Sunday, November 17, 2013

Menjadi Penulis

Oleh Masyhari, Lc
Menulis adalah suatu aktifitas yang mulia. Karena itu, menjadi seorang penulis merupakan harapan dan sekaligus cita-citaku, selain menjadi pengamal sedikit ilmu yang sedang dan telah dipelajari. Entah sejak kapan tepatnya, cita-cita, minimal keinginan ini muncul? Kalau tidak salah, sejak aku masih mengenyam studi di bangku Madrasah Aliyah (setingkat SMA). Sejak aku suka membaca artikel-artikel ataupun sebatas berita, di koran Jawa Pos yang setiap harinya selalu update di mading OSIS MA Tabah. Hanya saja, saat itu, keinginan itu masihlah sangat jauh untuk kugapai. Mengapa demikian?
Menulis, atau dalam bahasa dulu disebut “mengarang” termasuk ‘materi pelajaran’ yang saya takuti. Mengarang adalah momok, minimal bagi saya. Setiap kali ada pelajaran mengarang dalam bahasa Indonesia, atau pelajaran apa saja yang bentuk ujiannya esai, sudah pasti seakan ia hantu yang sangat menakutkan.
Yang ada di benakku, saat itu, mengarang bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena mengarang adalah menciptakan sesuatu yang sama sekali baru. Maksud saya, walaupun materi atau isi tulisan bukan barang baru, tapi paling tidak, diungkapkan dengan bahasa lain yang sama sekali baru. Benar-benar pekerjaan otak kanan, yang lebih dominan kreatifitas dan imajinasi yang bersifat berkembang dan tidak statis. Saat itu, saya memang sama sekali merasa tidak berbakat untuk menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. Entah mulainya dari mana? Bagaimana rentetan atau sususan antar paragraf, bahkan bagaimana merangkai dan menyambung antar kata? Sama sekali blank bagi saya, saat itu, semoga tidak untuk saat ini.
Setiap ada perlombaan tulis menulis, entah itu KIR (Karya ilmiah Remaja) ataupun resensi tingkat lembaga, aku hanya gigit jari. Harus puas sebagai penonton semata. Selepas lomba perlombaan, biasanya aku akan menyempatkan untuk ‘mencuri’ tahu karya tulisan para peserta untuk sekedar saya baca sekilas saja. Ketika membaca itu, saya terkagum dan sekaligus heran dengan penulisnya. Bagaimana mereka, yang notabene seumuranku, bahkan ada juga adik kelasku, yang bisa merangkaikan kata demi kata menjadi satu tulisan utuh? Saat itu, yang terpikir olehku hanya, mungkin mereka memang cerdas dan berbakat menulis, sementara aku tidak.
Akan tetapi, anehnya, meskipun bukan yang merasa bisa menulis, namun saat itu aku beberapa kali menulis surat pribadi, untuk teman dan kenalan baru. Aku sempat beberapa kali menulis surat pribadi untuk mereka, sekedar bercerita, dan lain sebagainya. Entah mengapa kok bisa?
Pikirku, mungkin ini tulisan bebas dan tidak ada pakemnya, sehingga aku bisa semauku untuk mengungkapkan apa yang ingin saya ungkapkan, menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan. Barangkali, jawaban dari pertanyaan “mengapa tulis menulis dan mengarang menjadi momok bagiku, dan mungkin juga bagi beberapa temanku yang lain” adalah karena (1) menulis dianggap sebagai pelajaran dan pekerjaan yang mengharuskan pelakunya untuk mengikuti pakem dan aturan tertentu, stuktur susunan kalimat, diksi dan lain sebaginya. (2) menulis sering dibahasakan dengan mengarang, sehingga yang terkesan adalah sulitnya. Padahal kalau mau, sebagai guru bahasa Indonesia, agar seratus persen, minimal mayoritas, dari anak didiknya bisa jadi penulis, cukup ajak mereka menulis apa saja yang ingin ditulisnya mulai dari hal-hal yang sederhana; menulis diari, catatan harian, surat kepada sahabat atau orang yang ingin diajaknya bicara, menulis tentang apa yang dia inginkan dan lain sebagainya.
Menulis butuh kepercayaan diri dari calon penulis, agar ia berani mengungkapkan sesuatu dan merangkaikan kata-kata ‘hati’nya ke dalam bentuk tulisan. Sehingga, untuk menumbuhkan kepercaaan diri sesorang bahwa menulis bisa dilakukan oleh setiap orang, perlu dimulai dari hal-hal yang dianggap remeh, paling sederhana dan mudah. Karena yang terpenting, bagi pemula, adalah munculnya keyakinan diri, bahwa AKU BISA. Apabila keyakinan ini sudah muncul pada diri seseorang, ia akan tidak ragu-ragu untuk menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Tidak perduli apakah tulisannya sesuai dengan kaidah tata bahasa atau tidak. Tidak peduli, tepat atau tidakkah diksi yang dipilihnya. Tidak peduli, apakah antar satu kata dengan kata lainnya nyambung atau tidak. Tidak peduli, antar satu paragraf dengan yang lainnya saling memiliki keterkaitan atu tidak. Yang terpenting adalah, aku bisa menulis. Untuk memecahkan mitos yang menyatakan “menulis hanya bisa dilakukan oleh orang-orang pilihan, hanya orang-orang yang cerdas dan berbakat”. Padahal faktanya, tulis-menulis adalah proses menuju dan keahlian yang harus dicapai dengan membiasakan tiga hal, yaitu latihan, latihan dan latihan. Mungkin, inilah yang ingin ditekankan oleh Natalie Goldberg, pencetus metode “menulis bebas” dalam “Alirkan Jati Dirimu” (MLC, Bandung: 2005). Buku inilah yang menurut saya paling menarik dan paling berpotensi untuk membuat seseorang menjadi penulis, yaitu dengan menghilangkan “momok” itu sendiri. Menulis bukan pelajaran, bukan pekerjaan, akan tetapi melepaskan beban dan kegundahan hati. Menulis merarti mengungkapkan sesuatu yang mengendap dan selama ini tersimpan dalam hati, yang bila tidak dituliskan akan menjadi kegalauan stadium tiga dan menurun hingga tujuh turunan. Saya tidak membayang betapa akutnya itu.
Bukti betapa besarnya harapanku untuk bisa menjadi penulis adalah beberapa buku terkait dengan kepenulisan aku beli, satu persatu, diantaranya (1) “Kiat menjadi Penulis Sukses” karya Abu Al-Ghifari, yang kubeli 02 Maret 2005, (2) “Menulis Artikel itu Gampang”, karya Nurudin (3) “Proses Kreatif Penulis Hebat”, karya kompilasi para novelis dan cerpenis, yang diterbitkan DAR MIZAN, keduanya kubeli tanggal 13 Maret 2005 di Gramedia Blok M, (4) “Dasar-Dasar Meresensi Buku”, karya Daniel Samad, yang kubeli di arena IBF Jakarta, 4 Shafar 1427 H, (5) “Menulis Diari, Membangkitkan Rasa Percaya Diri, dari kompetisi menulis catatan harian Penerbit Kaifa yang diterbitkan atas komando Hernowo, di MLC, (6)“Alirkan Jati Dirimu”, Natalie Goldberg, yang kubeli di Gunung Agung Kwitang, 01 Januari 2006, selain buku-buku lain yang masih terkait denga kepenulisan. Nah, buku kedua terakhir ini, yang paling banyak memberi pengaruh bagi saya, sekaligus menggugahku bahwa menulis itu mudah. Menulis itu bisa dilakukan oleh siapa saja. Buku-buku ini aku beli, tentunya, agar aku bisa tercerahkan dan bisa menjadi penulis.
Setelah membaca buku-buku tersebut, muncul satu kepercayaan, paling tidak satu pemahaman, bahwa menulis bukanlah bakat. Menjadi penulis bukan seperti satria baja hitam yang cukup ucap “berubah”, lalu kita akan menjadi penulis seketika itu. Untuk menjadi penulis, tidak mungkin bisa kita meminta alat dari kantong ajaib Doraemon, yang akan bisa menjadikan kita sebagai penulis secara instan. Menulis, sekali lagi, adalah proses. Tidak seorang pun penulis, yang bertaraf Internasional dan paling produktif pun, terlahir sebagai penulis, artinya ia lahir langsung bisa menulis, tentu tidak ada.
Menurut Saut Sitompul dalam kompilasi puisinya “Tulis”, yang kudapatkan Cuma-cuma saat peluncurannya di teater kecil TIM Jakarta, 24 Pebruari 2006. Ia menulis:
//Tak usah terlalu di pusingkan
bagaimana cara menulis puisi
Cukup dengan pena di tangan
berjongkok di taman
ada daun jatuh
tulis
ada rumput menghijau tulis
ada tanah terbakar
tulis
da anak pipit terjatuh dari sarangnya
tulis
ada bau mesiu
tulis
tulis
tulis
tulis
ada hujan
tulis
ada titik-tikik terang
tulis
lalu aduk dengan kelepak
ladam telapak kuda sedikit
cukup cukup cukup
nah ini ada puisi
dalam puisi ini ada bunyi
bunyi kecapi atau cemeti
itu tak penting
dalam pusi ini juga ada bau
bau ubi bakar atau babi panggang
itu juga tak penting
tapi ini puisi berbunyi
tang! 1978.
Barangkali, Saut dan juga Natalie, bisa dikatakan ‘berhasil dalam memberikan corak baru dalam kepenulisan. Nah, mulai menulis secara bebas, seakan tiada aturan yang mengikat kita, sehingga kita bisa berbuat apa saja dengan pena dan tulisan kita. Tidak peduli bila tulisan itu tidak sesuai dengan kaidah bahasa, tidak memperhatikan kaidah atau bahkan melawannya.
Selain menulis surat, tulis menulisku kuaktifkan dengan menulis buku diary, catatan harian, mungkin sekitar 10 buah buku diary kecil yang sudah aku hasilkan, tentu dengan pakem bebas. Yang terpenting adalah bisa menulis. Itu rumusku. Kegiatan tulis-menulisku semakin aktif semenjak merebaknya ponsel (hp) yang memiliki konten SMS, yang tiada lain adalah mengirim pesan melalui tulisan. Meskipun disebut short, pendek, tapi kita bisa menulis sepanjang karakter yang bis dimuat hp kita. Sms ini cukup mengasah ketrampilan kita untuk menuangkan gagasan atau sekedar mengungkapkan isi hati. Kemudian, setelah muncul jejaring sosial berupa fb (face book), tulis-menulis bebas semakin terwadahi. Siapa pun ingin menulis, secara bebas ia bisa tuliskan, baik melalui dindingnya sendiri, dalam status, dalam catatan fb, atau berupa personal Message/ chat. Meskipun sebenarnya, sebelum adanya sms dan fb, sudah marak namanya blog. Bahkan, banyak sekali media nasional yang online yang menyediakan kolom menulis bebas selayaknya blog, seperti kompasiana dan lain sebagainya. Saya kira, media-media semacam ini sangat efektif untuk membuat orang menjadi penulis, khususnya bagi guru bahasa untuk mencetak muridnya menjadi penulis dan pengarang.
Memang, saat ini aku sendiri belum menjadi penulis artikel atau yang lainnya yang dimuat di media massa, ataupun buku yang diterbitkan. Barangkali, alibi saya masih merasa belum mampu untuk menulis, dan untuk mengisi kekosongan ini, cita-cita tersebut, untuk sementara, saya arahkan dengan menerjemah buku. Dengan harapan, semoga dengan banyak membaca dan kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, saya akan banyak belajar teknik kepenulisan, melatih kepiawaian dalam merangkai kata, menuangkan ide-ide dan gagasan saya nantinya, dan tentunya akan banyak menambah wawasan yang saya petik secara materil, sebagai bahan yang bisa dituliskan nantinya. Semoga. 

Cirebon, 12/11/2013, pada 01.00-03:35 (WIB) Waktu Indonesia Babakan

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentar

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...