ketat dan seimbang. Tidak hanya jenis makanan, dan takarannya, tapi waktunya juga. Ada beberap jenis makanan yang tidak boleh dikonsumsi. Dan yang boleh dikonsumsi pun ada takarannya. Itu pun harus dilakukan setiap tiga jam. Makan nasi tidak boleh bersamaan dengan ubi, singkong, gandum atau asupan karbohidrat lainnya. Bila sarapan pukul  7 pagi, maka pukul 10 makan buah atau susu kedelai. Lantas, makan siangnya pukul 13, sementara pukul 16 makan buah atau agar-agar, dan terakhir makan malam. Bila kita enggan masuk rumah sakit, menjaga pola hidup sehat adalah sebuah keniscayaan. Bukan apa yang kita mau, tapi apa yang kita butuhkan. Menjaga pola hidup sehat bentuk syukur kepada Tuhan. Bila kita bersyukur, Dia akan menambahkan kesehatan. Bila kita semau gue, siksaan pedihnya tuh bukan di sini, tapi di rumah sakit. Dan, bisa ditebak, aku lebih memilih gado-gado sebagai menu sarapan daripada nasi uduk. Bukan karena tidak suka. Sebab, aku doyan kedua-duanya. Dan meskipun nasi uduk tentunya lebih murah. Yang pasti, aku bukan penjual gado-gado.[]
Jakarta, 20 Januari 2015


No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentar

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...