Monday, December 30, 2013

Hukum islam dan amaliyah NU

Hukum islam dan amaliyah NU
(Catatan dari fb)
Hari M Ngaidin

Hukum islam (dengan "i" kecil) yang dihasilkan melalui ijtihad (baca: fikih) yang  bukan berdasarkan ketentuan Syariat yang bersifat pasti (qath’i) masihlah bisa dikaji ulang, misalnya masalah ramyul jumrah qabla az-zawal (melempar jumrah sebelum tergelincirnya matahari/ waktu Zhuhur). Syekh Abdullah bin Zaid Alu Mahmud menjelaskan, "Batasan melempar jumrah pada hari-hari tasyriq, yaitu antara waktu zawal (zhuhr) dan magrib, adalah berdasarkan hasil ijtihad. Mayoritas ulama madzhab fikih islam mewajibkan batasan waktu itu, berdasarkan fi'li Nabi yang terhimpun di dalam ash-Shahih al-Jami’ karya al-Imam Al-Bukhari.

Sementara tidak ada ketentuan pasti dari Nabi saw, baik dengan hadits shahih, hasan maupun dhaif, karena tidak ada ketentuan waktu pasti itu, maka kita tidak boleh mengatakan bahwa melempar jumrah sebelum zawal adalah terlarang (haram, apalagi bid'ah), karena Nabi tidak melarang, karena termasuk "amrun maskutun anhu" (sesuatu yang tidak dijelaskan hukumnya) sebagai rahmat dan kemudahan bagi manusia..dst (Dirasat, al-Qaradhawi, hlm. 256-269)

Dari pernyataan tersebut, bisa disimpulakan bahwa yang tidak dicontohkan Nabi saw (al-maskut anhu syar’an) bukan berarti dilarang, jadi tak ada Sunnah Tarkiyyah. Meninggalkan sesuatu yang belum pernah dicontohkan oleh Nabi bukanlah bagian dari sunnah.

Tahlilan bukanlah ibadah mahdhah. Tahlilan tak ubahnya sebatas adat budaya hasil kearifan lokal. Istilahnya tahlilan, tapi esensinya adalah silaturahim, ta’ziyah, menghibur keluarga yang sedang ditimpa musibah. Tahlilan adalah ibadah (kebaikan/ kesalihan) sosial. Ia, tak ubahnya seperti wisuda, peringatan HUT Negara, organisasi, institusi, arisan, dan acara kemasyarakatan lainnya.

Dalam perkembangannya, arisan diisi pengajian, baca al-Quran, doa, tahlil, shalawat, pengumpulan amal, dan amal shalih lainnya. Ini adalah upaya ijtihad yang baik dan progresif dengan meng"islamisasi" tradisi-tradisi dan kearifan local yang ada (urf). Tentu sangat lebih baik, daripada acara-acara tersebut diisi dengan ngobrol-ngobrol tak ada ujung-pangkalnya, yang malah tak jarang berujung pada ghibah (mengumpat) dannamimah (mengadu-domba). Karena berisi hal-hal yang bernilai ibadah, bukan berarti arisan disebut ibadah, sehingga disebut bid'ah dhalalah. Hanya karena alasan Nabi tak pernah melakukan arisan, wisuda, dan lain sebagainya. Andai arisan baik, tentu Nabi melakukan. Bukankah ini logika yang kacau? Kalimat yang benar, namun tidak tepat sasaran (kalimatu haqqin urida biha al-bathil).

Tahlilan adalah adat-tradisi. Setiap daerah mempunyai tata-cara dan ciri-khas masing-masing. Tidak ada ketentuan secara pasti, membaca al-Quran dan dzikir itu dimana. Di masjid baik. Di rumah juga baik. Di sekolah juga baik. Soal waktu, siang baik, pagi juga baik, sore juga baik, malam baik, tengah malam malah sunnah muakkadah (afdhal), saat orang-orang dalam lelap tidur. Namun, menyelisihi waktu afdhal bukan kurang afdhal, apalagi bid'ah. Ini berlaku bagi ibadah yang tak ada ketentuan waktu dan tempat, kita bisa memilih kapan saja, sesuka hati. Dalam menjalankan ibadah yang bukan wajib, itu pilihan, asalkan tidak pada waktu-waktu dan/atau tempat-tempat yang najis atau terlarang lain.

Yang mengkhawatirkan, semua pembid'ahan hanya pakai 2 dalil: “kullu bid'atin dhalalah” dan "man amila amalan laisa fihi amruna fa huwa raddun” . Apapun amaliahnya, ini dalilnya. Sementara belum dibahas kata perkata serta detail dilalah secara lughawi dan istilahi dalam setiap lafazh tersebut. Atau jangan-jagan, ini itu di”cap” bid'ah hanya karena taklid (mbeo) pada seorang ‘ustadz’.

Yang dimaksud dengan bid'ah itu adalah teknik yang baru menyerupai syariat dengan maksud beribadah. Dari sini, Syekh Ali Mahfuzh dalam "al-ibda' fi madhar al-ibtida'(Maktabah, ar-Rusyd, Riyadh, KSA, hlm) bahwa adat tradisi tidak termasuk dalam kategori bid'ah dan tidak dimaksudkan untuk ibadah. Dan perlu diketahui, definisi tersebut adalah hasil IJTIHAD al-imam asy-Syathibi yg dituangkan dlm kitab al-I'tisham. Namanya ijtihad, bisa jadi ada ulama yang mendefinisikan lain, tentunya juga melalui ijtihad. Dan kalau mau jujur, definisi ini juga bid'ah loh. Karena Nabi tidak pernah mendefinisikan.

Dalam kitab tersebut, Syekh Ali Mahfuzh (anggota kibar Ulama) ada definisi lain yg diungkapkan oleh para ahli hukum islam (fuqaha), sebagaimana imam az-Zarkasyi dalam al-Qawaid menyebut bahwa Imam asy-Syafii berpendapat: bid'ah yaitu hal baru tercela yang diada2kan dan menyelisihi al-Quran, sunnah atau ijmak dan tidak berhubungan dengan adat tradisi.

Abu Nu'aim meriwayatkan dr asy-Syafi'i, "bid'ah ada dua, bid'ah mahmudah (hasanah) dan bid'ah madzmumah (\dhalalah). Yang menyelisihi as-sunnah berarti tercela, sementara yang tidak bertentangan itu terpuji". Al-Imam al-Baihaqi dalam kitab Manaqib asy-Syafi'i jg menegaskan bahwa bid'ah ada yg hasanah dan ada yg dhalalah. Ini juga dikutip oleh al-hafizh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari dalam bab al-I'tisham bil kitab wa as-sunnah (Ali Mahfuzh, hlm. 25).

Dan, yang harus dicatat, semua itu hasil IJTIHAD, bukan hal yg jadi IJMAK antara ulama. sementara yang jelas IJMAK kewajibnya adalah PERSATUAN dan UKHUWAH..

Kendatipun demikian, saya juga tidak setuju, bila ada orang mati, keluarga yang ditinggal miskin, tapi memaksakan diri menyuguhi tetamu dengan jajanan dan makanan hasil UTANG. Karena ini bisa disiasati, misalnya berinisiatif ada uang kenduri/ dana sosial, bila ada yg mati dpt santunan khususnya yg tidak mampu.. tp bagi yang mampu, mbok ya menjamu tamunya sekalian sedekah bwt sang mayat. semua trgantung kondisi. Dan, karena bukan sebuah keharusan, sebatas adat-tradisi, bila seandainya tidak lagi memberi manfaat, namun sebaliknya, membawa madharat, tentu bisa jadi lebih baik didelet. Karena kaidahnya, لا ضرر ولا ضرار.

Okelah, kalau pakai definisi setiap bi'ah adalah sesat, namun pen-label-an suatu amalan bid'ah tidak boleh ngasal. Karena kalau salah malah jd bumerang, mengharamkan sesuatu tanpa dalil khusus adalah bid'ah.. krn yg berhak mengharamkan hanya syariat. smentara adat tradisi oleh asy-syathibi tidak dimasukkan dlm kategori bid'ah. harap diketahui, bhwa al-i'tisham karya asy-syathibi adalah rujukan utama dlm hal bid'ah. Bukan karena suatu amalan sudah masuk buku ensiklopedia Bid'ah Abdul Hakim Abdat, lantas disebut bid'ah. Ada ada saja.

Cirebon, 21/12/2013

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentar

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...