Oleh Masyhari
Optimisme, atau bisa disebut juga dengan kepercayaan diri,
merupakan hal yang amat penting bagi perkembangan kehidupan dan masa depan
seseorang. Sering kali seseorang menjadi tidak progresif, aktif dan kreatif
akibat kehilangan kepercayaan dirinya. Ia menghadapi hidup dengan pesimis,
minder, tidak bersemangat dan mudah putus asa. Berdasarkan pengalaman, ternyata
optimisme dan kepercayaan diri sangat mempengaruhi kemajuan dan kesuksesan
seseorang. Dan optimisme-pesimisme ternyata banyak dipengaruhi oleh faktor
eksternal anak. Peran orang tua [dan guru] sangatlah segnifikan dalam membangun
kepercayaan dirinya.
Sebagai orang tua [atau guru], tentunya ingin sukses
menjadi orang tua [dan guru]. Dan orang tua [dan guru] bisa disebut sukses,
bila anak didiknya menjadi sukses, dan kesuksesannya melampaui dirinya. Oleh
karena itu, tiada yang paling membuat bahagia seorang pendidik, selain
kesuksesan anak didiknya. Tentu tidak masuk akal bila ada orang tua atau guru yang
tidak ingin anak didiknya lebih sukses dan lebih pintar daripada dirinya. Jikalau
ada seorang guru yang khawatir kesuksesannya dan keahliannya akan tersaingi oleh
muridnya, tentu patut dipertanyakan ke”guru”annya dan keikhlasan niatnya.
Jika seorang guru menginginkan kesuksesan anak didiknya,
sudah seharusnya ia akan berusaha untuk membangun optimisme pada diri anak
didiknya, dan menghindari sikap yang membuatnya pesimis dan menjadi rendah diri,
sebab pesimisme akan membuatnya terjerumus pada jurang kemunduran dan
keterpurukan. Hanya saja, sebagai orang tua [dan guru], kerap kali tidak
memperhatikan hal ini. Bahkan sebaliknya, secara sadar atau tidak, kita sendiri
malah yang menghancurkan masa depan anak, dengan merusak optimismenya,
kepercayaan dirinya.
Di antara sikap [buruk] yang membuat anak tidak percaya
diri, rendah diri bin pesimis adalah mengacuhkannya, meremehkannya,
menganggapnya tidak bisa, tidak ahli, tidak cerdas dan lain sebagainya. Anak
akan merasa obtimis dan percaya diri, bila ia diberi kepercayaan dibesarkan
hatinya dengan disebut cerdas, mampu dan ahli.
Banyak guru yang terjerumus pada “kesesatan” ini, dengan
memperhatikan dan membanggakan anak yang dianggapnya cerdas, dan cenderung
mengucilkan anak yang dianggapnya bodoh dan tidak cerdas.
Selain itu, ternyata anggapan anak bodoh dan tidak cerdas
ini juga salah, dan bertentangan dengan teori Multiple Intellegents (MI) yang
ditemukan oleh Howard Gardner. Gardner mengemukakan bahwa setiap anak manusia
memiliki beberapa kecerdasan, minimal 8 kecerdasan, yaitu kecerdasan matematis,
intra-personal, emosional, linguistik, musikal, kinestetik, dan seterusnya.
Artinya, setiap anak adalah cerdas. Tidak ada anak yang bodoh. Hanya saja,
setiap anak memiliki kecenderungan dan tingkat kecerdasan yang berbeda-beda
dalam variasi kecerdasan tersebut. Ada anak yang kurang pandai matematika,
namun berprestasi dalam olah raga. Ada anak yang kurang suka dalam bidang olah raga,
namun mahir dalam berkomunikasi, berpidato dan berbahasa, dan lain sebagainya.
Pengalaman hidup mengisahkan bahwa optimisme dipengaruhi
utamanya oleh orang tua dan guru yang percaya akan kemampuan dan suka
membesarkan diri seseorang. Saat anak kita belajar naik sepeda, lantas ia
terjatuh. Apa kita akan mengatakan kepadanya?
“Sudahlah nak, berhenti. Kamu tidak usah belajar naik
sepeda. Kamu tidak bakat.”
Ataukah?
“Tak apa nak. Terjatuh saat belajar itu sebuah
keniscayaan. Kamu, pantang menyerah. Bila kamu berlatih terus-menerus, lambat-laun,
kamu pasti bisa. Tetaplah bersemangat!”
Saat kita sedang memperbaiki motor yang rusak, lalu anak kita berumur 5 tahun ikut nimbrung pegang alat otomotif. Apa yang akan kita lakukan? Membiarkannya ikut “membantu”, dengan memberinya obeng untuk dibuatnya main, ataukah “mengusir”nya dengan cara halus, karena dianggap mengganggu pekerjaan kita?!
Saat anak kita hendak main ke sungai? Apakah kita
melarangnya karena khawatir tenggelam, ataukah menemaninya untuk melatihnya
berenang?!
Tentang kebesaran hati seorang guru, aku teringat sikap yang dicontohkan oleh al-Maghfurlah KH. Moh. Baqir Adelan, pengasuh pesantren kami, padaku dan [mungkin] santri-santri lainnya.
Alkisah, bahwa selama kurang lebih 3 tahun mesantren, aku
termasuk santri yang malas belajar. Bisa dibilang langganan terkena hukuman,
akibat terlambat mengikuti pengajian dan terlambat mengikuti shalat berjamaah. Di dalam kelas
pun, aku tidak jarang tertidur. Namun, di lain itu, ternyata aku diterima
menjadi khadim Ndalem, rumah Romo Kyai, sekedar nyapu, ngepel, ngelap
kaca jendela, bantu hidangin suguhan buat tetamu ndalem, dan lain sebagainya.
Dari sini, aku biasa bertemu dan bertatap muka dengan Romo Kyai, dan bahkan bu
Nyai.
Dan, tatkala pesantren kedatangan guru tamu dari al-Azhar Mesir dan tinggal di Ndalem, aku pun ketiban rejeki nomplok. Setiap hari aku bisa berinteraksi dengan orang Arab itu, dan mengaji al-Qur’an dengannya. Dan santri yang tidak cerdas tapi malas ini pun akhirnya bisa sedikit memahami pembicaraan dan bahkan berbicara dengan orang Arab, karena sering berinteraksi dan praktik bicara bahasa Arab secara langsung dengan native speaker. Ketika mendaftar kuliah di sebuah kampus Arab berbeasiswa, kawan yang terbilang lebih pandai, lebih rajin dan cerdas ternyata tidak lulus tes masuk, sementara aku yang biasa-biasa saja malah lulus.
Setiap liburan kuliah tiba, aku selalu menyempatkan diri untuk sowan ke Romo Kyai. Sekedar bersilaturrahim dan untuk meminta doa. Setiap itu pula, beliau akan meminta waktuku untuk main ke asrama adik-adik kelas, untuk menemani mereka berbicara bahasa Arab,
“Kamu sering-sering ya ke asrama MAK, temani adik-adik
belajar bahasa Arab!” ucap beliau padaku. Sepertinya beliau percaya akan kemampuan
berbahasa Arabku. Padahal, sebenarnya, aku hanya santri yang tak bisa apa-apa
dan tak pernah berprestasi. Bahkan ketika aku dan kawan-kawan alumni hendak
mengadakan diklat bahasa Arab di MTs. Tatakala sowan, beliau meminta kami agar mengadakan
diklat untuk tingkat MA juga, dan bahkan kata beliau MAU juga diusahakan agar
diikutkan.
Beliau memberikan kepercayaan kepada kami untuk berbagi ilmu kepada adik-adik santri, kendatipun sebenarnya kami merasa tidak bisa apa-apa. Baru satu dua tahun kami belajar bahasa Arab. Namun, karena energi positif yang beliau transfer kepada kami melalui kepercayaan yang beliau berikan, kami pun menjadi optimistis dan seperti orang yang benar-benar mumpuni, seakan lupa akan kekurangan yang dimiliki.
Saat itu, aku tidak menyadari bahwa beliau sedang membangun optimisme pada diri kami, memotivasi kami. Selama beberapa kali, kami bisa dibilang sukses mengadakan diklat bahasa Arab, atas dukungan dari beliau. Dan, setelah beliau wafat, kegiatan tahunan itu pun berhenti, dan hingga saat tulisan ini ditulis, belum pernah kami (ataupun adik angkatan kami) mengadakannya lagi. Pembaca bisa menebak alasannya mengapa. Iya, dukungan ataupun kepercayaan tidak lagi kami dapatkan, bahkan info yang kami dengar, kampus yang menjadi tempat kami belajar diblacklist oleh pengasuh pesantren.
Beberapa saat yang lalu, santri-santri kelas kursus bahasa Arab yang saya bimbing diminta menampilkan drama berbahasa Arab (masrahiyyah) dalam suatu pagelaran santri pesantren. Sengaja, saya tidak membuatkan materi untuk mereka secara instant. Mereka, maupun saya, sama-sama belum pernah melakukan pementasan. Namun saya percaya bahwa mereka mampu. Kami pun mendiskusikan tema drama yang akan ditampilkan, di kelas. Satu persatu santri saya minta untuk mengutarakan ide dan gagasannya. Setelah menemukan kesamaan ide dan kesepakatan bersama, mereka saya beri waktu selama sekitar dua pekan untuk mendiskusikan dan menuliskan materi drama berbahasa Arab karya mereka sendiri dengan tulisan tangan, lantas saya koreksi dalam segi tata bahasanya, tanpa saya ubah kontennya.
Sayangnya, saya tidak sempat mengikuti, apalagi membimbing, latihan mereka, disebabkan jadwal latihan mereka sering bentrok dengan jadwal kuliah atau tugas makalah kuliah saya. Namun, saya sampaikan kepada mereka, bahwa saya percaya kemampuan dan kedisiplinan mereka dalam berlatih. Ternyata, apa yang terjadi? Di hari-H, saya dikejutkan dan tercengang dengan penampilan mereka. Apa yang mereka tampilkan memang tidak sama persis sebagaimana naskah yang saya koreksi. Bahkan mereka banyak melakukan improvisasi. Bumbu lawakan renyah yang tidak termaktub dalam naskah pun beberapa kali muncul, membuat drama mereka terasa hidup, tidak terkesan kaku dan garing. Mereka berhasil menyita perhatian, bahkan menyihir, hadirin yang mayoritas didominasi para santri dan wali santri. Meskipun, ketika di kelas, tampak hanya satu yang menonjol dalam penguasaan bahasa Arab, namun dalam pementasan tersebut, mereka tampak sama-sama mahir dan menguasai bahasa Arab.
Kerap kali, kita sebagai guru [dan juga orang tua], lupa
bahwa tanggung jawab kita bukan hanya menyukseskan anak-anak murid yang kita
anggap cerdas dan pandai. Kita cenderung mengelu-elukan anak yang kita anggap
cerdas dan berprestasi, namun terhadap anak-anak kita yang kita anggap tidak
cerdas, pas-pasan, kita sering mengabaikan, memandang sebelah mata dan bahkan
memarginalkan. Sering kali, kita menyanjung dan membanggakan anak didik kita
yang diterima di perguruan tinggi favorit, luar negeri atau yang berprestasi.
Namun, memandang sebelah mata anak didik kita yang menjadi tukang becak, buruh
panggul, tukang parkir, seniman, pedagang warkop, dsb.
Semoga kita segera bertobat, menyadari dan memperbaiki. Menjadi gurunya manusia. Karena kepercayaan diri manusia akan terbangun kuat, ketika mereka dipercayai dan diberi kepercayaan. Salam perubahan.
Surabaya, 24-27/05/2014
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar