Menulis, itu sederhana. Bermodalkan sesuatu yang gratisan bernama keMAUan
dan eksekusi. Langsung tulis tanpa mikir apa yang mau ditulis. Karena ujung jemari
akan berjalan dengan lincah dan begitu apiknya. Semakin enggan untuk berhenti
bila ia sudah masuk melangkah dalam ruang samudera
kata yang tak bertepian.
Ah,
ini hanya igauan lebay, mungkin. Tapi, berasaskan pengalaman bebas tanpa buku
panduan kurikulum yang rajin berganti seirama dengan pergantian
kuasa politik, dan berganti menteri..
Menulis itu hanya pem-BIASA-an.
Menulis itu hanya pem-BIASA-an.
Dulu, sewaktu sejarah takdir kehidupan memaksaku tuk masuk ke usia pubertas
dan kujatuhkan pilihan pada MA Tabah, aku merasa tak bisa menulis apa. Mengarang
dalam PELAJARAN bahasa Indonesia, pun juga soal esai menjadi momok, hantu yang
amat menakutkan, bagiku. Entah,
apa sebab? Barangkali karena kala itu belum waktunya. Ya, hanya soal waktu,
sederhananya. Kalau tak ada pengalaman ‘pahit’ tentu tidak terasa indah
hikmahnya.
Dulu,
aku mengira, menulis itu bakat. Yang hanya domain mereka yang pandai dan sedari kecil terlahir cerdas. Ternyata
asumsiku salah. Para penulis hebat dunia mengatakannya. Menulis adalah sebuah
proses belajar. Tak ada kata final.
Adalah Prof Dr Imam Suprayogo, sang manatan rektor UIN Malang, pantas
menjadi teladan bagi kita dalam tulis menulis, walau dengan kesibukan
aktifitasnya yang amat padat, ia masih sempatkan nulis secara istiqamah setiap
(pagi) hari selepas subuh dan tadarus pagi. Ya, istiqamah, setiap hari.
Meski, katanya, hanya tulisan sederhana, tanpa rancangan ataupun outline,
sebelumnya. Sementara aku, masih angin-anginan. Kalau mau ya nulis, bila enggan ya cuma scrolling status-status fb dan ngiler lihat catatan
orang.
Menulis,
selain bermodal keMAUan, ternyata juga harus didukung oleh KEBERANIAN tuk
ungkapkan gagasan. Ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran pun kerap jadi
pengHALANG berat yang harus dilawan. Takut salah tanda baca, takut
tidak enak dibaca, takut menjadi bulan-bulanan pembaca. Ah, namanya dunia
sosial, interaksi dengan sesama. Itulah seninya. Tak pengkritik dan pengamat,
tidaklah indah dan seimbang dunia. Sadari, bahwa menulis itu tak
ada pakem idealnya. Setiap penulis punya gaya uniknya, berbeda satu dengan yang lainnya. Meniru
gaya bisa saja, tapi tetap ada ciri khasnya. Tak ada kesamaan yang sempurna. Karena
kita dan dunia memang dicipta berbeda. Karena itu, menulislah.
Jakarta-Cirebon, 24-25/01/2015
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar