Oleh Masyhari, Lc
Menerjemah dan menulis adalah dua pekerjaan yang positif dan bermanfaat. Masing-masing memiliki plus-minusnya, jika dibandingkan. Menerjemah akan banyak menyumbangkan banyak ilmu baru kepada kita, dari karya yang kita terjemahkan, juga melatih kekuatan bahasa kita.
Sekilas, menerjemah tampaknya lebih mudah daripada menulis. Melihat, karena menerjemah, cukup mengalihbahasakan sesuatu yang sudah ada. Sementara menulis, membuat sesuatu yang memang belum ada. Namun, sejatinya, menerjemah sangatlah penuh dengan kompleksitas, tantangan dan ‘ketidakenakan’. Seorang penerjemah tidak bisa menerjemah semaunya sendiri, ngasal sekarepe udele dewe. Karena, bila demikian, bisa jadi, apa yang hendak disampaikan sang penulis tidak akan tersampaikan kepada pembaca. Seorang penerjemah harus mengetahui kemana tulisan itu bermuara. Apabila menerjemah dilakukan secara asal, bisa jadi akan memunculkan banyak kata-kata terjemahan yang ambigu maknanya, sehingga menyulitkan pembaca untuk memahami intisari kalimat hasil terjemahan.
Dalam menerjemah, seorang translator dituntut untuk memahami alur pemikiran penulis, berupaya menjiwai sedalam mungkin, dan bertindak seakan ia sendiri penulisnya. Bahkan, apabila buku itu ditulis pada beberapa masa yang telah lalu, penerjemah harus berupaya flasback ke masa itu. Kondisi sosial, budaya, politik, dan lain sebagainya saat buku itu ditulis juga perlu dipertimbangkan. Dan tidak kalah penting dari itu, identitas penulis itu sendiri, siapakah dia, latar belakangnya, corak dan aliran pemikirannya dan lain sebagainya, agar penerjemah tidak salah paham dan salah tafsir. Setelah ia memahami teks secara benar dan tepat, ia pun bisa mengalihbahasakannya ke dalam bahasa sasaran secara tepat. Demikianlah kompleksitas dan tantangan, sekaligus tuntutan bagi penerjemah, agar mendapatkan hasil terjemahan yang berkualitas.
Oleh karena itu, sikap terburu-buru dalam menerjemahkan, yang kerap kali disebabkan tuntutan deadline dari penerbit, bisa mengurangi kualitas hasil penerjemahan itu sendiri. Dalam menerjemahkan teks, penerjemah seharusnya menguasai materi yang sedang diterjemahkannya. Artinya, selain ia mengusai tata bahasa dan karakter bahasa asal dan bahasa tujuan, ia juga harus menguasai bidang yang akan diterjemahkan. Dan, apabila ia bukan ahli spesial di bidang yang akan diterjemahkan, paling tidak ia mengetahui sedikit banyak tentang tema itu. Semakin ia mengusai bidang tersebut, semakin baik pula hasil terjemahannya. Selain itu, sebagai bahan pengayaan, ia diharapkan memiliki referensi yang memadahi terkait materi yang diterjemahkan, baik berupa kamus bahasa, kamus istilah bidang tertentu, dan lain sebagainya. Karena, tentunya, penerjemah bukanlah manusia yang sempurna dan mengetahui segalanya. Karena tentunya ia akan mendapati kosa kata baru yang memintanya untuk diketahuinya.
Penguasaan penerjemah terhahadap karakter bahasa asli sangatlah penting. Dalam konteks bahasa Arab misalnya, kosakata tertentu antara zaman terkadang mengalami pergeseran dan bahkan perubahan makna. Misalnya saja, kata “سيّارة (sayyarah)” zaman dahulu yang dipakai di dalam QS. Yusuf [12]: 19 berarti kafilah (rombongan) musafir, baik (naik kendaraan unta ataupun tidak, namun kebanyakan rombongan musafir menggunakan kendaraan, dalam konteks saat itu, onta atau kuda), tentunya berbeda dengan “sayyarah” yang dipakai dalam bahasa Arab kontemporer, yang berarti mobil, dan lain sebagainya. Apabila, penerjemah lengah dan kurang mengusai struktur dan karekter bahasa, misalnya bahasa Arab, bisa jadi akan terjadi kesalahan dalam membaca dan memberi tanda baca (harakat). Kesalahan dalam hal ini sangatlah fatal, karena akan mengubah arti dan terkadang pemahaman. Oleh karena itu, keberadaan editor yang berlapis-lapis dalam satu penerbitan menjadi sangat penting. Diharapkan akan mengurangi kesalahan dalam penerjemahan, selain prosesediting oleh penerjemah sendiri, sebelumnya.
Demikianlah sebagian kompleksitas kerja menerjemah, berbeda dengan menulis. Meskipun menulis adalah meng”ada”kan sesuatu yang belum ada sebelumnya, namun menulis jauh lebih mudah daripada menerjemah. Karena menulis sangatlah bebas, lepas, tanpa satu pihak pun yang memaksanya untuk menggoreskan kata ini dan itu. Ia bebas berdiksi ria dan bereksplorasi semaunya, bebas mengeluarkan gagasan dan pendapatnya, tanpa terpaku pada pemikiran orang lain. Kalaupun terpengaruh atau terpaku, ia secara suka rela memilihnya, tanpa ada unsur paksaan. Tiada yang membatasinya, selain etika dan asalkan tidak merugikan orang lain.
Menulis, dapat membuat penulisnya puas, lepas, plong, setelah tulisan itu selesai dituliskannya, setelah sebelumnya mengendap dalam otak dan apabila disimpan terlalu lama bisa jadi akan menjadi penyakit. Menulis tak ubahnya seperti seorang yang mengeluarkan angin (baca: kentut), membuang kotoran atau membuang air (baca: berak dan kencing). Ia terasa puas, setelah itu semua dilaluinya dan dikeluarkannya secara tuntas. Bedanya, kalau makanan atau air yang ada di perut sangatlah terbatas, ia akan habis secara cepat. Sementara materi ada di dalam otak, hati, pikiran, diri kita, atau apalah istilahnya, sangatlah banyak dan seakan tiada batas, dan tiada pernah ada habisnya. Semakain ia dikeluarkan, semakin ia akan terus mengalir melimpah, tiada yang dapat menghentikannya, kecuali jika penulis sendiri memang tidak menghendakinya.
Bagi sebagian orang, khususnya penulis, menerjemah menjadi titian yang mengantarkannya dari satu tepian ke tepian lain. Menerjemah hanyalah sebuah tangga yang akan mengantarkannya pada tangga lain yang lebih tinggi. Dengan menerjemah, calon penulis akan banyak belajar merangkai kata dan meramunya menjadi struktur kalimat, dan kemudian paragraf. Melalui tangga ini, kita terkadang harus terpenjara oleh teks yang kita terjemahkan sendiri dan terjebak oleh pemikiran penulisnya. Dan mau tidak mau, kita harus mengikuti alur pemikirannya. Sebagai proses, itu tidaklah mengapa, karena menerjemah merupakan media pembelajaran yang sangat berharga. Dan tidak mengherankan apabila dalam proses belajar itu kita akan sering diterpa badai topan, diguncang gempa yang begitu dahsyat menerjang, dan juga arus besar yang mengarah pada tujuan yang tidak kita kehendaki. Semua itu akan menempa penulis agar lebih lihai dalam menumpahkan isi pemikirannya dan bahkan dalam menelurkan gagasan yang sama sekali baru. Selamat menulis!
Cirebon, 14/11/2013
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar