Selamat Jalan Prof Chozin:
Sosok Sederhana dan Penuh Semangat
Oleh: Masyhari
Senja ini (30/05), usai menikmati sajian berbuka puasa, hidangan jamuan penuh bungah bagi yang seharian berpuasa, dalam satu grup WhatsApp dosen STAIC tersiar kabar sesakkan dada. Sebuah kabar duka saya terima dari seorang kawan dosen, "inna lillahi wainna ilaihi rajiun, telah berpulang ke rahmatullah, Prof. Dr. KH. Chozin Nasuha Arjawinangun, Selasa sore ini (04 Ramadhan 1438 H/ 30 Mei 2017) pukul 17.00".
Rasanya tak percaya, sosok yang penuh semangat itu pergi tanpa ada kabar sakit terdengar sebelumnya. Saya pun langsung saya tanyakan kepada Pak Ajat, kawan dosen asal Arjawinangun yang kasih kabar tersebut, klarifikasi kebenaran berita duka itu.
"info dari Kang Husen Muhammad boten (tidak) sakit. Pulang dari Sumber jam 14.00. tiba di rmh jam 15.00, trus krasae blenak (rasa tidak enak badan), (akhirnya, bliau) buka (puasa), trus istirahat, trus turu selawase (tidur selamanya)." Jawab kawan saya.
Saya sendiri alhamdulillah bisa berkenalan dengan belau, dan berkesempatan menimba ilmu dari beliau. Meskipun tidak terlalu akrab, saya cukup mengenal prof Chozin. Saya mengenal nama beliau sejak pertama kali tinggal di Cirebon Jawa Barat, 2012 silam. Selama dua tahun (2012-2014) kuliah kelas pasca sarjana program beasiswa kader ulama yang diinisiasi ditpdpontren kemenag RI di Ma'had Aly Al Hikamus Salafiyah Babakan Ciwaringin Cirebon hampir setiap pekan bisa bertatap muka dengan beliau. Di setiap semester ada mata kuliah yang beliau ampu. Pertemuan semakin intens dan personal, saat beliau menjadi salah satu pembimbing tesis saya di program pasca sarjana IAIN Syekh Nurjati. Sempat beberapa kali saya harus datang ke kediaman beliau di sekitar komplek Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun, untuk bimbingan tesis.
Dalam tulisan ringan saya ini, ada beberapa hal yang saya catat dari beliau, semoga bisa menjadi inspirasi bagi saya pribadi khususnya, dan bagi para pembaca umumnya.
Pertama, beliau sosok dosen atau guru yang suka mengakrabi mahasiswanya. Tidak hanya soal materi pembahasan tesis yang akan beliau singgung, dalam proses pembimbingan. Beliau tak jarang juga tanya daerah asal, kondisi, tradisi, histori, dsb seputar daerah asal mahasiswanya, tidak terkecuali saya.
Bahkan, seusai saya diwisuda, beliau sempat kontak saya via telp untuk datang menemui beliau, baik di rumah beliau atau di kampus ISIF. Dari itu, saya tahu tidak hanya saya yang mengenal beliau, tapi beliau juga mengenali saya. Bahkan, beliau tak segan untuk "curhat" kepada saya terkait "urusan" relasi anaknya. Diceritakan karena anak beliau punya calon istri dari Lamongan, daerah asal tinggal saya. Beliau pun banyak tanya soal tradisi, adat istiadat, serta alamat si calon besan. Selain beliau juga minta kontak kawan saya Zainul Hakim yang sudah mudik ke kampung halaman di sekitar Lamongan-Gresik.
Kedua, beliau sosok sederhana dan pekerja keras. Gelar profesor ilmu tafsir UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan jabatan sebagai seorang rektor sebuah kampus, dengan usia senja berkepala tujuh, tidak menghalangi beliau dari menggunakan moda transportasi umum. Dari rumahnya, beliau lebih memilih mini bus dan angkot untuk menuju kampus tempat beliau mengajar di Pasca IAIN Syekh Nurjati di Jl. Perjuangan atau ISIF di Mejasem. Jarak perjalanan sekitar sejam dengan kendaraan. Hanya sesekali waktu saja beliau diantar oleh santri beliau, semisal Kang Muttaqin atau yang lain. Apa beliau tidak punya mobil pribadi? Entah. Yang pasti rumah beliau sangat sederhana dan beliau punya cukup banyak anak, dan juga sudah bercucu.
Bayangan saya sebelumnya, sosok profesor sederhana hanya ada dalam tradisi orang Mesir, dimana mereka biasa berjalan kaki atau naik angkutan umum dari rumah ke kampus. Ternyata di Indonesia juga ada, dan itu dosen saya sendiri. Patut diteladani, meskipun sudah bergelar profesor doktor, rektor dan berusia sepuh tak menjadikan gengsi untuk berpanas dan berpenat ria di kendaraan umum.
Ketiga, sosok kritis dan guru teladan. Terkait hal ini, kami akrab dengan jargon "kepruki". " Istilah "kepruki" ini saya pertama kali dengar dari beliau di kelas. Artinya, "menyerang" atau mengkritisi pemikiran atau ide yang diungkapkan seseorang. Dalam perkuliahan, beliau tidak suka menggurui, beliau hanya jelaskan garis-garis besar, lebih dominan berisi pertanyaan kritis filosofis daripada pernyataan atau indoktrinasi. Sistem perkuliahan yang beliau terapkan, mahasiswa diberi tugas menyajikan makalah dan mempresentasikannya. Lantas beliau menjadi seperti moderator yang memprovokasi mahasiswa untuk "ngepruki" pemakalah. Setelah diakusi antar mahasiswa berjalan, beliau pun akan ikut ngepruki dengan memberondong pertanyaan kritis kepada pemakalah.
Keempat, sosok pemikir progresif dan penuh semangat. Dalam tatap muka yang ada, terbaca progresifitas pemikiran beliau. Tak heran jika beliau sering berbeda pandangan dan bersebrangan dengan kalangan kiyai pesantren tradisional yang cenderung taklid pada tradisi turats ulama zaman bahoela (baca: salaf) .
Beliau sering mengkampanyekan ide tajdid ilmu pengetahuan, termasuk pengetahuan yang berbasis agama Islam, semisal Ulumul Qur'an, tafsir, fikih dan bahkan Ushul Fikih. Landasan pemikiran beliau, kalau itu disebut sebagai ilmu pengetahun, tentu sederet fann ilmu tersebut tidak kebal kritik atau pembaharuan. Dalam hal ini, beliau pernah menyusun sebuah tulisan dan beberapa bangunan metodologi, kerangka berpikir dan filosofinya. Soal ini, beliau penuh semangat dan suka menularkan "virus" ini ke para mahasiswanya.
Kelima, sosok murid yang baik, yang menghargai "jasa guru" dan kawan yang baik. Di antara wujud penghargaan terhadap seorang tokoh dan pemikirannya adalah dengan kutipan yang dilakukan, baik dalam forum ceramah, perkuliahan ataupun tulisan.
Dalam forum perkuliahan, paling tidak ada tiga tokoh yang saya sering dengar dari beliau, yaitu Cik Hasan Bisri, seorang ahli dalam bidang penelitian dan karya ilmiah. Kedua yaitu Prof Harun Nasutian, seorang pemikir di Indonedia. Harun Nasution merupakan guru beliau di pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam bidang pemikiran, filsafat dan pembaharuan, tampaknya beliau banyak terinspirasi dari Harun Nasution. Nama ketiga yaitu Kiyai Masdar Farid Mas'udi. Prof Chozin tak sekali menyebut nama ini. Kiyai Masdar, kata Prof Chozin, sangat berani dalam dalam mengungkapkan ide pemikirannya, tanpa takut dicemooh. Bahkan, kisah beliau, Pak Masdar pernah sampai dilempar sandal oleh seorang kiyai dalam sebuah forum diskusi karena ide pemikirannya yang dianggap nyleneh dan menyimpang dari mainstream.
Keenam, tokoh pembela hak kaum minoritas yang tertindas. Beliau bilang, bahwa kawan-kawan penganut kepercayaan dan ajaran minoritas yang dianggap "sesat" dan menyimpang, kerap mendapatkan kezaliman dari pemerintah setempat. Karena itu, beliau bersama kawan-kawan di Isif Cirebon dan fahmina pun akrabi mereka dan lakukan upaya advokasi. Bentuk kezaliman itu misalnya, komunitas Ahmadiyah di desa Manis Lor, Jalaksana, Kuningan, karena kepercayaan mereka oleh pemerintah setempat tidak diakui sebagai penganut agama Islam, hak sipil mereka pun terzalimi. Saat menikah, anak mereka sulit (untuk tidak menyebut "tidak bisa) untuk mendapatkan Surat Nikah, dan tidak tercatat di catatan KUA setempat. Pada giliran berikutnya, berimbas pada akta lahir anak mereka dan hak perdata. Komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan juga termasuk yang menjadi perhatian beliau, dam kawan-kawan.
Kini, Prof Chozin telah meninggalkan kita semua, dengan aneka warisan keteladanan akan kesederhanaan, kesahajaan, semangat yang menggebu dalam gerakan pemikiran (hirsh), kerja keras, dalam keuletan dan pantang menyerah, dalam kemandirian dan pembelaan terhadap yang teraniaya.
Sebenarnya, masih banyak hal lain yang perlu dicatat dari kebaikan Prof Chozin. Namun, waktu lah yang belum memungkinkan. Selamat jalan prof Chozin, semoga amal baktimu abadi, dan tercatat sebagai amal baik di sisi Allah subhanahu wata'ala, dan husnul khatimah. Mari takziyah dan doa bersama buat beliau. Alfatihah.
Cirebon, 30-31 Mei 2017/ 5 Ramadhan 1438 H