Monday, May 8, 2017

Sekolah Abaikan Persoalan Sosial Kemasyarakatan?

Sekolah Abaikan Persoalan Sosial Kemasyarakatan?
Oleh: Masyhari


Saya mempunyai seorang kawan (sebut saja Yanto). Di kampungnya, ia terbilang "pemuda langka", aset masyarakat yang berharga. Di usianya yang ke 26, ia tercatat sebagai sekretaris DKM di kampungnya. Ia merupakan pengurus DKM termuda, karena rerata pengurus DKM sudah tua dan manula, usia 50an-60an tahun. Saat ini, ia tercatat sebagai kandidat master di sebuah kampus negeri di Jawa Tengah.
Dia bisa dibilang seorang single-fighter. Dan demikianlah yang dirasakannya. Karena pemuda dan remaja kampungnya, pada umumnya jarang -untuk tidak menyebut tidak ada- yang turut serta aktif dalam kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan di kampungnya. Akhirnya, sampai saat ini, tak satu pun organ kepemudaan hidup dan eksis di kampungnya. Karang taruna tak ada. Ikatan remaja masjid pun tinggal nama. IPNU-IPPNU ataupun IPM-IRM pun belum dikenal di sana. Tampaknya, banyak hal yang digelisahkannya, khususnya terkait fenomena masyarakat yang dihadapi, baik terkait dunia pendidikan ataupun dunia sosio-cultural dan keagamaan yang digeluti.

Satu hari, ia bertukar pendapat, mengkritisi fenomena pendidikan sekolah yang, satu sisi mengaktifkan dan memaksimalkan kegiatan siswa di sekolah, baik dengan kegiatan belajar sesuai kurikulim di sekolah model full-day, hingga kegiatan intra dan ekstrakurikuler. Para siswa pun berjibaku dg tugas-tugas "pendidikan" di lingkungan sekolah dengan penuh semangat. Nilai-nilai berupa angka di raport pun diperebutkan, dan kejuaraan bertingkat- tingkat pun dikejar sekuat tenaga. Inilah yang disebut dengan prestasi yang membanggakan, baik bagi sekolah maupun oleh orang tua di rumah. Para siswa ini kebanyakan jago "kandang". Kandang itu bernama sekolahan. Bangunan fisik tembok, dikelilingi pagar. Berbilang-bilang medali dikalungkan, sejuta prestasi ditorehkan. Namun, di masyarakatnya, ia jarang bergaul, apalagi berperan dan andil dalam kegiatan kemasyarakatan. Dengan tetangga rumahnya saja ia tidak mengenal dan dikenali. Keluar pagi sebelum pukul tujuh, dan pulang ke rumah sementara hari sudah petang. Di hari libur pun ia masih sibuk dengan tugas sekolah,  sekedar bersantai di dalam rumah, bermain-rehat atau rekreasi mencari hiburan keluar di akhir pekan.

Selama ini, kebanyakan tugas yang diberikan sekolah, jarang yang secara teknis bersentuhan langsung dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Terbukti, masjid-masjid hanya dipenuhi kaum manula dan anak-anak usia TK. Kegiatan taklim di masjid tidak banyak diikuti oleh para remaja usia sekolah menengah dan mahasiswa. Mereka seakan lenyap, tiada kentara, bahkan belangnya pun tak terbaca mata.

Akibatnya, ia bisa dikata sukses dalam sekolah, namun gagal di masyarakatnya. Kalau setiap siswa mengalami hal serupa, entah bagaimana masa depan "rumah besar kita"?
Sementara dalam teori-teori digemakan dan di mimbar-mimbar seminar diteriakkan bahwa pemuda adalah generasi masa depan. Pelajar adalah agen perubahan. Lantas, bila selama belajar di sekolah hanya dituntut untuk menaikkan ratingnya di lembar-lembar raport, sementara ia jarang dan bahkan tak pernah mengenal dunia masyarakat nyata di sekitarnya, bagaimana ia tidak gagap bila setelah lulus ia dituntut untuk bisa melakukan perubahan? Bisa berinteraksi dan bergaul dengan masyarakat saja sudah bersyukur.

Ini satu PR dunia "pendidikan sekolah". Kurikulum yang ada hendaknya dilakukan perubahan. Pun diharapkan para guru dan pihak sekolah melakukan upaya bimbingan dan pengarahan agar para siswanya turut berperan aktif di masyarakat. Dalam tugas-tugas sekolah pun disisipkan adanya interaksi siswa dg melibatkan masyarakat sekeliling tempat tinggalnya. Karena selama ini, fenomena yang terjadi, banyak siswa dan ortu masih menganggap angka sebagai tujuan dan tarjet dari pendidikan di sekolah. Siswa dituntut untuk aktif belajar di sekolah dan di kegitan intra dan ekstra, karena akan menunjang dan meningkatkan nilainya di mata para gurunya. Sementara perannya di masyarakat, bisa dibilang jarang -untuk tidak menyebut "tidak pernah"- dimasukkan dalam daftar proyek sekolah yang dapat menunjang prestasi dan dimasukkan dalam nilai raportnya. Maklum, karena tarjet yang dikejar masih angka dalam kertas.

Hal ini tentunya tidak berlaku pada sekolah yang sudah tidak menuhankan angka, dan sekolah yang sudah sadar akan pentingnya peran pemuda dalam perubahan masyarakat menuju kemajuan dan lebih baik. Semoga. Di pesantren-pesantren dan sebagian madrasah di sejumlah daerah, sudah banyak melakukan upaya pengakraban pelajarnya dengan masyarakat. Kegiatan pengabdian masyarakat, bakti sosial menjadi agenda rutin. Sebut saja misalnya Mak Tarbiyatut Tholabah Kranji-Lamongan. Di sana, para santri memiliki kegiatan pengabdian masyarakat berupa bakti sosial, sejenis KKN (Kuliah Kerja Nyata) selama beberapa hari di perkampungan atau daerah pelosok.

Bahkan, tak jarang pesantren yang mewajibkan kegiatan pengabdian masyarakat kepada santri yang hendak tamat, sebagai satu syarat kelulusan. Sampai-sampai kebijakan "penahanan ijazah" pun diberlakukan, hingga rampungkan masa pengabdian, semisal di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Pesantren Mambaus Sholihin Suci Manyar Greasik, Al-Amin Prenduan-Madura, Pesatren Sidogiri dan sebagian pesantren Al-Irsyad juga melakukan program pengabdian.

Bila sekolah-sekolah di seluruh Nusantara ini melakukan upaya serupa, upaya mendekatkan para pelajarnya dengan masyarakat sekitarnya, tentu akan muncul para pemuda pejuang, generasi perubahan sosial yang tidak gagap menghadapi dunianya. Tidak harus serupa Gontor yang menahan ijazah hingga rampung masa setahun pengabdian. Tapi paling tidak, upaya pengakraban itu dilakukan dengan serius, soal teknis banyak modelnya. Yang terpenting, misinya agar para siswa yang tidak hanya berprestasi di bidang akademik dan sebangsa sekolah, tapi juga siap menjadi agen perubahan masyarakat dan generasi penerus bangsa. Semoga.

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentar

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...