Sunday, January 25, 2015

Menulis Itu Sederhana

Menulis, itu sederhana. Bermodalkan sesuatu yang gratisan bernama keMAUan dan eksekusi. Langsung tulis tanpa mikir apa yang mau ditulis. Karena ujung jemari akan berjalan dengan lincah dan begitu apiknya. Semakin enggan untuk berhenti bila ia sudah masuk melangkah dalam ruang samudera kata yang tak bertepian. 
Ah, ini hanya igauan lebay, mungkin. Tapi, berasaskan pengalaman bebas tanpa buku panduan kurikulum yang rajin berganti seirama dengan pergantian kuasa politik, dan berganti menteri.. 
Menulis itu hanya pem-BIASA-an.
Dulu, sewaktu sejarah takdir kehidupan memaksaku tuk masuk ke usia pubertas dan kujatuhkan pilihan pada MA Tabah, aku merasa tak bisa menulis apa. Mengarang dalam PELAJARAN bahasa Indonesia, pun juga soal esai menjadi momok, hantu yang amat menakutkan, bagiku. Entah, apa sebab? Barangkali karena kala itu belum waktunya. Ya, hanya soal waktu, sederhananya. Kalau tak ada pengalaman ‘pahit’ tentu tidak terasa indah hikmahnya.
Dulu, aku mengira, menulis itu bakat. Yang hanya domain mereka yang pandai dan sedari kecil terlahir cerdas. Ternyata asumsiku salah. Para penulis hebat dunia mengatakannya. Menulis adalah sebuah proses belajar. Tak ada kata final.
Adalah Prof Dr Imam Suprayogo, sang manatan rektor UIN Malang, pantas menjadi teladan bagi kita dalam tulis menulis, walau dengan kesibukan aktifitasnya yang amat padat, ia masih sempatkan nulis secara istiqamah setiap (pagi) hari selepas subuh dan tadarus pagi. Ya, istiqamah, setiap hari. Meski, katanya, hanya tulisan sederhana, tanpa rancangan ataupun outline, sebelumnya. Sementara aku, masih angin-anginan. Kalau mau ya nulis, bila enggan ya cuma scrolling status-status fb dan ngiler lihat catatan orang. 
Menulis, selain bermodal keMAUan, ternyata juga harus didukung oleh KEBERANIAN tuk ungkapkan gagasan. Ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran pun kerap jadi pengHALANG berat yang harus dilawan.  Takut salah tanda baca, takut tidak enak dibaca, takut menjadi bulan-bulanan pembaca. Ah, namanya dunia sosial, interaksi dengan sesama. Itulah seninya. Tak pengkritik dan pengamat, tidaklah indah dan seimbang dunia. Sadari, bahwa menulis itu tak ada pakem idealnya. Setiap penulis punya gaya uniknya, berbeda satu dengan yang lainnya. Meniru gaya bisa saja, tapi tetap ada ciri khasnya. Tak ada kesamaan yang sempurna. Karena kita dan dunia memang dicipta berbeda. Karena itu, menulislah.

Jakarta-Cirebon, 24-25/01/2015

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentar

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...